Sabtu, 30 Oktober 2010

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 3) SOIL MANAGEMENT

Kalau dalam 2 tulisan sebelumnya sudah disampaikan pengantar dan tentang peranan pemuliaan (tree improvement)  dalam kelestarian HTI ... maka saat ini masuk ke dalam topik Soil and Stand Management....

B. SOIL MANAGEMENT

Masalah tanah memang masalah kompleks. Tapi yang jelas, selain material genetik, tanah (soil) adalah modal yang sangat berharga bagi perusahaan HTI. Bersyukurlah perusahaan-perusahaan Indonesia, karena diberi konsesi oleh negara, kalau di Brazil atau di Amerika Latin lainnya, kebanyakan perusahaan memiliki lahan sendiri . Memang ada kemudahan yang diberikan negara mereka bagi perusahaan untuk pembeliaan lahan dan sertifikasi lahan untuk HTI.

Karena begitu penting lahan (tanah, soil), dalam usaha HTI, tidak ada jalan lain, harus dirawat, dikelola, ditangani dengan baik. Percuma punya material bagus, atau clone unggulan , tapi tanahnya sudah jadi tanah gersang dan super miskin.... Apa kuncinya mengelola tanah di HTI ?

Kunci pengelolaan tanah hutan agar lestari adalah :
- Top Soil
- Bahan Organik


Top Soil adalah lapisan tanah yang paling dekat dengan permukaan tanah, mengandung banyak mikroorganisme, mengandung paling banyak unsur hara, dan memiliki kandungan udara yang paling tinggi dibanding lapisan tanah lainnya. Setebal 20 cm dari permukaan , itulah "emas" yang seharusnya tetap dijaga dan dirawat. Top soil jugalah yang menyimpan Bahan organik (seresah) yang menjadi bahan untuk dilanjutkannya siklus unsur hara di areal hutan. Apabila ini terganggu maka, yang paling merugikan adalah hilangnya potensi alam yang dapat menjadi modal kelestarian jangka panjang.

Menjaga top soil di HTI tidaklah sulit, asalkan aspek-aspek "konservasi" top soilnya dijalankan. Sangat mudah, jangan biarkan terjadi erosi, jangan padatkan (compacted), jangan kupas, jangan bakar, dan jangan biarkan gulma menggerogotinya. Erosi akan menipiskan topsoil, menghanyutkan bahan organik dan unsur hara , dan ujung-ujungnya yang tersisa adalah lapisan sub soil yang miskin hara dan bersiaplah untuk mendapatkan tanaman yang kurus langsing.

Menjaga top soil juga gampang dengan cara mengurangi pemadatan tanah (compacted) , terutama karena alat berat (hal yang paling beresiko tinggi) . Kita harus menjalankan sistem pemanenan yang sangat minim merusak atau memadatkan tanah. Penggunaan "bantalan" sebagai matras alat berat adalah satu-satunya jalan. Tapi kalau kondisi tanaman yang dipanen sudah kurus kering, untuk membuat matras juga sudah tidak cukup, akhirnya alat berat masuk lalu lalang di dalam lahan, dan lingkaran kerusakan semakin meningkat. Kayu dipanen sedikit, dan lahan bertambah rusak, sehingga rotasi berikutnya tanaman akan juga semakin jelek produktivitasnya, dan alat berat masuk lagi... dan terus menerus sampai lahan terpadatkan dengan kadar tinggi.... akhirnya , perusahaan tutup karena emas lahannya sudah tidak ada lagi.

Pengelolaan soil (tanah) di HTI sebenarnya sangat sederhana, dan kadang tidak disadari dampaknya. Dengan enaknya kadang-kadang atau dengan cepatnya kita membuka suatu areal hutan (baik hutan tanaman yang dipanen atau hutan sekunder yang katanya sudah rusak), tapi tidak sesegera mungkin menanaminya kembali. Begitu hutan dibuka, maka ekosistem mikro berubah dengan drastis. Sinar matahari dengan langsung menerpa permukaan tanah, meningkatkan suhu tanah, merangsang pertumbuhan biji-biji gulma, menguapkan unsur hara yang terbentuk dalam elemen gas. Air hujan langsung menerpa tanah, langsung mengenai tanah, air mengalir dengan cepat, dan potensial kehilangan unsur hara, bahan organik dan "harta" di permukaan tanah semakin tinggi. Untuk itu , seharusnya , setelah suatu hutan dibuka (ditebang) segeralah lakukan penanaman, segeralah lakukan pengendalian gulma , agar lahan kembali cepat tertutupi , agar unsur hara termanfaatkan lagi oleh tanaman, agar air hujan diperlambat alirannya baik aliran permukaan maupun aliran ke dalam tanah (infiltrasi).

Masalah ini masih belum seluruhnya, perubahan ekosistem mikro hutan yang dibuka (baik oleh harvest atau penyiapan lahan), secara otomatis merubah pola hidup organisme di lapisan top soil. Perubahan suhu, cahaya, air, secara otomatis akan mempengaruhi pola kerja dekomposer di permukaan tanah. Laju dekomposisi akan dipercepat, tapi apabila dibiarkan berlama-lama, maka siklus dekomposisi bahan organik menjadi unsur hara akan terhenti karena bahan organiknya habis, baik karena laju dekomposisi oleh organisme maupun karena alam yang terbuka.

Kegiatan-kegiatan silviculture yang "tidak" bersahabat dengan tanah seperti di atas, pada ujungnya akan membuat tanah merana, dan bersiaplah kita menerima "hukuman" dari alam, lahan akan semakin kurus.......... yang tersisa hanya luasan dalam bentuk Hektar........... tapi isinya tidak ada..... atau apakah kita memang kita mau panen HEKTAR? Saya fikir tidak, kita harusnya panen KAYU atau panen UANG yang lestari dan meningkat dari satu rotasi ke rotasi berikutnya........

Hal sepele, seperti pengaturan waktu tanam setelah harvest, pengaturan lalu lintas alat berat, pengendalian gulma, merupakan aspek yang harusnya bukan sekedar teori atau bahan training......... tapi terimplementasikan dengan praktek sederhana di lapangan......... semoga lahan itu tetap menjadi EMAS.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Perlu juga konservasi tanah untuk menjaga kualitas dan fungsi tanah, terutama top soil. Jika diperlukan dibuat peraturan perundangan yang terdapat sanki pidana bagi perusak top soil, dan mendorong atau wajibakan pengembangan formula pelindung top soil, bagi para pelaku pemanfaat sumber daya alam yang bersentuhan dengan top soil.