Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS ( TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK )


Tegakan Clonal Euclyptus hybrid di Colombia
Tak dapat dipungkiri, clonal forestry Eucalyptus spp. sudah menjadi benchmark pembangunan Hutan Tanaman di berbagai negara terutama negara-negara di Amerika Latin , Asia , Australia , Afrika bahkan beberapa negara di Eropa.  Ini karena sudah jelas, clonal forestry Eucalyptus telah menunjukkan produktivitasnya yang sangat tinggi . Di berbagai negara  bahkan clonal forestry Eucalyptus spp.  mampu mencapai MAI 50-60 m3/ha/tahun atau dapat menghasilkan MAI ADT (Air Dry Ton)  Pulp > 10 ton/ha.  Brazil sebagai negara yang dinyatakan sebagai “kiblat” clonal forestry bahkan menyebutkan bahwa di beberapa plot penelitian ada clone yang menghasilkan MAI > 70 m3/ha/tahun atau MAI ADT > 12 ton/ha.

Walaupun demikian, tentunya pencapaian produktivitas kayu yang dihasilkan dari clonal forestry tersebut tidak begitu saja diperoleh. Sangat banyak usaha yang dilakukan, dan tentunya membutuhkan modal yang besar dan waktu yang tidak singkat. Selain itu tentunya konsistensi melakukan pemuliaan pohon (Tree improvement)  tetap menjadi modal utama penemuan klon-klon unggulan yang memiliki sifat-sifat genetik yang diharapkan.

Berbagai tantangan dalam pengembangan clonal forestry akan coba dijelaskan dalam beberapa seri tulisan di bawah ini.

TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK

Tidak ada clone unggulan tanpa tersedianya material genetik yang cukup untuk diseleksi . Material genetik yang dimaksud adalah beragamnya material genetik yang diuji dalam uji keturunan (Progeny Test) sebagai lokasi pemilihan plus tree (Pohon plus) yang menjadi bakal clone.  Tersedianya genetic base yang luas akan memberikan kesempatan kepada pemulia pohon (tree breeder) untuk mendapatkan material-material yang lebih atau plus.

Brazil mengembangkan clonal Eucalyptus-nya dengan mendatangkan material genetik E. urophylla (yang tumbuh alami di Indonesia) dan E. grandis yang tumbuh alami di Australia. Program pemuliaan yang dimulai sejak tahun 1960-an terhadap kedua jenis Eucalyptus itu telah memberikan hasil yang fantastis sampai sekarang dengan kegiatan hybridisasi (perkawinan silang) antara E.urophylla x E.grandis dan menghasilkan E.urograndis yang menjadi andalan Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Mexico, Uruguay, Colombia, Venezuela, Argentina, Chile, dsb. Ratusan benih individu pohon E.urophylla dan E.grandis dikembangkan untuk mendapatkan family-family (seedlot) yang tumbuh cepat dan memiliki sifat kayu yang sesuai dengan industri yang dikembangkan.  Dalam beberapa literatur disebutkan untuk melaksanakan breeding suatu species, paling tidak dibutuhkan 300 individu pohon dari hutan alam (berupa benih) dan tentunya dari berbagai provenance. Benih dari 300 pohon (individu) tersebut dapat ditanam dalam berbagai lokasi atau multisite dan dapat dijalankan dalam beberapa tahun sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Program pembangunan Genetic base (populasi dasar) sebanyak 300 individu dari hutan alam tersebut dapat disusun dalam strategy sebagai berikut : 

Skema singkat pembangunan Base Population Eucalyptus untuk mengembangkan Clonal forestry
 Dari skema di atas dapat diketahui bahwa pembangunan Genetic Base (Populasi Dasar) untuk kegiatan pemuliaan membutuhkan sumber daya yang terus menerus sejak tahun pertama sampai tahun ke 6 dan tahun-tahun selanjutnya. 

Perkiraan sumber daya untuk mengerjakan pekerjaan di dalam skema di atas untuk 1 set penelitian Progeny Test (50 family) dapat digambarkan dalam Tabel di bawah ini :

Tabel Perkiraan Biaya Pembangunan Base Population 50 family

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun genetic base (populasi dasar) sebanyak 50 family dibutuhkan dana sekitar Rp.630 .500.000,- atau jika di kurskan dengan 1 USD = Rp. 9500, maka akan dibutuhkan dana kurang lebih USD 66.000 .  Atau jika akan membangun genetic base sebanyak 300 family akan dibutuhkan sekitar Rp. 3.7 milyar atau sekitar USD 379.000,- . Tentunya ini dana yang cukup besar bagi lembaga yang akan melakukan clonal forestry Eucalyptus.

Hal di atas merupakan tantangan dalam membangun genetic base jika kita akan melaksanakan Clonal forestry. Ketersediaan genetic base tidak dapat diabaikan, karena dari genetic base inilah peluang – peluang untuk mendapatkan clone unggulan dapat diperoleh.  Masalah lainnya adalah walaupun dana dan sumber daya manusia tersedia , belum tentu plus tree yang dihasilkan sesuai dengan keinginan lembaga yang menjalankannya.  Plus tree bisa saja tidak diperoleh dalam satu rangkaian progeny test yang dijalankan karena plus tree sangat dipengaruhi oleh interaksi Genetik benih yang ditanam dengan lingkungan dimana benih itu di tanam dan hal ini sangat bersifat alami dan sulit dikendalikan manusia .
. 
Tantangan lainnya adalah belum tentu kita mendapatkan material genetik di hutan alam yang direncanakan sebelumnya karena keberadaan material genetik di hutan alam sangat tergantung kepada tingkat konservasi populasi pohon yang kita rencanakan untuk diclonalkan.  Populasi pohon E. urophylla, E.pellita dan E.deglupta di berbagai provenance sudah dinyatakan dalam kondisi sangat berbahaya karena berbagai tekanan yang terjadi seperti penebangan liar (illegal loging), perubahan fungsi hutan menjadi berbagai keperluan seperti perladangan, perumahan, perkebunan, infrastruktur, dsb. Selain itu kondisi tekanan alam seperti letusan gunung berapi juga menjadi salah satu resiko yang dapat menghilangkan genetik material di hutan alam seperti halnya di Gunung Egon dan  Gunung Lewotobi di Pulau Flores yang sering sekali meletus , padahal kedua gunung itu merupakan tempat tumbuh alami E.urophylla .  Tentunya letusan gunung ini akan mempengaruhi keberadaan populasi E.urophylla di wilayah tersebut.

Bagaimanapun tantangan untuk mendapatkan material genetik untuk pembangunan Genetic base sebagai langkah awal mengembangkan clonal forestry semakin kompleks misalnya dengan kompetensi sumberdaya manusia pelaksana kegiatan Breeding. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan program breeding yang baik, hasrat/keinginan meneliti dalam jangka lama , keterampilan membangun plot-plot genetik test (seperti Progeny Test) serta analisa datanya  dan tentunya  keterampilan silviculture teknis. Sekarang ini semakin sulit untuk mendapatkan sarjana kehutanan atau pertanian yang menyukai pekerjaan – pekerjaan lapangan dan siap bekerja lama meneliti tanaman kehutanan yang berumur panjang, selain itu walaupun siap bekerja dibidang pemuliaan maka diperlukan semangat dan kerja keras untuk belajar tentang berbagai ilmu secara terus menerus karena bidang pemuliaan pohon terus berkembang.  

Selain tantangan yang sudah disebutkan di atas tantangan lain adalah komitmen lembaga/perusahaan untuk menjalankan clonal forestry dengan sebaik-baiknya. Banyak pemilik modal yang kurang memahami bahwa menjalankan clonal forestry itu dibutuhkan keterampilan – keterampilan khusus, bukan sekedar memilih pohon , mengembangkan secara vegetatif dan panen clonal . Pemahaman tentang flow proses pemilihan clonal , pembangunan clonal forestry serta  konsekuensi-konsekuensinya harus dipelajari dan dipahami pemilik modal dan tenaga administratif yang terkait agar diperoleh dukungan yang cukup , karena dengan dukungan yang tidak maksimal program clonal forestry bisa saja sekedar wacana atau menemukan kegagalan ketika dijalankan.

Tidak ada komentar: