Sabtu, 20 Januari 2018

Patogen Ceratocystis spp. dan Hubungannya dengan Acacia spp. (Sebuah Catatan dari Studi Pustaka)


            Salah satu patogen yang ditakuti saat ini pada pertanaman Hutan Tanaman Industri adalah serangan jamur Ceratocystis sp.  Penyakit yang disebabkan adalah timbulnya kelayuan dan kematian pada berbagai jenis tanaman terutama akhir-akhir ini menyerang Acacia mangium. Berbagai laporan dan diskusi pada skala nasional dan internal sudah sangat banyak membahas patogen ini. Saat ini patogen ini juga telah menyerang tanaman Acacia spp. di Vietnam dan mengakibatkan layu tajuk (crown wilt) dan kanker batang (stem canker) yang diikuti dengan perubahan warna kayu (wood discoloration).  Gejala ini pertama sekali ditemukan pada Acacia hybrid di propinsi Quang Ninh pada tahun 2007 lalu. Semenjak itu pada waktu yang bersamaan juga ditemukan kematian pada A.mangium dan menjadi issu yang serius di Vietnam (Thu et al, 2013).

Menurut Wingfield et al (2011) dan Dell (2012)  peningkatan gangguan hama dan penyakit pada tanaman Acacia yang ditanam di luar wilayah pertumbuhan alaminya (non native) telah menunjukkan tingkat yang gradual dari waktu ke waktu dan memerlukan perhatian yang sangat tinggi dari semua pelaksana pembangunan pertanaman Acacia spp. untuk berbagai kebutuhan.

Menurut Ploetz (?), genus Ceratocystis (Microascales, Hypocreomycetidae, Sordariomycetes) menjadi genus patogen jamur yang menimbulkan beragam gejala di berbagai jenis tanaman . Genus ini ditemukan menyerang tanaman berkayu , juga tanaman semusim dan seringkali menyerang di wilayah tropis dan menjadi patogen yang berdampak sangat besar terhadap berbagai jenis tanaman di daerah tropis maupun sub-tropis.  Banyak vektor yang membantu penyebaran Ceratocystis terutama oleh serangga yang terbang. Secara umum gejala yang ditimbulkan oleh Ceratocystis adalah kerusakan jaringan vaskular dan kelayuan tanaman dan pada serangan lain dapat menyebabkan kanker pada batang , cabang dan ranting tanaman, terutama pada tanaman berkayu (Montoya dan Wingfield,  2006) .  

Selanjutnya menurut Montoya dan Wingfield (2006),  Ceratocystis digolongkan ke dalam jamur ophiostomatoid dan ada 15 genus yang masuk ke dalam kelompok tersebut, diantaranya adalah genus Ceratocystis , Ophiostoma, Ceratocystiopsis, Gondwanamyces  dan Cornuvesica.  Kelompok jamur ophiostomatoid ini masuk ke divisi Ascomycetes yang diketahui berjumlah > 100 species.  Ceratocystis sendiri dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu Ceratocystis sensu lato , yaitu seluruh kelompok kolektif Ceratocystis yang masuk ke dalam golongan ophiostomatoid, sedangkan kelompok lainnya adalah Ceratocystis sensu stricto, yang biasanya digunakan secara ekslusif untuk jamur yang memiliki anomorphs dan membentuk genus Thielaviopsis.  Species Ceratocystis sensu stricto juga dapat dibedakan dari jamur ophiostomatoid lainnya dengan tidak adanya selulosa dan rhamnose pada dinding selnya dan juga jamur ini sensitif terhadap antibiotik kelompok cycloheximide.

Beberapa spesies yang penting dari genus Ceratocystis  yang menjadi patogen pada tanaman pertanian adalah C. paradoxa (anamorph: Thielaviopsis paradoxa) yang menyerang tanaman kelapa, nenas,  karombola, dan berbagai jenis palm ; dan C. fimbriata yang banyak menyerang tanaman sirsak, jeruk dan mangga ; serta C. radicicola pada palma yang menyebabkan busuk akar ( Montoya dan Wingfiled, 2006) .  Santos et al (2012) dan Cabrera et al (2016) mengatakan serangan patogen Ceratocystis semakin berkembang dalam dua dekade belakangan ini dan salah satu spesies yang paling merugikan pada perkebunan kakao adalah jenis C. cacaofunesta dan berkembang di benua Amerika dan wilayah lain di berbagai benua yang mengembangkan tanaman kakao.

Kajii, et al (2013) juga melaporkan bahwa salah satu species dari patogen Ceratocystis yaitu C. ficicola juga menyerang berbagai jenis tanaman Ficus spp. di Jepang dengan gejala layu dan ini berhubungan dengan asosiasi kumbang ambrosia Euwallacea interjectus.  Menurut Montoya dan Wingfield (2006) species C. fagacearum juga menyebabkan layu tajuk pada tanaman Oak (Quercus spp.) di Amerika Utara  dan species  C. polonica  menimbulkan penyakit layu pada tanaman spruce (Picea abies) di Norwegia dan di Eurasia. Berbagai laporan lain tentang serangan Ceratocystis misalnya juga pada tanaman conifers (berdaun jarum) yang menimbulkan layu  dan kerusakan jaringan vascular oleh C.coerulescens dan C. douglasii yang menyerang tanaman Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii) , juga C. virescens pada tanaman maple (Acer saccharum)  dan C eucalypti pada tanaman Eucalyptus spp.

Spesies Ceratocystis telah dilaporkan sebagai penyebab penyakit busuk akar, busuk batang , perusakan jaringan vaskular, kanker dan busuk buah serta busuk polong diberbagai tanaman di tropis di hampir seluruh negara di dunia (Kile dalam Tarigan et al , 2011a). C. fimbriata sebagai contoh patogen  penyebab kematian pohon Eucalyptus di Republik Kongo dan Brazil (Roux et al  dalam Tarigan et al, 2011;  Rosado, et al, 2010) ;  juga tanaman Eucalyptus di Uruguay ( Barnes et al, 2003a) ;  tanaman Gmelina arborea dan  Colocasia esculenta (L.) di Brazil  (Harrington et al ; Muchovej et al  dalam Tarigan et al, 2011a) .  

Sementara itu  E. nitens dilaporkan diserang oleh C. fimbriata dan C.piriliformis (Barnes et al, 2003b) dan  Roux et al (2004) mengatakan bahwa E.grandis di Afrika Selatan juga diserang C. fimbriata dan C. piriliformis dan merupakan serangan Ceratocystis yang pertama dilaporkan dari luar Australia.  Sementara Rosado et al (2010) mengatakan bahwa ada perbedaan signifikan respon famili Eucalyptus hibrid di Brazil terhadap serangan Ceratocystis. Ada heritabilitas yang tinggi pada Eucalyptus hibrid terhadap resistensi terhadap Ceratocystis.

Menurut Chen et al (2013) , tanaman Eucalyptus di China Selatan juga diketahui mengalami serangan layu akibat dua spesies yaitu C. acaciivora di dalam spesies kompleks  C. fimbriata s.l. dan juga spesies kompleks C. moniliformis s.l. dan diberi nama C. chinaeucensis sp. nov. Hasil pendeskripsian spesies Ceratocystis yang menyerang Eucalyptus di Afrika Selatan  telah dilaksanakan Nkuekam et al (2012) dan menghasilkan beberapa spesies yaitu  C. eucalypticola, C. pirilliformis, C. savannae, C. oblonga, C. moniliformis dan  C. salinaria sp. nov. dan  C. decipiens sp. nov, serta  termasuk dua jenis yang masuk ke dalam golongan Thielaviopsis anamorph yaitu T. basicola dan T. thielavioides. Sementara itu Liu et al (2015) mengatakan bahwa C. cercfabiensis sp. nov dan C. collisensis sp. nov juga menyerang Eucalyptus dan Cunninghamia lanceolata di Guang Dong , China. Rodas et al (2008) melaporkan bahwa Eucalyptus di Colombia diserang C.neglete sp.nov. dan ada respon klon yang berbeda-beda terhadap serangan patogen ini.

Selain itu C. fimbriata  juga menyebabkan penyakit yang membuat tanaman kopi mati di Colombia dan Venezuela (Marin et al ; Pontis dalam Tarigan et al , 2011a) .  Ceratocystis juga diketahui menyerang tanaman mangga di Brazil dan menjadi patogen penting dalam industri pertanian di Amerika Selatan (Ploetz ; Ribeiro; Viegas,  dalam Tarigan et al , 2011a) . Sementara itu jenis C.radicicola juga diketahui menyerang tanaman jeruk di Iran. Jenis patogen ini juga diketahui menyerang tanaman Pinus spp. dan Phoenix dactylifera  di Amerika Serikat dan Afrika Selatan (Mirzaee, et al, 2009).

Hasil penelitian Oliviera (2014) menyimpulkan bahwa C. fimbriata juga mengakibatkan penyakit layu pada tanaman mangga (Mangifera indica) Colocasia esculenta dan  Tilia americana di Brazil.  Juga menyerang tanaman Anona squamosa di Brazil (Silveira et al, 2006) dan Dalbergia sissoo di Pakistan (Poussio et al, 2010)  . Sementara  Fateh et al (2006) mengatakan C. fimbriata meyerang tanaman mangga di Pakistan dan Galdino et al (2016) menyatakan bahwa C. fimbriata ini menyebabkan penyakit layu pada tanaman mangga yang sering disebut dengan  Mango Sudden Decline (MSD) serta menyebabkan penurunan produksi mangga di Oman sampai 60% dalam 5 tahun dan telah mematikan +/- 200.000 batang mangga. Sementara di Pakistan penurunan produksi dapat mencapai 20-60%. Penyebaran patogen ini didukung oleh vektornya berupa kumbang bark–beetle  ambrosia dari jenis  Hypocryphalus mangiferae  (Curculionidae: Scolytinae) dan juga kumbang  Xyleborus affinis. Morris et al (2007) melaporkan juga bahwa penyakit layu tajuk dan terjadinya gumosis pada A. mearnsii di Mkomasi , propinsi Natal Afrika Selatan disebabkan oleh C. fimbriata.

Di Vietnam, jamur C. paradoxa juga dilaporkan oleh Hoat et al (2012) menyerang tanaman tebu dan tanaman nenas dan jenis patogen ini termasuk ke dalam patogen soil borne (tular tanah).  Sementara itu Ploetz (?)  dan  Engelbrecht et al (2007) menyatakan bahwa bahwa C. cacaofunesta (sebelumnya disebut dengan C. fimbriata) menyebabkan penyakit layu dan kematian tanaman kakao di Equador pada tahun 1918, pada tahun 1940 di Colombia, tahun 1958 diketahui menyerang di Costa Rica, dan selanjutnya pada tahun 1958 di Venezuela. Selanjutnya juga diterima laporan bahwa patogen ini menyerang kakao di Thailand,  Guatemala , Peru dan Brazil dan pada akhirnya menyebar ke seluruh negara di benua Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Dilaporkan juga oleh Friday et al (2015) dan Mortenson et al (2016) bahwa Ceratocystis juga menyerang tanaman ‘o¯hi‘a (Metrosideros polymorpha) di Hawaii dan menyebabkan kematian pohon pada tingkat serangan > 10% pada luasan 1.600 Ha pada tahun 2012, kemudian berkembang menjadi 6.403 Ha pada tahun 2014. Peningkatan luas area yang terserang mencapai 30% dalam jangka waktu 2 tahun pengamatan dan diketahui tingkat kematian populasi pohon  dapat mencapai 50% dari populasi yang ada. 

Sementara itu Soulioti et al (2008), mengatakan bahwa salah satu spesies C.platini (sinonim C.fimbriata f.sp. platani) menyerang tanaman Platunus spp. di Amerika Utara, Perancis, Italia, Swis dan Yunani serta di Iran. Diketahui juga keberadaan jamur patogen ini berasosiasi dengan kumbang Platypus cylindrus  (Platypodidae) . Kumbang dari famili Coleoptera seperti Mycetophagidae, Monotomidae, Cucujidae, Silvanidae, Tenebrionidae, Nitidulidae, Scolytidae, Curculionidae juga ditemukan sebagai vektor yang potensial menyebarkan jamur patogen ini. Sementara itu EFSA (2014) mengatakan species C. platini ini juga menyerang tanaman Platanus occidentalis, Platanus orientalis dan  Platanus × acerifolia di Armenia, Spanyol, Yunani, Belgia, Irlandia , Swiss dan berbagai negara Eropa lainnya.

Di Indonesia, C. fimbriata dicatat pertama kali menyerang  tanaman Coffea arabica L. di pulau Jawa pada tahun 1900 (Zimmerman dalam Tarigan et al, 2011).  Selanjutnya masih banyak laporan tentang keberadaan patogen Ceratocystis dari berbagai tanaman di berbagai wilayah di Indonesia misalnya  C. fimbriata [dilaporkan sebagai Sphaeronema fimbriatum] pada tanaman Hevea brasiliensis di Sumatera ,  Kalimantan  dan Jawa   . Diketahui dan dilaporkan juga  C. polychroma dari tanaman Syzygium aromaticum di Sulawesi  dan C. tribiliformis pada Pinus merkusii di Sumatera (Leefmans ; Tayler dan Stephens ; Wright dalam Tarigan et al , 2011a) .

Dell et al (2012) mengatakan telah ditemukan 3 jenis Ceratocystis yang beraosiasi dengan tanaman A.mangium dan hal ini telah berkembang di Riau Sumatera ( Tarigan et al ,  2011). Dalam survey ditemukan  C. acaciivora telah ditemukan pada tanaman A.mangium yang layu walaupun tidak ada pelukaan akibat pruning (pemangkasan cabang). Ceratocystis juga telah ditemukan menyerang tanaman A.mangium di Sabah dan di Laos.

Ceratocystis spp. telah menjadi patogen yang sangat meningkat serangannya dan menyebabkan layu dan kanker pada pertanaman Acacia spp. dan spesies lainnya di hampir seluruh negara (Roux dan Wingfield, 2009). Di Brazil dan Afrika Selatan patogen C. fimbriata telah dilaporkan sebagai penyebab kanker dan layu pada A.decurrens  sementara itu   C. albifundus  menjadi patogen yang sangat penting  pada tanaman A.mearsnii dan juga A.decurrens   (Morris et al; Roux  dan Wingfield; Roux et al ; Wingfield et al., dalam Tarigan et al, 2011a ). Dos Santos dan Ferreira (2003) mengatakan juga  bahwa C.fimbriata juga menyerang tanaman A.mearnsii di Rio Grande do Sul Brazil.

Rahayu dkk.  (2016) mengatakan bahwa Ceratocystis sp. juga menyerang tanaman A.decurrens  dengan intensitas serangan hampir  80% di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)  Yogyakarta. Serangan ini ditandai dengan gejala busuk batang akibat infeksi jamur Ceratocystis sp. dan umumnya dipicu oleh luka gerekan kumbang dari kelompok ambrosia. Sementara itu Van Wyk et al (2009) melaporkan juga bahwa Ceratocystis larium sp. nov. ditemukan pada luka tanaman kemenyan (Styrax benzoin) di Indonesia.

Anonim (2013) menyatakan bahwa C. albofundus  menyerang tanaman A. decurrens dan  A. mearnsii di Afrika Selatan dan pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1989 di Kwazulu Natal Midlands.   Sementara Mbenoun et al (2014) telah mendeskripsikan jenis Ceratocystis yang menyerang tanaman A. mearnsii di Afrika yaitu C. cryptoformis sp. nov. dalam species kompleks C. moniliformis,  dan juga  C. thulamelensis sp. nov. dan  C. zambeziensis sp. dan kesemuanya masih berdekatan dengan spesies kompleks C. fimbriata. Roux dan  Wingfield (2012) juga melaporkan bahwa C. albofundus menyerang A. mearnsii di Uganda. Hasil deskripsi terakhir tentang patogen yang menyerang A.mearnsii di Afrika Selatan adalah C. pirilliformis yang juga menyerang tanaman Eucalyptus di Australia dan di Afrika Selatan ( Lee, et al, 2016)

Fourie et al (2015) mengatakan C. manginecans adalah jamur patogen yang pertama sekali dideskripsikan di Oman dan Pakistan dan menjadi penyebab penyakit layu pada tanaman mangga (Van Wyk, et al , 2007) . Disebutkan juga pada tanaman mangga  di Oman jamur patogen Ceratocystis disebarkan oleh kumbang bark-beetle ambrosia jenis Hypocryphalus mangiferae (Adawi et al , 2013b) .  C. manginecans juga dilaporkan menjadi patogen serius pada tanaman A.mangium di Indonesia yang diidentifikasi bersama dengan spesies baru  C. acaciivora (Tarigan et al., 2011a). Species ini juga dilaporkan telah menyebabkan kerusakan parah pada tanaman A.mangium di Asia Tenggara termasuk Malaysia dan juga menyerang Eucalyptus spp. di bagian Cina Selatan, Brazil dan India. Adawi et al (2013a) menyatakan bahwa C.manginecans juga menyebabkan tanaman layu dan busuk batang pada dua tanaman legume species yaitu Prosopis cineraria dan Dalbergia sissoo di Oman dan Pakistan .

Alfenas et al (?) menyatakan serangan C. fimbriata pada Eucalyptus hybrid ( E.urophylla x E.grandis) di Brazil selain mengakibatkan kematian pohon juga dapat menurunkan tingkat pertumbuhan sampai mencapai 62-86% , sedangkan kehilangan pulp yield adalah 14%. Serangan Ceraocystis juga menyebabkan peningkatan kandungan alkali , lignin dan xylan serta sekaligus menurunkan  kandungan glycans, mannans dan selulosa. Hal yang sama juga disampaikan oleh Mafia et al (2013), dimana serangan C.fimbriata pada Eucalyptus hibrid akan menurunkan tingkat pertumbuhan, meningkatan wood consumption dan menurunkan produksi pulp dari kayu.

Dalam sebuah survey di 8 propinsi  wiayah  hutan tanaman Acacia spp. di Vietnam , diketahui bahwa spesies Ceratocystis menyebabkan kanker batang dan layu tajuk pada beberapa species termasuk A.mangium , A.auriculiformis dan Acacia hibrid dan inilah laporan pertama kali adanya serangan patogen Ceratocystis di Vietnam  (Thu et al., 2012). Kondisi geografis Vietnam dan Indonesia yang hampir sama dapat menjadikan inang yang sama bagi patogen ini (Tarigan et al., 2011a)  dan diduga bahwa jenis patogen ini kemungkinan besar adalah C. manginecans (Fourie et al , 2015).  

Hasil penelitian Fourie at al (2015) mengatakan bahwa dari 160 isolat yang dikumpulkan , dimana diantaranya 110 isolat dari tanaman Acacia spp. di Indonesia dan 23 isolat dari Vietnam  , juga ditambah 14 isolat dari tanaman mangga di  Oman , dan 4 isolat dari tanaman mangga dan Dalbergia di Pakistan , menunjukkan hasil bahwa seluruh isolat yang dikumpulkan memiliki morfologi sebagai  C. manginecans. Dari penelitian ini juga diketahui bahwa diversitas C. manginecans di Vietnam adalah lebih tinggi dibanding wilayah Indonesia. Hal ini diduga karena zona ekologi pengamatan di Vietnam lebih luas dibandingkan dengan zona ekologi yang diamati di Indonesia.

Tingginya diversitas isolat C. manginecans Vietnam diduga karena patogen ini sudah lama berkembang di wilayah Asia Tenggara dan selama waktu yang panjang jamur ini telah mengalami akulasi dan mengalami evolusi dan rekombinasi gen (Mc Donald dalam Fourie et al, 2015) dan hal ini menjadi pendorong yang kuat menjadi patogen pada tanaman Acacia spp.  yang merupakan tanaman eksotik di Vietnam dan wilayah lain di luar habitat aslinya.

Hasil dari study Fourie et al (2015) juga  semakin menguatkan kesimpulan bahwa C. manginecans ditemukan pada tanaman  Acacia spp. di Vietnam , dan dilaporkan juga bahwa spesies ini menjadi patogen serius pada A.auriculformis yang menjadi tanaman inang yang baru di Vietnam.  Sementara itu Ploetz et al (2013) dan Galdino et al (2016) menyatakan ada asosiasi antara kumbang  bark beetle (Scolytionae : Hypocryphalus mangiferae) yang merupakan kelompok kumbang ambrosia  dengan keberadaan jamur C. manginecans pada tanaman mangga yang ditemukan di Middle East dan juga C. mangicola dan C. mangivora pada tanaman mangga di Brazil. Hal ini juga ditemukan pada serangan C. manginecans pada tanaman mangga di Oman dan Pakistan (Van Wyk, et al , 2007; Rashid, et al, 2014 ) .

Hasil penelitian Silva et al (2014) menyatakan bahwa keberadaan kumbang (beetles) sangat erat dengan jamur Ceratocystis yang menyerang tanaman Ficus sp.  di Brazil.  Di Valinhos Brazil ditemukan asosiasi kumbang bark-beetle (Scolytinae) jenis Hypothenemus pubescens, H.crudiae, H. eruditus dan H. obscurus, Phloeotribus picipennis, Xyleborus posticus dan X. ferrugineus ; serta dari family Bostrichidae yaitu jenis Xyloperthella picea dan Xylopsocus capucinus. Sementara di wilayah São Sebastião do Paraíso, Minas Gerais, diperoleh beberapa jenis kumbang seperti  Hypothenemus californicus, Theoborus villosulus dan X. ferrugineus (Scolytinae), Marshallius bonnelli (Molytinae), Copturus sp. (Conoderinae), dan Taeniotes monnei serta Psapharochrus jaspideus (Cerambycidae).

Sementara itu Heath et al (2010) mengatakan bahwa jamur Ceratocystis spp. memiliki berbagai strategi agar dapat menjangkau adanya luka pada pohon dan menginfeksi pohon tersebut. Yang paling umum adalah jamur ini berasosasi dengan kumbang bark-beetles. (Coleoptera: Scolytidae) , nitidulid beetles (Coleoptera: Nitidulidae) dan  flies . Walau demikian banyak juga species Ceratocystis yang tidak berasosiasi dengan bark – beetles , dan memproduksi aroma buah-buahan untuk membuat serangga datang dan membuat luka pada pohon. Sementara itu Tarigan et al (2013) mengatakan Ceratocystis umumnya menginfeksi pohon melalui adanya luka pada pohon, baik luka alami ataupun luka karena faktor lain misalnya karena angin, hewan, stem borrer dan luka akibat aktivitas manusia .

Sementara itu Ahmad et al (2015) juga mengatakan bahwa C. manganicans juga menyerang tanaman A.mangium di Sabah Malaysia dan pada hasil pengamatan telah merusak sampai 30% tegakan dengan tingkat serangan berat sampai serius. Pengendalian penyakit ini dengan fungsida diketahui tidak ekonomis dan harus ada langkah-langkah strategis dalam penanganannya. Langkah silvicultur teknik dengan mengurangi luka pada batang tanaman merupakan langkah yang dapat dilaksanakan sebagai langkah preventif.

Chi dan Thu (2016) melaporkan bahwa layu pada tanaman Acacia spp. di Vietnam disebabkan oleh C.manginecans. Hasil penelitian tentang uji perangkap spora pada tanaman A.auriculiformis di propinsi Binh Duong dan Dong Nai , serta Acacia hibrid di propinsi Tuyen Quang dan Yen Bai , serta tegakan A.mangium di propinsi Phu Tho dan Yen Bai menunjukkan bahwa densitas spora lebih tinggi ditemukan pada tegakan A.mangium dan Acacia hibrid dibanding tegakan A.auriculiformis. Jumlah spora C. manginecans yang terbanyak ditemukan pada ketinggain 110-120 cm dari permukaan tanah . Spora ditemukan pada ketinggian 60 cm – 150 cm dari permukaan tanah  dan rata-rata jumlah spora yang terperangkap adalah 70.5 – 78.1 CFU (Colony Forming Unit) per perangkap setiap minggu pada tanaman A.auriculiformis , 78,1-84,4 CFU/ perangkap/minggu pada Acacia hibrid  dan 84,4-87,5 CFU/perangkap/minggu pada tanaman A.mangium .

Hasil pengujian resistensi tiga sumber genetik (famili dari land race , Queensland dan Papua New Guinea) di Sabah Malaysia menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antar sumber genetik terhadap resistensi terhadap C. acaciivora yang menyerang A.mangium (Brawner et al, 2015). Sementara itu Tarigan et al (2011b) menyimpulkan bahwa  pruning (pemangkasan) yang hati-hati dapat mereduksi adanya serangan penyakit busuk batang A.mangium dan A.crassicarpa di Indonesia . Tindakan silvicultur ini bersama-sama dengan breeding strategi diyakini akan memberikan kesuksesan dalam HTI Acacia spp.
Rekomendasi Tarigan et al (2013) , Heath et al (2010) dan Ahmad et al (2015)  menyarankan tindakan manajemen terhadap penanggulangan penyakit layu Ceratocystis pada Acacia spp. yaitu sbb :
     -     Menghindari sebisa mungkin terjadinya pelukaan pada pohon pada seluruh rangakain proses operasional HTI.
    -     Menanam material yang toleran/resisten
  -  Mengembangkan bio-agent control yang efektif : Endophytic Trichoderma dan Endophytic Bacteria yang diisolasi dari tegakan A.mangium telah menunjukkan beberapa pengaruh positif pada tanaman yang terserang Ceratocystis
     -    Meningkatkan kekuatan dan kesehatan tanaman dan mengurangi potensi stres                    dengan menerapkan silvikultur yang baik 


DAFTAR PUSTAKA

Adawi Al, O. A. , R. M. Al Jabri, M. L. Deadman, I. Barnes, B. Wingfiel dan  M. J. Wingfield. 2013a. The Mango Sudden Decline Pathogen, Ceratocystis manginecans, is Vectored by Hypocryphalus mangiferae (Coleoptera: Scolytinae) in Oman. Online. http://link.springer.com/article/10.1007/s10658-012-0081-7 (diakses 28 Juli 2008)

Adawi  Al , A.O.,  I. Barnes, I. A. Khan, A. M. Al Subhi, A. A. Al Jahwari, M. L. Deadman, B.D.Wingfield dan  M.J.Wingfield. 2013b. Ceratocystis manginecans Associated With a Serious Wilt Disease of Two Native Legume Trees in Oman and Pakistan. Online. http://link.springer.com/article/10.1007/ s13313-012-0196-5 (diakses 28 Juli 2016)

Ahmad, M.F., P. Mansor, Y. Japaruddin, dan A.Z Yahya. 2015. Wilt Disease, A Threat to Acacia Plantation. Penyakit Layu, Suatu Ancaman Kepada Ladang Akasia. FRIM In Focus December 2015.

Alfenas, A.C. , M. A. Ferreira, R. G. Mafia, E. A. V. Zauza dan D.H. B. Binoti. ?. Volume and pulp yield of healthy and infected trees of Eucalyptus urophylla x E. grandis by Ceratocystis fimbriata. Online. http://www.eucalyptus.com.br/artigos/outros/10A_Pest_effects.pdf (diakses 27 Juli 2016)

Anonim. 2013. Silviculture : Forest Disease . Online. http://www.sappi.com/regions/sa/SappiSouthernAfrica/Sappi%20Forests/Tree%20Farming%20Guidelines/Part%202_Silviculture_Chapter%2013_Forest%20Diseases.pdf (diakses 27 Juli 2016)

Barnes, I., J.Roux, B.D. Wingfield dan M.J. Wingfield. 2003a. Ceratocystis fimbriata Infecting Eucalyptus grandis in Uruguay. Online. https://www.researchgate.net/publication/228489603_Ceratocystis_fimbriata_infecting_Eucalyptus_grandis_in_Uruguay (diakses 26 Juli 2016)

Barnes, I., J.Roux, B.D. Wingfield,  M.J. Dudzinksi dan K.M.Old. 2003b. Ceratocystis pirilliformis, a New Species From Eucalyptus nitens in Australia. Mycologia, 95(5) : 865–871

Bartlett, T. 2011. ACIAR's Forestry Research in Vietnam. Online
http://aciar.gov.au/content/aciars-forestry-research-vietnam. (diakses 24 Juli 2016)

Braidotti, G. 2013. Vietnam’s Need For Trees . Online . http://aciar.gov.au/files/node/14983/vietnam_s_need_for_trees_pdf_95665.pdf. (Diakses 25 Juli 2016).

Brawner, J., Y. Japarudin, M. Lapammu, R. Rauf, D.Boden dan M.J Wingfield. 2015. Evaluating the Inheritance of Ceratocystis acaciivora Symptom Expression in a Diverse Acacia mangium Breeding Population. Online. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2989/20702620.2015.1007412#.V5ojscipbgE (diakses 27 Juli 2016)

Cabrera, O.G. , E. P.L Molano , J.José, J.C.Álvarez dan G. A. G.Pereira. 2016. Ceratocystis Wilt Pathogens: History and Biology—Highlighting C. cacaofunesta, the Causal Agent of Wilt Disease of Cacao. Online. http://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-24789-2_12 (diakses 27 Juli 2016)

Chen, S.F., M. van Wyk, J.Roux dan X. Zhou. 2013. Taxonomy and pathogenicity of Ceratocystis species on Eucalyptus trees in South China, including C. chinaeucensis sp. nov. Online. https://www.researchgate.net/publication/235651359_Taxonomy_and_pathogenicity_of_Ceratocystis_species_on_Eucalyptus_trees_in_South_China_including_C_chinaeucensis_sp_nov (diakses 26 Jul 2016)

Chi, N.M. dan P.Q. Thu. 2016. Spore Trap Study in Acacia auriculiformis, Acacia hybrids and Acacia mangium Plantations in Vietnam. Online. http://vafs.gov.vn/vn/wp-content/uploads/sites/2/2016/05/Tap-chi-KHLN-so-1_2016_bai-8-Nguyen-Minh-Chi.pdf (diakses 26 Juli 2016).

De Jong, W., D.D. Sam dan T.V.Hung. 2006. Forest Rehabilitation in Vietnam : Hitories, Realities and Future. CIFOR, Bogor. 76 h.

Dell, B., D. Xu, dan P.Q. Thu. 2012. Managing Threats to the Health of Tree Plantations in Asia,  New Perspectives in Plant Protection. (Ed : A.R.Bandani) , In-Tech. Online. http://www.intechopen.com/books/new-perspectives-in-plant-protection/managing-threats-tothe-health-of-tree-plantations-in-asia (diakses 26 Juli 2016).

Dong, T.L. 2014. Using Acacia as A Nurse Crop For Re-Establishing Native-Tree Species Plantation on Degraded Lands in Vietnam. Disertasi. School of Land and Food , Univeristy of Tasmania .

Dos Santos, A.F dan F.A. Ferreira.2003. Murcha-de-Ceratocystis em Acácia-Negra no Brasil. Fitopatol. bras. 28(3), maio -jun 2003

EFSA. 2014. EFSA Panel on Plant Health (PLH) - Scientific Opinion on the pest categorisation of Ceratocystis platani (Walter) Engelbrecht et Harrington. EFSA Journal 12(10):3858, 36 pp. doi:10.2903/j.efsa.2014.3858

Engelbrecht, C.J.,  T. C. Harrington dan A. Alfenas. 2007. Ceratocystis Wilt of Cacao—A Disease of Increasing Importance. Phytopathology 97: 1648-1649.

Fateh, F.S., M.R.Kazmi, I.Ahmad dan M.Ashraf. 2006. Ceratocystis fimbriata Isolated From Vascular Bundles of Declining Mango Trees in Sindh, Pakistan. Pak. J. Bot., 38(4): 1257-1259

Fourie,  A. ,  M.J.Wingfield, B.D.Wingfield, P.Q.Thu dan I. Barnes . 2015. A Possible Centre of Diversity in South East Asia for The Tree Pathogen, Ceratocystis manginecans. Infection, Genetics and Evolution 41: 73–83.

Friday, J.B, L.Keith dan F. Hughes. 2015. Rapid ‘Ōhi‘a Death (Ceratocystis Wilt of ‘Ōhi‘a). Plant Disease PD-107 . University of Hawaii, Monoa.

Galdino, T.V. da Silva, S. Kumar, L. S. S. Oliveira, A.C. Alfenas, L.G. Neven, A. M. Al-Sadi dan M. C. Picanço. 2016. Mapping Global Potential Risk of Mango Sudden Decline Disease Caused by Ceratocystis fimbriata. PLoS ONE 11(7): e0159450. doi:10.1371/journal.pone.0159450

Griffin, A. R., H.H. Thinh, C. E. Harwood, dan J. Harbard. 2015. Final Report Advanced Breeding and Deployment Methods for Tropical Acacias. ACIAR, Canberra.

Griffin, A. R. , S.E.K. Nambiar, C.E. Harwood dan L.S.See. 2015b. Sustaining the Future of Acacia Plantation Forestry – A Synopsis. Online. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2989/20702620.2015.1011380 (diakses 26 Juli 2016)

Harwood, C.E. 2014. Forestry in International Development: How to Get Involved?.(Presentation) Online. http://www.forestry.org.au/ckeditor/ckfinder/ userfiles/files/IFA%20Tas%20event%20Chris%20Harwood%20Sep%2014.pdf (diakses 26 Juli 2016)

Harwood, C.E., L.D. Kha, P. Q. Dien dan L. V. Thang. 1997. Performance of Australian Dry-zone Acacia Species on White Sandy Soil in Dry, Southeastern Vietnam. Dalam. Recent Developments in Acacia Planting-Proceedings of An International Workshop Held in Hanoi, Vietnam, 27-30 October 1997 (Ed : J.W. Tumbull, H.R. Crompton dan K. Pinyopusarerk).  Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) , Canberra.

Harwood, C.E. dan E.K.S. Nambiar . 2014.  Sustainable Plantation Forestry in South-East Asia. ACIAR Technical Reports No. 84. Australian Centre for International Agricultural Research,  Canberra. 100 pp.

Heath, R. N., M. Van Der Linde,  H. Groeneveld, B. D. Wingfield, M. J. Wingfield dan  J. 
Roux. 2010. Factors Influencing Infection of Acacia mearnsii by The Wilt Pathogen Ceratocystis albifundus in South Africa. For. Path. 40 : 500–509

Hedge, M., K. Palanisamy dan  J. S. Yi. 2013. Acacia mangium Willd. - A Fast Growing Tree for Tropical Plantation. Journal of Forest Science . Vol. 29 (1):  1-14.

Hieu, P.S., S. Harrison dan D. Lamb. 2011. A Spatial Equilibrium Analysis of Policy for the Forestry and Wood-Processing Industries in Northern Vietnam. Modern Economy. Vol. 2:  90-106

Hoat, T.X., D.V.T. Thanh, M. Dickison, N.G.Bon, M.V.Quan, V.D. Hien, N.D. Thanh, L.T.Thuy, dan N.V.Vien. 2013. Disease Problem of Sugarcane in Vietnam, With Special Reference To Phytoplasma. Functional Plant Science and Biotechnology . Vol. 6 . Special Issue 2 : 117-123

Kajii, C., T. Morita, S. Jikumaru, H. Kajimura, Y. Yamaoka dan K. Kuroda. 2013. Xylem Dysfunction in Ficus carica Infected With Wilt Fungus Ceratocystis ficicola and The Role of The Vector Beetle Euwallacea interjectus. IAWA Journal 34 (3) :301-312

Krisnawati, H., M.Kallio dan M. Kanninen. 2011. Acacia mangium Willd.: Ecology, Silviculture and Productivity. CIFOR, Bogor. 15 h

Lee, D.H., J.Roux , B.D. Wingfield dan M.J. Wingfield.  2016. New Host Range and Distribution of Ceratocystis pirilliformis in South Africa. Online. https://www.researchgate.net/publication/301536809_New_host_range_and_distribution_of_Ceratocystis_pirilliformis_in_South_Africa (diakses 27 Juli 2016)

Lee, S.S. 2003. Pathology of Tropical Hardwood Plantations in Southeast Asia. New Zealand Journal of Forestry Science 33(3): 321–335

Liu, F.F., M. Mbenoun ,  I. Barnes , J. Roux , M.J. Wingfield, G. Q. Li , J.Q. Li, dan S.F. Chen. 2015. New Ceratocystis species from Eucalyptus and Cunninghamia in South China. Antonie van Leeuwenhoek 107:1451–1473

Mafia, R., M.A. Ferreira, E.A.V. Zauza dan S. Woodward. 2013. Impact of Ceratocystis Wilt on Eucalyptus Tree Growth and Cellulose Pulp Yield. Online. https://www.researchgate.net/publication/263256794_Impact_of_Ceratocystis_wilt_on_eucalyptus_tree_growth_and_cellulose_pulp_yield (diakses 27 Juli 2016)

Mbenoun,  M. , M. J. Wingfield, A.D.B. Boyogueno ,  B.D. Wingfield dan J. Roux. 2013. Molecular Phylogenetic Analyses Reveal Three New Ceratocystis Species and Provide Evidence for Geographic Differentiation of The Genus in Africa. Mycol. Progress 13:219–240

Midgley, S., K.Pinyopusarerk, C.Harwood dan J.Doran. 1997. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 4: Exotic Plant Species in Vietnam’s Economy - The Contributions of Australian Trees. Resource Management in Asia-Pacific Project, Division of Pacific and Asian History, Research School for Pacific and Asian Studies, The Australian National University, Canberra. 12 h.

Mirzaee, M.R., M. Mohammadi dan A. A. Nasrabad. 2009. Relative Susceptibility of Citrus Genotypes to Fruit Rot Caused by Ceratocystis radicicola in Iran. Tropical Plant Pathology. Vol. 34 (5) : 329-332

Montoya, M.M. dan M.J. Wingfield. 2006. A Review of Ceratocystis sensu stricto With Special Reference to The Species Complexes C. coerulescens and  C. fimbriata. Rev.Fac.Nal.Agr.Medellín.Vol.59 (1) : 3045-3075.

Morris, M,J., M.J.Wingfield dan C. D Beer. 2007. Gummosis and Wild of Acacia mearnsii Caused by Ceratocystis fimbriata. Online. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-3059.1993. tb01570.x/ abstract (diakses 27 Juli 2016)

Mortenson,L.A., R.F.Hughes, J.B.Friday, L.M.Keith, J.M.Barbosa, N.J.Friday, Z.Liu,  dan  T. G. Sowards. 2016. Assessing Spatial Distribution, Stand Impacts and Rate of Ceratocystis fimbriata Induced ‘o¯hi‘a (Metrosideros polymorpha) Mortality in a Tropical-wetFforest, Hawai‘i Island, USA. Forest Ecology and Management 377 :83–92

Nambiar,E.K.S, C.E.Harwood dan N.D.Kien. 2014. Acacia Plantations in Vietnam: Research and Knowledge Application to Secure a Sustainable Future. Online. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2989/20702620.2014. 999301?journalCode=tsfs20. (diakses 25 Juli 2016) .

New Forest. 2015. Timberland Investment Outlook :2015-2019. New Forests Advisory Pty Limited, Australia. 50 h.

Nkuekam, G.K. , M. J. Wingfield dan J. Roux. 2012. Ceratocystis Species, Including Two New taxa, From Eucalyptus Trees in South Africa. Australasian Plant Pathology DOI 10.1007/s13313-012-0192-9.

Oliviera, L.S. S. 2014. Ceratocystis Wilt on Mangifera indica, Colocasia esculenta and Tilia americana. Tesis. VIÇOSA MINAS GERAIS - BRASIL

Ploetz, R.C. ?. Tropical Fruit Crops and The Disease That Affect Their Production. Online . http://www.eolss.net/ebooks/sample%20chapters/ c20/e6-142-ta-05.pdf (diakses 26 Juli 2016)

Ploetz, R.C., J. Hulrc, M.J.Wingfield dan Z.W. de Beer. 2013.Destructive Tree Diseases Associated With Ambrosia and Bark Beetle : Black Swan Events in Tree Pathology?. Plant Disease . Vol. 95  (7): 856-872

Poussio G.B., M.R Kazmi, C Akem, dan F S Fateh. 2010. First Record of Ceratocystis fimbriata Associated with Shisham (Dalbergia sissoo) Decline in Pakistan. Australasian Plant Disease Notes. Vol. 5: 63–65

Rahayu,S., H.H.Nurjanto dan R.G.Pratama. 2015. Karakter Jamur  Ceratocystis sp. Penyebab Penyakit Busuk Batang Pada Acacia decurrens dan Status Penyakitnya Di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol.9 (2) :94-104

Rashid, A., S. Iram dan  I. Ahmad. 2014. Molecular Characterization of  Ceratocystis manginecans sp. Fram Mango in Pakistan . Pak. J. Agri. Sci., Vol. 51(4) : 901-905

Rodas, C.A., J.Roux, M. van Wyk, B.D. Wingfield dan M.J.Wingfield. 2008. Ceratocystis neglecta sp. nov., Infecting Eucalyptus Trees in Colombia. Fungal Diversity 28: 73-84

Rosado, C.C.G., L.M. da Silva Guimares, M. Titon, D.Lau, L. Rosse, M.D.V de Resende dan A.C. Alfenas. 2010. Resistance to Ceratocystis Wilt (Ceratocystis fimbriata) in Parents and Progenies of Eucalyptus grandis x E. urophylla. Silvae Genetica 59, 2–3

Roux, J. dan M.J.Wingfield. 1999. Ceratocystis species: Emerging Pathogens of Non-native Plantation Eucalyptus and Acacia Species. Southern Forests: A Journal of Forest Science 71(2):115-120

Roux , J. dan M.J. Wingfield. 2012. First Report of Ceratocystis Wilt of Acacia mearnsii in Uganda. Online. http://www.apsnet.org/publications/plantdisease /2001/September/Pages/85_9_1029.2.aspx (diakses 27 Juli 2016)

Roux, J.,  M. van Wyk, H. Hatting dan M. J. Wingfield. 2004. Ceratocystis Species Infecting Stem Wounds on Eucalyptus grandis in South Africa. Plant Pathology 53: 414–421

Sang, P.M. , D. Lamb dan  S.Schmidt. ?. Constraints on Smallholder Plantation Forestry in Vietnam (Presentation). Online. http://www.smallscaleforestry.org/uploads/4/5/6/5/45658385/phan_et_al.pdf (diakses 26 Juli 2016)

Santos, R.M.F.,  U.V. Lopes, S.D. V. M. Silva, F. Micheli , D.Clement  dan  K. P. Gramacho. 2012. Identification of Quantitative Trait Loci Linked to Ceratocystis Wilt Resistance in Cacao. Mol Breeding  30:1563–1571

Soulioti, N. , P.Tsopelas dan S. Woodward. 2008. Ceratocystis platini : An Invasive Fungal Pathogen Threatening Natural Population of Oriental Plane in Greece. (Presentasi). Online. file:///C:/Users/mss160368/Downloads/70312-shepherdstown08-abstracts.pdf  (diakses 26 Juli 2016).

Sein,C.C. dan R. Mitlohner. 2011a. Acacia Hybrid : Ecology and Silviculture in Vietnam. CIFOR, Bogor. 12 h.

Sein,C.C. dan R.Mitlohner. 2011b. Acacia mangium Willd : Ecology and Silviculture in Vietnam. CIFOR, Bogor. 16 h.

Silva, J.C.P.  S.R. Silva dan  C.A.H. Flechtmann. 2014. Beetle Borers (Coleoptera) in Fig trees (Ficus carica) with Ceratocystis Canker in Southern Brazil. Congress Entomologia XXV Brazil, 14-18 Sep 2014.

Silveira, S.F., T.C. Harrington, V. Mussi-Dias, C.J.B. Engelbrecht, A.C. Alfenas dan C.R. Silva. 2006. Annona squamosa, a New Host of Ceratocystis fimbriata. Fitopatologia Brasileira 31:394-397.

Tarigan, M., J.Roux, M.J. Wingfield, M. Van Wyk dan B. Tjahyono. 2010. Three New Ceratocystis spp. in the Ceratocystis moniliformis Complex From Wounds on Acacia mangium and A. crassicarpa. Online. http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S134035401070190X. (diakses 25 Juli 2016)

Tarigan, M., J.Roux, M.Van Wyk , B.Tjahyono dan M.J.Wingfield. 2011a. A New Wilt and Die-back Disease of Acacia mangium Associated with Ceratocystis manginecans and C. acaciivora sp. nov. in Indonesia. South African Journal of Botany 77(2):292-304.

Tarigan, M., M.J .Wingfield, M. van Wyk, B.Tjahjono dan J.Roux.2011b. Pruning quality affects infection of Acacia mangium and A. crassicarpa by Ceratocystis acaciivora and Lasiodiplodia theobromae. Southern Forests . Vol  73(3&4): 187–191

Tarigan, M., M.Yuliarto, A. Gafur, W.C. Yong  dan  M. Sharma. 2013. Other Acacia Species as a Source of Resistance to Ceratocystis. Online. http://www.biotifor.or.id/2013/lb.file/gambar/File/Workshop%20Ceratocystis/Abdul%20Gafur%20(RAPP)%20-%20Other%20Acacia%20species%20as %20source%20of%20resistance%20to%20Ceratocystis.pdf (diakses 28 Juli 2016)

Thinh, R.R., L.D.Khal, S.D.Searle dan  R.V.Tung. 1997. Performance of Australian Temperate Acacias on Subtropical Highlands of Vietnam. Dalam. Recent Developments in Acacia Planting-Proceedings of an International Workshop Held in Hanoi, Vietnam, 27-30 October 1997 (Ed : J.W. Tumbull, H.R. Crompton dan K. Pinyopusarerk).  Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) , Canberra

Thu, P.Q., D. N.Qynh dan B. Dell. 2013. Ceratocystis sp. Causes Crown Wilt of  Acacia spp. Planted in Some Ecological Zones of Vietnam . Dalam. Proceeding of International Conference on The Impacts of Climate Change to Forest Pests and Diseases in The Tropics, October 8th – 10th, 2012 Mohammed, C., Beadle,C., Roux, J., Rahayu, S. (eds). Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada,  Yogyakarta. 

To, P.X. 2013. Vietnam’s Wood Chip Industry: Status of the Sector in 2012 and Challenges for Future Development (Editor : Eve Richer) . Online.  http://www.forest-trends.org/documents/files/doc_4883.pdf. (Diakses 25 Juli 2016)

Turnbull, J.W., S.J. Midgley dan C. Cossalter. 1997. Tropical Acacias Planted in Asia: An Overview. Dalam. Recent Developments in Acacia Planting-Proceedings of an International Workshop Held in Hanoi, Vietnam, 27-30 October 1997 (Ed : J.W. Tumbull, H.R. Crompton dan K. Pinyopusarerk).  Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) , Canberra.

Van Bueren, M. 2004. Acacia Hybrid in Vietnam . ACIAR Project FST/1986/030.  Impact Assessment Series Report No. 27 . Centre for International Economics, Canberra and Sydney. 43 h.

Van Wyk, M., A. O. Al Adawi, , I. A. Khan, M. L. Deadman,  A.. A. Al Jahwari, B.D. Wingfield, R. Ploetz dan M.J.  Wingfield. 2007. Ceratocystis manginecans sp. nov., Causal Agent of A Destructive Mango Wilt Disease in Oman and Pakistan. Fungal Diversity 27: 213-230.

Van Wyk, M., B.D. Wingfield, P.A. Clegg dan  M.J. Wingfield. 2009. Ceratocystis larium sp. nov., A New Species From Styrax benzoin Wounds Associated With Incense Harvesting in Indonesia. Persoonia 22: 75–82

Wingfield, M.J., J. Roux dan B.D. Wingfield. 2011. Insect Pests and Pathogens of Australian Acacia Species Grown as Non-natives – An Experiment in Biogeography with Far Reaching Consequences. Online. http://repository.up.ac.za/dspace/bitstream/handle/2263/18108/Wingfield_Insect(2011).pdf?sequence=1&isAllowed=y (diakses 26 Juli 2016)






Senin, 25 September 2017

Lama tak tersentuh

Sudah hampir 4 tahun blog ini tertinggalkan . Karena berbagai alasan tidak sempat mengunjunginya.

Hari ini (25 Sep 2017) ingin kembali mengisinya dengan berbagai tulisan dan informasi.

Semoga bisa hidup kembali.

😊

Sabtu, 14 September 2013

Mengapa Clonal Forestry di Brazil sukses? (sebuah opini)

Clonal Forestry Brazil (photo from Dag Lindgren)
Tak dapat dipungkiri, revolusi kehutanan dengan sistem clonal telah dicapai Brazil dan beberapa negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Uruguay, Venezuela, dll termasuk Afrika Selatan, Australia dan Amerika Serikat. Bukan saja jenis Eucalyptus yang masuk ke dalam kelompok daun lebar (broad leaf), tapi juga sudah masuk ke jenis Conifer (Pinus) atau berdaun jarum.

Mengapa mereka bisa berevolusi?

Dari berbagai literatur, disebutkan, masuknya tanaman Eucalyptus ke Brazil diawali untuk kepentingan pembuatan arang (energi). Kemudian beralih ke produk kayu pertukangan (khusunya rel kereta api) dan papan. Dan sejak tahun 60-an, mulai merambah ke industri pulp and paper. Sejak tahun 60_an itu, dunia kehutanan di Brazil bagai melesat baik dari segi kuantitas (luas penanaman) , produksi kayu maupun kualitas kayu.

Lantas, mengapa sukses meningkat dari tahun ke tahun? Apa kunci suksesnya?

Pertanyaan itu selalu sulit untuk dijawab , bukan karena tak punya jawaban, tapi semakin dijawab semakin banyak pertanyaan selanjutnya, dan semakin sulit diikuti. Beberapa literatur yang pernah saya baca , kemudian beberapa komunikasi pribadi dengan pakar HTI di Brazil sana, juga beberapa kali kunjungan ke sana, menurut saya ada beberapa kunci sukses umum yaitu ;

1. Mereka punya cadangan Genetik Material (clone) yang unggul melalui proses tree improvement (pemuliaan) yang handal dan tak henti. 
Tidak heran melihat perusahaan-perusahaan Brazil punya cadangan clone di clonal testnya sampai ribuan clone, bahkan masih punya cadangan pohon plus sampai 5000 - 7000 pohon dalam satu perusahaan saja. Ini modal yang sangat besar yang memungkinkan mereka "mengotak-ngatik" genetik material untuk mendapatkan 10-30 the best clone setiap tahunnya. Mereka punya persilangan (hybrid) yang bukan saja antar species, tapi sudah masuk ke phase multispecies (misalnya antara E.grandis X E. urophylla x E.pellita), dll. Mereka biasanya punya cadangan clone di clone test multilokasi yang dibangun setiap tahun (sekali lagi : setiap tahun!) untuk mengantisipasi bagaimana perubahan lingkungan (cuaca) mempengaruhi klon termasuk upaya mengantisipasi korelasi Genetic versus Perubahan Iklim. Mereka sadar, perubahan iklim bukan untuk hanya dibahas, bukan hanya untuk diseminarkan tapi disikapi dan dilakukan usaha-usaha adaptasi menghadapi perubahan iklim itu. Sehingga tak heran, ketika tahun 2003 saya berkunjung ke salah satu perusahaan di Brazil, mereka punya 5 commersial Clone, dan pada tahun 2005, kelima clone itu sudah tergantikan dengan 10 new commercial clone yang lebih handal terhadap lingkungan dan lebih bagus kualitasnya. Saya berfikir, pantas mereka tetap "improve".

2. Mereka punya Cadangan Sumberdaya Manusia yang Handal. 
Setiap berbicara dengan pelaku-pelaku kehutanan dari Brazil, atau Amerika Latin umumnya, saya terus terang merasa minder. Minder karena ternyata mereka rata-rata berpendidikan S2 dan S3 untuk bidang HTI. Mereka sangat tertarik menimba ilmu sampai ke luar negeri hanya untuk mempelajari sub-sub bidang HTI seperti soil, silviculture, genetic, nursery, seed management, mekanisasi, dsb. Setiap bertemu kepala R&D di perusahaan Brazil yang besar-besar, selalu titelnya DR atau Phd......, paling tidak MSc bidang Hutan tanaman. Hebat. Dan kebetulan, perusahaan yang saya pernah kunjungi seperti Aracruz, veracel, Rigesa, International Paper, Klabin, punya staff-staff R&D yang rata-rata sudah mengeyam pendidikan S2. Bahkan ketika mengunjungi Aracruz tahun 1994, research centernya dikepalai seorang DR, membahawi 5 doktor untuk departemen Tree Improvement, Silviculture, Pest and Disease, Wood Technology dan Nursery. Kemudian masing-masing Doktor itu membawahi 3 orang MSc dan setiap master itu membawahi sekitar 5-10 orang Sarjana. Dalam hati saya berkata, "pantas mereka bisa fokus dan sukses". Melihat tanaman di Aracruz tahun 1994 , membuat saya terperangah, padahal waktu itu mereka akui MAI (mean annual increment) tegakan mereka hanya 35 m3/ha/tahun. Sekarang Aracruz mengakui tanaman Eucalyptus clone mereka punya MAI sekitar 45-50 m3/ha/tahun. Fantastis. Kalau dipanen umur 6 tahun, berarti mereka sudah menghasilkan 270 m3 - 300 m3 /ha. Kehandalan sumberdaya manusia bidang HTI di Brazil sangat didukung juga dengan berdirinya fakultas-fakultas jurusan Plantation di berbagai negara bagian Brazil. Lembaga-lembaga penelitian kehutanan di Brazil juga intens melakukan penelitian teknologi pemulian, silviculture, wood technology dan ekologi HTI. Banyak sekali kolaborasi penelitian antara lembaga-lembaga penelitian itu dengan perusahaan-perusahaan, dan ini didukung juga oleh dana dari pemerintah Brazil. Dengan semua itu, tak heran, jika banyak kalangan muda di Brazil tetap berminat menggeluti bidang HTI sebagai jalan karirnya.

3. Mereka didukung dengan penerapan Silviculture yang super Intensif.
Setiap membaca literatur hasil penelitian di Brazil dan negara-negara lainnya yang sukses pada Clonal forestry, selalu saja mengatakan "tanpa silviculture intensif material genetik unggul tidak akan menghasilkan apa-apa". Ya memang, secara teori juga demikian. Clone yang unggul secara genetik membutuhkan lingkungan dan budidaya yang sesuai untuk mampu mengeluarkan potensinya. Belum ada clone yang mampu tumbuh baik dilahan yang tidak sesuai kriterianya, atau di lahan yang tidak disiangi gulmanya, atau tidak dipupuk. Konsekuensi pemilihan clone adalah harus adanya syarat-syarat yang dipenuhi agar clone itu menghasilkan atau mengeluarkan potensinya. Clone bukan material "superman" yang dapat melawan gempuran kurang hara, persaingan gulma, atau kesalahan penanaman. Klon butuh spesifikasi lahan dan teknik budidaya yang khas, unik dan intensif . Dengan kondisi lingkungan yang cocok, barulah potensial genetiknya muncul dan keluar menjadi pohon yang pertumbuhannya luar biasa. Klon butuh penanganan yang intensif, bukan penanganan apa adanya dan atau kita berharap klon mampu melawan semua ketidaksesuaian itu. Tidak bisa. Kita harus menyiapkan kondisi yang baik agar potensinya keluar. Dengan itu, silviculture diperusahaan-perusahaan HTI di Brazil menerapkan tindakan yang super intensif. Lahannya dibajak, dipupuk, disiram, di weeding, dan bibitnya ditanam dengan teknik yang benar. Mereka mengkombinasikan seluruh teknik budidaya agar klon berada pada zona yang "nyaman" tumbuh dan menghasilkan kayu maksimal. Tak heran kita melihat mesin-mesin traktor bekerja di lahan HTI di Brazil, ada yang membajak tanah, menghancurkan seresah (mulcher), menebarkan pupuk, menyemprotkan herbisida, dsb. Teknologi permesinan dibidang HTI di Brazil sana sepertinya sudah sama dengan teknologi pertanian di Amerika , Australia atau Jepang. Mereka faham, silviculture-lah yang menjadi jalan (way) untuk menelurkan (menghasilkan) potensi emas (unggul) Klon yang di tanam. Dan tak sekedar wacana, mereka melakukannya seoptimal mungkin, sampai potensi genetik, potensi lahan, potensi iklim dan potensi manusia tersalurkan seluruhnya demi produktivitas kayu HTInya. Tak heran MAI 70-80 bisa tercapai dibeberapa petak di sana.

4.Mereka didukung dengan teknologi pembibitan yang modern dan hygine. 
Mereka disana sepertinya sadar benar, bahwa bibit itu adalah awal dari produktivitas HTI. Bibit itu menjadi garis start untuk meraih kemenangan dalam perlombaan. Posisi start yang baik akan menjadi modal pertama untuk mencapai garis finish yang terbaik. Seperti layaknya perenang dan pelari dilintasannya. Jika melihat nursery (pembibitan) tanaman HTI di perusahaan-perusahaan Brazil, rasanya sedih dan "galau", jika membandingkannya dengan nursery-nursery di Indonesia. Nursery disana tidak mewah, tapi sesuai fungsi dan tepat fungsi. Melihat kebun pangkas dengan lantai kering, bersih, dan tidak ada genangan, tidak ada gulma dan lumut, seakan_akan memasuki persemaian tanaman hias. Sistem pengairan dan pengabutan yang otomatis, air yang steril, sistem kerja yang ergonomis, sepertinya menjadi standar dalam Nursery HTI di Brazil. Sungguh nyaman dan efektif untuk menghasilkan bibit-bibit klon yang kuat, sehat dan sesuai jumlahnya. Sistem seleksi bibit yang ketat, pengangkutan yang aman dan melindungi bibit, dan kedisiplinan orang-orang menjadi hal-hal yang normal disana. Bagaimanapun tentunya sikap disiplin di Nursery sangat penting dan "kekakuan" untuk menentukan bibit lolos ke lapangan sepetinya jadi modal dan prasyarat utama dalam bisnis HTI di Brazil. Tidak ada toleransi terhadap kualitas bibit yang akan ditanam. Hanya ada kata "yes lolos" dan "no.. Riject". Tidak ada keraguan karena standar kualitas sudah dibakukan dan tidak ada tawar menawar. Teknologi pembitan klon eucalyptus dan pinus di Brazil menjadi "kiblat" berbagai negara.

Ke-empat hal di atas, menurut saya (opini saya) menjadi faktor kunci keberhasilan Brazil mengembangkan clone-clone unggulannya. Tentunya , apapun itu, mereka juga menghadapi problem, tetapi mereka berusaha tidak menolerir standar utama dalam membangun tegakan HTI. Jika bibit sudah bagus dan lolos seleksi, mereka tangani dengan baik, kemudian lahan harus super berkualitas, dan teknik penanaman juga tidak asal-asalan. Selanjutnya pemupukan dan pengendalian gulma yang tepat, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu, menjadi modal pohon untuk tumbuh sempurna. Ujungnya, pohon itu tumbuh dengan "happy", tersenyum dan menuangkannya dengan pertumbuhan Tinggi, Diameter dan Wood properties. Tegakan HTI itu menjadi hijau, rata (homogen) dan alat-alat panen seperti harvesterpun bersuka cita menebang "kesuksesan" itu. Dan semua itu tentunya didasari keinginan (hasrat) semua stakeholder perusahaan-perusahaan HTI di sana, terutama pemodal/investornya dan pelaku_pelaku kehutanannya. Tidak akan mungkin semua itu terjadi jika pengusahanya misalnya berfikir setengah-setengah untuk membangun HTI yang produktivitasnya tinggi. Modal, usaha , kerja keras, skill, knowledge, hasrat, dan bukti nyata harus dipadukan agar menjadi sebuah kesuksesan.

Bagaimana kita menjadi seperti itu. Seorang konsultan dari Amerika pernah punya saran kepada saya , " Maurits, kalau mau seperti perusahaan Brazil, tirulah 100%, contoh dan ikuti 100% dulu, jangan berimprovisasi .... Dan lihat buktinya! Setelah kamu mencontohnya 100%, lihat hasilnya, baru saatnya kamu melakukan improvement... Jika hasilmu belum seperti mereka, berarti kamu belum melakukan improvement. Karena improvement itu adalah berhasil mengalahkan benchmark, dan benchmark HTI di dunia ini ya Brazil".