Minggu, 14 November 2010

MENGAPA POHON MUDA MATI ?..... Bagian #2

Setelah tulisan yang menjadi penyebab kematian pohon muda pada masa periode kritis pertama ( sebelum berumur 2 bulan), maka tulisan ini akan membahas masa periode kritis kedua pada tanaman pohon jenis  fast growing species di daerah tropis , yaitu pasca umur 2 bulan sampai 12 bulan.

Periode kritis tanaman pasca berumur 2 bulan umumnya disebabkan oleh faktor sebagai berikut ( hal ini hanya berlaku pada penanaman tanaman pokok yang telah sesuai matching site to species, artinya jenis yang dipilih sudah memenuhi kriteria kesesuaian lahan) :

1. Kalah Bersaing dengan Gulma

Tanaman yang baru ditanam belum memiliki perakaran yang luas karena masa adaptasi bibit terhadap kondisi lingkungan masih kecil. Kondisi perakaran yang belum menyebar dan belum dalam mencekram tanah menyebabkan tanaman muda sangat beresiko dalam persaingan air dan unsur hara. Persaingan tanaman dengan gulma merupakan titik kritis pada tanaman HTI jenis fast growing, dimana gulma yang umumnya lebih cepat tumbuh akan menjadi pemenangnya. Gulma-gulma yang sangat invasif seperti alang-alang, rumput gajah, teki-tekian, pakis-pakisan , gulma melilit seperti Mikania sp., serta gulma-gulma berdaun lebar seperti Macaranga sp, Kerinyu (Eupatorium), Anggrung (Trema sp) , sirih-sirihan (Pipper sp.), terong-terongan (Solanum sp) , dan gulma berkayu lainnya, akan menjadi musuh tanaman muda di areal pertanaman.  Sampai tanaman berumur 6 bulan harusnya tanaman dibebaskan dari gulma agar perkembangan tanaman dapat maksimal. Apabila tidak maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan kematian pohon menjadi akibat selanjutnya.
 
Persaingan cahaya , air, unsur hara akan menjadi inti terjadinya kekalahan tanaman pokok (pohon yang ditanam). Tidak ada cara untuk membantu tanaman pokok memenangkan persaingan selain melakukan pengendalian gulma dengan cepat dan tepat.

  1. Paparan Bahan Kimia (Herbisida)
Adalah hal yang aneh yang sering tidak disadari, untuk mengurangi persaingan gulma dengan tanaman pokok, pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia (herbisida) memang telah menjadi pilihan yang paling banyak dilaksanakan. Penggunaan herbisida (Chemical weeding) memang mudah dilaksanakan, kebutuhan tenaga kerja lebih sedikit, dan daya bunuh terhadap gulma juga tinggi. Di lain sisi, penggunaan herbisida pada di areal pertanaman muda mempunyai resiko terpaparnya bahan kimia tersebut kepada jaringan tanaman. Tidak ada ampun, tanaman pokok (pohon) pun berubah menjadi “gulma” yang ikut disemprot yang berarti kematian tanaman dapat dipastikan akan terjadi. Adalah hal yang aneh apabila itu terjadi di areal HTI dimana  tujuan yang sebenarnya adalah mengendalikan gulma justru berbalik menjadi pembunuh semua jenis tumbuhan termasuk tanaman pokok. 
 
Ada yang mengatakan, kalau begitu lebih baik menggunakan tenaga manual untuk mengendalikan gulma misalnya dengan cara menebas gulma (Slashing atau cutting) menggunakan parang/arit/sabit sampai ketinggian tertentu. Jawabannya , ya, apabila memang dirasakan tanaman pokok akan beresiko terkena paparan semprotan herbisida dan pengawasan terhadap kualitas tebasan gulma dapat dijaga terus menerus.
 
Kalau tebasan gulma tidak maksimal mendekati permukaan tanah maka percuma saja, justru gulma malah dirangsang untuk menumbuhkan tunas-tunas baru yang lebih invasif, terutama pada jenis gulma rumput-rumputan seperti alang-alang, Paspalum, Cynodon sp., dan rumput gajah. Ada juga yang menyarankan agar digunakan metode cycle weeding, atau buka piringan, dimana gulma di sekitar batang tanaman pokok dibersihkan menggunakan cangkul. Pertanyaannya, sampai radius berapa gulma akan dibebaskan? Kalau hanya seukuran radius < 50 cm saja, itu kurang mengurangi persaingan tanaman pokok dengan gulma dan metode cycle weeding ini akan efektif hanya pada tanaman di bawah umur 2 bulan.  Hal yang perlu disadari juga, cyrcle weeding tidak akan membebaskan tanaman dari persaingan gulma yang berada di luar piringan tersebut, sementara gulma tumbuh di antara tanaman (atau di dalam barisan) tanaman akan berpotensi besar menjadi pesaing.
 
Ada hal lain yang menjadi penyebab kematian pohon dalam,  adalah jika dalam proses penebasan (slashing) , banyak tanaman pokok ikut ditebas atau pada saat melakukan cyrcle weeding, banyak pohon yang terpotong oleh cangkul/alat weeding….….. (percaya atau tidak, hal ini banyak terjadi). Ini sama saja dengan kasus terpaparnya herbisida pada tanaman pokok saat melakukan penyemprotan herbisida tersebut.

  1. Serangan Hama Penyakit
Serangan hama penyakit yang dapat mematikan tanaman pokok jenis fast growing species pada umur < 12 bulan biasanya adalah busuk akar (root rot) dan beberapa jenis penyakit akibat bakteri seperti Bacteril Wild Disease (BWD) atau Penyakit Layu Bakteri yang menyerang jenis Eucalyptus sp.  Penyakit Busuk akar dapat diakibatkan oleh berbagai jenis jamur patogen seperti Fusarium, Phytophthora, Rhizoctonia, Pythium, Armillaria, Ganoderma, dll dan umumnya patogen ini hanya berkembang dengan pesat pada wilayah-wilayah yang mempunyai kelembaban tanah tinggi  atau pada wilayah yang drainase tanahnya buruk. Kelembaban tanah yang tinggi biasanya timbul karena kondisi vegetasi di atas permukaan tanah cukup tinggi, tekstur tanah heavy clay (kandungan liat tinggi) ,  daerah tergenang, curah hujan yang sangat tinggi, kepadatan gulma yang tinggi atau karena kondisi tajuk tanaman yang terlalu rapat. 
 
Patogen seperti jamur yang dapat mematikan tanaman Acacia spp. dan Gmelina pada umur < 12 bulan umumya adalah karena adanya dukungan lingkungan pohon yang cukup baik bagi perkembangan patogen tersebut.  Selain itu , daya tahan pohon yang lemah misalnya karena persaingan dengan gulma, kekurangan unsur hara, kelebihan air, menjadi faktor pendukung terjadinya penyakit yang mematikan tanaman pokok. Tentunya kita ingat, bahwa terjadinya sebuah penyakit diakibatkan oleh 3 faktor yaitu Kondisi Tanaman, Adanya patogen dan Kondisi Lingkungan yang mendukung patogen. Hal ini sering digambarkan dengan segitiga penyakit. 
 
Metode yang paling praktis dalam mengendalikan penyakit atau hama tanaman pokok di HTI sudah banyak di bahas dan intinya adalah mengendalikan dengan terpadu dengan penerapan silvicultur teknis yang baik. Apa saja yang menjadi inti pengendalian penyakit terpadu ? Intinya adalah :
-          Gunakan Bibit Yang Sehat, termasuk Bibit yang Unggul
-          Lakukan Penanaman dengan Baik
-          Kendalikan Populasi Gulma dengan Tepat dan Cepat
-          Lakukan Pemupukan Dasar dan Pemupukan Lanjutan sesuai kebutuhan tanaman dengan Tepat
-          Lakukan Monitoring Tingkat Serangan Hama Penyakit dengan Konsisten
-          Jaga Ekosistem hutan alam disekitar areal HTI  dengan baik. (?)
Adanya gangguan hama seperti serangga dan pengerat (tikus, bajing, tupai, dll) juga menjadi faktor penting yang menjadi penyebab kematian tanaman pokok di HTI pada umur > 2 bulan dan  < 12 bulan, misalnya pada Acacia spp.  Tetapi semua ini sering tidak menjadi masalah besar jika pengendalian terpadu seperti di atas dilaksanakan dengan baik atau paling tidak tingkat kerusakan tegakan HTI masih berada di bawah ambang yang dapat ditolerir.

Beberapa tanaman pokok HTI juga dapat mati karena dirusak oleh hewan mamalia seperti Kijang, Payau, Orangutan, Babi hutan, Gajah, dll. Gangguan ini tentunya tidak dapat dikendalikan secara parsial, misalnya dengan memburu atau membunuh hewan-hewan tersebut. Diperlukan usaha terpadu dan kerjasama lintas instansi/lembaga untuk bersama-sama menangani masalah ini. Misalnya pengendalian Gajah di Sumatera dan Orangutan di Kalimantan tentunya harus melibatkan Departemen Kehutanan dan lembaga terkait lainnya.

  1. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan sangat jelas dapat menjadi penyebab kematian pohon-pohon tanaman pokok HTI. Semua jenis tanaman fast growing species berumur 12 bulan ke bawah , bahkan sudah berumur siap panen, dapat mati apabila terjadi kebakaran hutan.
 
Pengendalian kebakaran hutan sudah banyak dipelajari dan penerapannya di lapangan umumnya sudah sangat banyak diketahui dan dilaksanakan. Mengadakan patroli rutin, pengawasan kondisi cuaca dan bahan bakar penyebab kebakaran, pelatihan petugas pengendali kebakaran, dan langkah-langkah lain sudah sering kita dengar. Bahkan saat ini penggunaan satelit untuk memantau hot spot (titik api) sudah menjadi hal yang tidak asing dalam proses pengendalian kebakaran hutan, termasuk HTI.


Dari faktor-faktor di atas  tentunya kita harus mengendalikannya secara terpadu karena semua faktor terkait satu dengan yang lainnya. Adanya salah satu faktor saja sudah menjadi penyebab kematian pohon muda, apalagi ada keempat faktor secara bersamaan. Tidak mudah memberikan justifikasi penyebab kematian pohon muda di lapangan, walaupun semua faktor penyebabnya dapat dijelaskan secara ilmiah.

Akhirnya, kematian pohon muda jika terjadi di lapangan merupakan hal yang sangat disayangkan walaupun secara alami kematian pohon dapat saja terjadi dimana dan kapan saja. Menjaga kesehatan pohon sejak mulai di pembibitan, melaksanakan silvicultur teknik yang terbaik dan optimal, dan melakukan monitoring penyebab kematian tanaman adalah langkah yang harus dilaksanakan jika kita tidak mau kehilangan pohon akibat kematiannya.

Tulisan ini merupakan sharing dan siap didiskusikan untuk perbaikan.

Semoga bermanfaat............

Sabtu, 13 November 2010

MENGAPA POHON MUDA MATI ?..... Bagian #1

Sering kali , kita melihat pohon yang sudah ditanam mengalami kematian. Berbagai gejala mengawali kematian itu , misalnya daun menguning, daun layu, daun rontok atau terlihatnya gejala kerdil.

Apabila pohon sudah mati dengan gejala yang terlihat dengan keringnya pohon, batang yang menghitam atau kering, atau luruhnya seluruh daun yang menunjukkan pohon gundul,  biasanya sangat sulit menduga atau mendiagnosa penyebab kematiannya. Yang jelas, kematian pohon biasanya berlangsung bertahap, tidak dalam sehari langsung kelihatan gejala kematiannya, pasti diawali dengan gejala-gejala.

Pohon yang cepat tumbuh (Fast growing species) biasanya mengalami masa kritis pasca penanaman sampai tanaman berumur 1 tahun. Titik kritis yang paling tinggi adalah masa sebelum berumur < 6  bulan setelah tanam . Dan masa ini dapat dibagi menjadi 2 periode kritis :

1.     Periode sebelum 0-2 bulan
a.   Periode kritis ini sangat memungkinkan pohon untuk mengalami mati. Kesalahan penanaman dan kualitas bibit menjadi hal yang paling sering menjadi penyebab kematian bibit di lapangan, walaupun ada kondisi lingkungan ekstrim, misalnya kemarau panjang, serangan penyakit atau hama, dan kejadian alam lain seperti kebakaran atau kerusakan fisik lainnya (mechanical damage) seperti kerusakan karena hewan dan manusia (terinjak, tercabut, dsb).
b.   Kesalahan penanaman menjadi hal yang terbesar dalam penyebab kematian bibit, juga kualitas bibit yang tidak standar.  Kesalahan-kesalahan penanaman yang sering terjadi yang menjadi penyebab kematian bibit adalah :
                                                              i.      Lobang tanam dangkal. Menyebabkan zona perakaran tidak baik untuk pohon yang baru ditanam, dan ini dapat menyebabkan gejala kekurangan hara, kekurangan air, dsb. Lobang tanam dangkal juga membuat perakaran tidak dapat tumbuh baik karena adanya wilayah yang berat (heavy) untuk ditembus disekitar zona perakaran. Peluang terbentuknya J root akibat akar tertekuk juga sangat besar dengan lobang tanam yang dangkal tersebut.
                                                            ii.      Tanah penutup lobang tanam tidak halus. Sering sekali tanah penutup lobang tanam pada saat penanaman berbentuk gumpalan-gumpalan besar. Ini mengakibatkan adanya rongga udara (air pocket) di zona perakaran dan mengakibatkan terjadinya kekeringan akar dan atau tersimpannya air dirongga tersebut yang menyebabkan busuknya akar. Selain gumpalan-gumpalan tanah, penutup lobang tanam dengan dedaunan/ranting kering juga akan mengakibatkan hal yang sama. Adanya rongga antara akar dengan partikel tanah disekitarnya juga akan menyebabkan kekurangan air dan unsur hara pada saat perkembangan tanaman.
                                                          iii.      Lobang penutup Lobang Tanam Berbentuk Cekungan atau tanah penutup lobang tidak padat. Karena proses penutupan lobang tanam tidak sempurna, biasanya akan terbentuk cekungan disekitar bibit. Hal ini berpotensi menjadi ”penampung” air pada saat hujan, dan mengabikatkan busuknya tanaman. Penutupan lobang tanam yang tidak padat akan mengakibatkan berpotensinya perakaran bibit tidak stabil dan dapat terangkat dari dalam tanah. Ujung-ujungnya akar tanaman akan terkena udara atau suhu panas yang mengakibatkan kematian.
                                                          iv.      Perakaran bersentuhan dengan Pupuk Dasar.  Sering tidak disadari, akar adalah jaringan yang sangat lembut, terutama ujung dan tudung akar. Sel-sel di daerah tudung dan ujung akar tersebut terbentuk oleh sel-sel muda (meristem) yang sangat halus dan gangguan fisik atau kimia disekitar itu akan langsung merusak akar. Gangguan kimia seperti adanya pupuk yang bersentuhan langsung dengan ujung akar dimana terjadi proses penyerapan air dan unsur hara, akan mengakibatkan terjadinya tekanan turgor dan menyebabkan plasmolisis , dimana konsentrasi pupuk yang tinggi akan mengisap konsentrasi cairan sel-sel akar dan akar menjadi rusak.
                                                            v.      Kondisi perakaran bibit yang diperlakukan tidak sehat. Tanpa disadari sering pada proses penanaman akar bibit tidak ditangani dengan baik. Misalnya membiarkan akar bibit terkena paparan sinar matahari, atau terendam di dalam air sampai berhari-hari, yang menyebabkan jaringan akar menjadi rusak. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah proses penanaman yang salah, misalnya menanam dengan miring, menanam dengan menekuk akar yang mengakibatkan terbentuknya J root , menanam terlalu dalam, menanam terlalu dangkal, dan ini kesemuanya menyebabkan kondisi tanaman rentan akan kerusakan atau kematian.
                                                          vi.      Melakukan penanaman tanpa memperhatikan kondisi cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim yang paling besar menimbulkan kematin bibit di daerah tropis adalah kondisi kering (kemarau) atau rendahnya kandungan air tanah. Tetapi hal ini sangat jarang terjadi di wilayah yang beriklim Hujan Tropika Basah seperti Kalimantan. Justru dengan tingginya curah hujan sepanjang tahun, hal yang harus diperhatikan adalah kelebihan air di zona perakaran setelah penanaman dilaksanakan.

c.       Kualitas Bibit Tidak Standar

                                                              i.      Kualitas bibit yang tidak standar umumnya langsung terlihat dari kondisi daun dan perakarannya. Daun yang warnanya normal dan cerah menunjukkan bibit yang sehat secara visual, dan perakaran bibit yang kompak, didominasi warna putih dan atau ”cream”, menunjukkan kondisi akar yang baik. Daun yang masih melekat di batang bibit dengan sempurna dan jumlah daun sempurnanya sesuai dengan standar adalah ciri-ciri bibit yang sehat. Jumlah daun sempurna Gmelina, Akasia, Eucalyptus, Sengon, Trembesi, Jabon, dan bibit fast growing lainnya dipersyaratkan biasanya harus ≥ 6 helai. Sebenarnya dengan melihat diameter pangkal batang (root collar diameter) yang ≥ 4 mm kita akan melihat secara visual kesehatan bibit yang sangat mewakili kondisi perakaran bibit. Diameter pangkal batang akan berkorelasi positif dengan kondisi perakaran dan kandungan batang berkayu bibit (lignifikasi) .
                                                            ii.      Umur bibit yang tidak standar juga sering menjadi penyebab lemahnya adaptasi bibit terhadap lingkungan di lapangan setelah proses penanaman dilaksanakan. Masa penyiapan bibit yang seharusnya maksimal 90 hari di pembibitan dengan menggunakan kontainer polytube 70-80 ml  seharusnya menjadi dasar dalam manajemen produksi tanaman di Hutan Tanaman Industri.
                                                          iii.      Kesehatan Bibit menjadi hal yang sangat krusial. Seharusnya tidak ada toleransi terhadap adanya serangan penyakit pada bibit yang akan ditanam ke lapangan. Sangat banyak bukti, bahwa adanya gejala serangan penyakit di Nursery akan menjadi penyebab meledaknya (outbreak)  intensitas serangan patogen di lapangan  yang menjadi salah satu penyebab kegagalan pembangunan HTI. Sangat ingat motto sebuah perusahaan HTI dimasa lalu akan pentingnya bibit sehat yaitu BIBIT SEHAT, HUTAN SEHAT, PERUSAHAAN SEHAT.

d.      Penanganan Bibit Pasca Mutasi dari Nursery

                                                              i.      Penanganan bibit pasca mutasi dari pembibitan (nursery) menjadi titik kritis yang harus di tangani dengan baik untuk menghindari penurunan kualitas Bibit yang akan ditanam. Sangat diharuskan menanam bibit sesegera mungkin setelah terangkut dari pembibitan. Semakin lama bibit ditanam setelah keluar dari pembibitan, maka semakin tinggi kematian bibit pasca penanaman. Sebelum ditanam, bibit harus disiram dan perakarannya harus benar-benar lembab/basah oleh air .

e.       Penanganan Bibit Pasca Penanaman
                                                              i.      Setelah penanaman dilaksanakan biasanya bibit akan tumbuh sehat apabila seluruh kondisi titik kritis di atas dapat dikendalikan dengan baik. Hal yang paling mungkin menyebabkan kematian pasca penanaman yang baik adalah kondisi cuaca yang ekstrim (misalnya kemarau yang langsung drastis—walaupun jarang terjadi), adanya kejadian-kejadian yang ekstrim, misalnya kebakaran, gangguan hewan, dan atau gangguan manusia (mechanical damage) yang umumnya jarang terjadi.

Dari penjelasan di atas, jika digambarkan dengan grafik maka akan ada 4 faktor yang menjadi penyebab kematian bibit pada masa kritis sebelum tanaman berumur 2 bulan (khusus fast growing species)  seperti terlihat di bawah ini :



Dari grafik di atas terlihat dengan jelas, bahwa keempat  faktor itu (Kualitas bibit, Penanganan Bibit Pasca Mutasi dari Nursery, Proses Penanaman dan Penanganan Bibit Sebelum umur 2 bulan di lapangan) menyumbangkan persentase yang sama menjadi penyebab kematian tanaman pada periode kritis sebelum tanaman berumur 2 bulan. Tidak dapat ditentukan faktor mana yang paling dominan, karena satu faktor terabaikan, maka kematian bibit fast growing species sudah langsung di depan mata.

Semoga bermanfaat..................!!!

Minggu, 31 Oktober 2010

Sekilas Tentang Clone di Hutan Tanaman Industri (HTI)

Gambar : Tegakan Clonal Eucalyptus hybrid di Colombia umur 5 tahun
Clone atau Klon sudah banyak yang mengetahui makna dan artinya. Dalam bidang ilmu peternakan, beberapa tahun lalu, dunia dihebohkan dengan keberhasilan  cloning domba (Dolly)  yang berhasil dikembangkan tanpa perkawinan dan domba itu  hidup dengan karakter, sifat, fisik dan gen yang persis sama dengan saudara “kembar-clonenya” .  Banyak pihak yang mendukung hasil penelitian ini, tetapi banyak juga yang menentang dengan berbagai alasan, misalnya aspek moral, etika dan nilai-nilai manusiawi. Yang menentang hasil penemuan ini kuatir bahwa sistem cloning bisa-bisa pada akhirnya akan dikembangkan untuk manusia. Dan akibatnya kita semua tau, kita akan menemukan dua atau lebih individu manusia yang mempunyai karakter, fisik, dan gen yang sama. Sungguh sesuatu yang aneh, mereka bukan saja mirip seperti manusia kembar, tetapi juga persis sama sifat-sifat, karakter, keinginan,  dan gennya. Bisa kita bayangkan, bagaimana kita membedakan mereka itu? Bagaimana kita menamai dan banyak hal yang belum terbayangkan dengan kehadiran mereka.

Clone, adalah hasil perkembangbiakan secara a-sexual (tanpa sexual) , atau tanpa adanya pertemuan sel kelamin jantan dan betina. Dalam ilmu tumbuhan disebutkan hasil perkembangbiakan secara vegetatif, sedangkan hasil perkembangbiakan secara sexual (perkawinan sel kelamin jantan dan betina) disebut dengan generatif.  Hasil perkembangbiakan tumbuhan secara generatif pasti sudah familiar dengan kehidupan sehari-hari yaitu biji. Apabila kita memakan kacang goreng, tidak lain, biji kacang itu adalah hasil perkembangbiakan generatif, dan tentunya yang paling sering kita makan adalah nasi yang berasal bari biji padi, kecambah (Touge) yang dihasilkan dari kacang hijau , dan biji wijen sebagai penikmat roti yang sering kita konsumsi. Biji biasanya dihasilkan dengan adanya perkawinan sel kelamin jantan yang berada di benang sari  (serbuk sari) dan sel kelamin betina (berada di putik) . Tentunya dengan adanya perkawinan itu maka jadilah biji yang dapat tumbuh menjadi individu baru, dan karena itu disebut berkembang biak.

Bagaimana dengan perkembangbiakan tanpa perkawinan (aseksual ) ? Perkembangbiakan tanpa perkawinan atau tanpa pertemuan sel kelamin jantan dan betina  seperti sudah disebutkan di atas disebut secara vegetatif. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk kegiatan vegetatif ini, misalnya dengan cara membuat stek atau cutting ( ini sudah sangat umum, misalnya penanaman ubi kayu dengan batangnya,  penanaman tanaman hias  seperti - asoka, anggrek, melati, kacapiring, dsb -  dengan pucuknya atau cabangnya). Teknik lain yang umum dilakukan adalah dengan okulasi (budding), yaitu menempelkan mata tunas satu pohon yang dikehendaki ke batang yang akan digunakan menjadi batang bawah (understump). Ini sudah banyak dilakukan pada tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, jambu , rambutan , dll. Hasil okulasi ini akan cepat berbuah karena mata tunasnya diambil dari pohon tua yang sudah berbuah dan sudah diketahui kualitasnya. Kita tidak perlu heran melihat mangga yang dihasilkan dari okulasi akan  berbuah cepat dan tinggi pohonnya hanya beberapa meter saja bahkan ada yang ditanam di dalam pot.  Teknik vegetetaive lainnya sudah banyak dikerjakan seperti menyambung (grafting), menyusui, cangkok (air layering atau marcoting) atau dengan menyusui dan  merunduk.  Semua perkembangbiakan dengan menggunakan organ tumbuhan seperti daun, batang, cabang, akar, anakan, pucuk , dll, dikelompokkan menjadi perkembangbiakan vegetative secara makro ( dalam bahasa Inggris disebut macro-propagation) .

Teknik perkembangan vegetative propagation juga sudah dilaksanakan bukan dengan cara mengembangbiakan organ tumbuhan seperti daun, batang, pucuk atau akar, tetapi dengan mengembangkan jaringan (tissue) seperti potongan daun atau potongan pucuk dan dikembangkan di laboratorium yang disebut dengan  dengan kultur jaringan (tissue culture). Teknik organogenesis yang mengembangkan sel-sel menjadi individu tanaman baru juga sudah diterapkan di laboratorium. Di laboratorium Tissue culture ini akan digunakan berbagai jenis hormon, vitamin, dan zat-zat kimia lainnya sehingga potongan kecil dari suatu tumbuhan dapat menghasilkan ribuan bahkan jutaan individu baru yang sama dengan induknya. Teknik tissue culture (kultur jaringan) sering juga disebut dengan perkembangbiakan vegetative secara mikro (micro-propagation) atau in-vitro.

Semua individu baru yang dikembangakan secara vegetative maka sifat-sifatnya akan sama persis dengan induknya dimana yang menjadi induknya adalah tumbuhan yang menjadi sumber organ atau jaringan itu diambil. Berbeda dengan perkembangbiakan secara generatif, maka sifat keturunan yang dihasilkan akan merupakan penggabungan sifat jantan dan betina.

Kita kembali ke permasalahan awal yaitu mengenai Clone.

Setelah penjabaran di atas, kita ketahui bahwa semua keturunan hasil vegetatif akan menyerupai induknya. Contoh, apabila kita mengokulasi pohon mangga yang berbuah sangat lebat, buahnya besar, daging buah berwarna  kuning keemasan, rasanya buah sangat manis, maka hasil okulasinya juga akan sama persis dengan sifat-sifat di atas dan sebaliknya apabila kita mengokulasi mangga yang berbuah kecil, daging buah berwarna pucat, rasanya sangat asam, dan buahnya kurang lebat, maka hasil okulasinya akan sama juga dengan sifat-sifat di atas.  Jadi apa hubungannya dengan Clone ? Clone didefinisikan sebagai hasil perkembangbiakan vegetatif yang telah terseleksi sifat-sifatnya .  Misalnya kita memiliki sebuah pohon Eucalyptus pellita yang tumbuh sangat cepat, kayunya bagus, tahan serangan hama penyakit utama , dan mampu tumbuh diberbagai kondisi tanah. Kita ingin semua HTI kita dapat ditanami dengan pohon seperti itu. Masalahnya pohon itu hanya satu batang saja. Untuk itulah kita akan mengembangbiakkan pohon tersebut menjadi ratusan bahkan jutaan individu baru sehingga kita memiliki HTI dalam luasan ratusan ribu hektar dengan pohon E.pellita yang sudah kita seleksi tadi. Tidak ada jalan lain, untuk menghasilkan banyak individu baru dari pohon tersebut, dan sama persis dengan pohon tersebut, kita harus mengembangbiakkannya secara vegetatif , misalnya dengan cara stek, tissue culture, atau metode yang lain. Tetapi karena kita akan mengembangkan individu dalam jumlah banyak, pilihan yang paling tepat adalah dengan teknik tissue culture dan stek (cutting).  Hasil perkembangbiakan (individu-individu baru )  dengan teknik perkembangbiakan vegetatif  (misalnya tissue culture atau cutting ) dari pohon tadi kita namai CLONE.

Identifikasi  Clone

Bagaimana caranya kita memberi identifikasi terhadap clone, contohnya pohon E.pellita yang sudah disebutkan di atas? Identifikasi clone biasanya dilakukan oleh pemilih  dan pengembang clone tersebut. Ada banyak teknik identifikasi clone, misalnya dengan pemberian nomor, contohnya EP101, atau CL001, atau teknik lain. Penamaan ini tidak ada panduan bakunya, sangat tergantung kepada organisasi atau lembaga yang menghasilkan klon. Di tanaman E.pellita  tadi misalnya bisa saja kita sebutkan dengan Euc01, Epc01, Klo01,  CE-001, dsb. Tetapi umumnya lembaga atau instansi yang menemukan klon akan membuat penomoran indetifikasi yang singkat, mudah diingat dan bermakna bagi organisasi tersebut.

Keuntungan  dan Kelemahan Sistem Clone

Keuntungan sistem clone dapat disebutkan sebagai berikut :
  1.          Menghasilkan tanaman yang seragam (homogen)
  2.          Dengan kondisi tanaman seragam (homogen)  maka produktivitas biasanya optimal
  3.            Dengan sifat genetik yang seragam mempermudah perlakuan budidaya lain, misalnya kebutuhan pupuk dan air yang seragam
  4.          Dengan pohon induk (pohon asal) yang diketahui sifat unggulnya, kita dapat merencanakan kualitas tanaman yang akan dibuat, misalnya cepat tumbuh, kayunya mengandung cellulosa tinggi, cabangnya sedikit, dsb

Sedangkan kelemahan dengan sistem clone adalah :
  1. Keragaman genetik sama sehingga apabila ada problem (misalnya serangan penyakit) maka sangat mudah menular ke individu lainnya
  2. Karena dikembangkan secara vegetative (misalnya) stek, maka struktur perakaran biasanya berbeda dengan sistem generatif (biji), dan beresiko dikembangkan pada daerah-daerah yang banyak angin kencang (biasanya lebih mudah roboh)
  3. Clone sangat berinteraksi kuat dengan kondisi lingkungannya, sehingga apabila kita tidak dapat memilih lokasi yang sesuai dengan kebutuhannya maka hasil pertumbuhan clone sangat mengecewakan
  4. Untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal dibutuhkan penanganan budidaya yang lebih intensif misalnya sarana pembibitan vegetative, pemupukan yang lebih intensif, dan pengendalian gulma serta hama penyakit yang intensif. 

Bagaimana mendapatkan Clone Unggulan di HTI?

Tentunya semua pihak yang bekerja di perusahaan HTI mengharapkan tanamannya tumbuh dengan cepat, produksi tinggi, seragam, kayunya sangat cocok dengan industri yang membutuhkan dan tahan terhadap gangguan hama penyakit.  Di perusahaan yang menaman HTI untuk memenuhi kebutuhan industri  pulp and paper umumnya syarat-syarat clone yang dibutuhkan adalah :
  •      Mudah dikembangbiakan pada skala operasional dengan teknik vegetatif (perakaran bagus, tunas bagus)
  •      Pertumbuhan sangat cepat dan tinggi (misalnya dapat dipanen umur 5 tahun dengan MAI > 50            m3/ha/thn)
  •        Berbatang lurus ( ini sangat mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Bercabang sedikit dan berukuran kecil ( juga mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Berkulit tipis ( berhubungan dengan tonase kayu berbanding volume)
  •        Batangnya sangat cilindris ( berhubungan dengan aspek pemanenan dan volume kayu)
  •       Memiliki kayu dengan kadar cellulosa yang tinggi (ini hubungannya dengan produksi serat atau fiber untuk pulp and paper) atau tingkat pulp yieldnya tinggi.
  •       Memiliki kadar lignin dan zat ekstraktif kayu yang rendah (ini hubungannya dengan rendemen kayu dan jumlah bahan kimia yang digunakan di pabrik)
  •       Tahan terhadap hama penyakit utama ( tentunya berhubungan dengan MAI)
  •       Dapat tumbuh baik diberbagai kondisi lahan/tapak ( berhubungan dengan keragamanan tapak/tanah yang dimiliki)
  •       Dapat tumbuh baik dalam kondisi iklim yang ekstrim ( berhubungan dengan kondisi iklim misalnya curah hujan, temperatur, ketinggian tempat dari permukaan laut, kelembaban, dsb)
  •        Respon terhadap berbagai  tindakan silvikulture (ini sangat berhubungan dengan MAI)

Tetapi apakah kita dapat menemukan clone yang memenuhi seluruh sifat-sifat di atas?
Jawabannya adalah memungkinkan , apabila kita menjalankan program PEMULIAAN POHON (TREE IMPROVEMENT) dengan baik dan berkesinambungan.

Menemukan clone dengan segudang sifat-sifat unggul bukanlah pekerjaan sederhana. Sangat jarang ditemukan clone  yang memiliki sifat-sifat sempurna seperti yang disebutkan di atas. Untuk memenuhi seluruh sifat tersebut kita harus melakukan pekerjaan breeding berulang-ulang dan membutuhkan waktu lama , sumber daya manusia yang handal, dan biaya yang sangat besar. Breeding adalah bidang tree improvement yang berhubungan dengan ilmu genetik dan teknik perkawinan tumbuhan untuk menghasilkan individu-individu  baru yang lebih unggul sesuai kehendak breeder (pelaksana breeding). Sungguh suatu karunia yang sangat besar (best lucky) apabila dalam satu putaran seleksi pohon kita langsung menemukan seluruh sifat-sifat tadi.

Siklus Breeding  untuk mendapatkan Clone di HTI

Untuk mendapatkan clone unggulan di HTI paling tidak dibutuhkan waktu untuk melakukan penelitian /kegiatan sebagai berikut :
  • Pengujian genetik induk pohon (disebut dengan Progeny Test)
  • Pemilihan pohon yang bergenetik unggul dari Progeny test (pohon plus)
  • Pengembangan pohon plus menjadi material clone dengan vegetatif
  • Pengujian clone diberbagai kondisi tapak (disebut dengan Clonal x site interaction test)
  • Pemilihan clone terbaik berdasarkan clonal test
  • Perbanyakan clone terbaik dengan vegetative
  • Penanaman clone terbaik di lapangan (skala semi komersial dan atau komersial)

Seluruh kegiatan itu bagaikan siklus yang berputar, karena salah satu saja tidak dapat dijalankan dengan baik, maka proses selanjutnya tidak dapat dilaksanakan.  Proses di atas sering digambarkan dengan lingkaran seperti di bawah ini :




Dari gambar di atas dapat kita lihat, bahwa untuk mendapatkan clone unggulan sampai ke tahap dibangunnya tanaman HTI dengan sistem clonal membutuhkan waktu paling tidak 10 tahun dari mulai dibangunnya sebuah plot uji genetik (progeny test ).  Progeny test adalah suatu test untuk menguji berbagai hasil perkembangbiakan generatif (biji) dari berbagai induk . Sekumpulan biji yang dihasilkan oleh suatu induk tumbuhan disebut dengan famili atau seedlot.  Banyak famili akan diuji dalam progeny test untuk menentukan nilai genetik dan pertumbuhannya (performance-nya ) atau menetukan nilai genetik dengan menggunakan phenotype sebagai parameternya. Dari uji inilah kita akan temukan plus tree -plus tree unggulan yang menjadi calon Clone.

Sangat banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan siklus clone tersebut seperti : Ilmu genetik, Ilmu statistik dan Desain Penelitian (termasuk genetic quantitative) , Ilmu Tanah dan Nutrisi, Ilmu Silviculture , Tanaman dan  Perbanyakan Tanaman (termasuk Bioteknologi , Tissue Culture dan Nursery/Pembibitan ), Ilmu kayu termasuk ilmu tentang Pulp and Paper, Biometrika, Ilmu Ekonomi dan Analisa Ekonomi, Ilmu Lingkungan (ekologi), Ilmu Gulma,  Hama dan Penyakit dan ilmu– ilmu lain yang berkaitan dalam pembangunan HTI misalnya ilmu tentang perpetaan (GIS), Administrasi, Data Management, Human Resources, Hukum/Legal, Logistik/Purchasing, dan sebagainya.

Bagaimanapun, Breeder yang bekerja untuk mendapatkan clone unggulan tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari seluruh pihak terkait agar siklus itu dapat berjalan dengan normal, terutama agar breeder dapat memenuhi target waktu yang ditentukan, karena gain (peningkatan) produktivitas yang dihasilkan clone merupakan fungsi dari Waktu (Time).


Konsekuensi Pertanaman HTI dengan sistem Clonal Forestry vs Benih

Telah dijelaskan di atas, bahwa keuntungan clonal dapat meningkatkan produktivitas tanaman HTI sehingga secara ekonomis akan lebih menguntungkan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kalau kita membangun HTI bukan dengan clone tetapi dengan menggunakan biji (benih) hasil perkembangbiakan generatif?

Tidak ada yang salah dengan benih, apabila benih yang kita gunakan juga telah masuk kriteria benih unggul. Masih sangat banyak perusahaan HTI di dunia yang menggunakan benih sebagai bahan pertanamannya dengan dengan berbagai pertimbangan seperti :
  • Pembuatan bibit dari benih relatif lebih murah daripada vegetative (cutting)/klon
  • Telah tersedia benih unggul dari Kebun Benih sendiri
  • Jenis tanaman yang dikembangkan sangat sulit untuk dikembangkan secara vegetatif
  • Belum ditemukan clone yang unggul atau clone masih dalam tahap pengujian
  • Terbatasnya skill dan knowledge staff  dalam mengembangkan clone
  • Terbatasnya dana untuk pengembangan clone
  • Menjaga keragaman genetik, karena keragaman genetik clone sangat sempit.
  • Dan lain-lain

Pertanaman dengan benih tentunya mempunyai konsekuensi bahwa keseragaman tanaman tidak akan sehomogen clone. Tanaman HTI yang dikembangbiakan dengan benih umumnya akan memiliki keragaman yang lebih besar dibanding HTI yang dikembangkan dengan sistem clone. Hal ini wajar dan jelas karena benih merupakan hasil perkawinan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina, sehingga sifat-sifatnya merupakan gabungan dari 2 induknya ( ½ bagian jantan dan ½ bagian betina), sedangkan clone 100% genetiknya adalah sama dengan sumbernya (Ortet).

Pertanaman HTI dengan clone memang memiliki konsekuensi sebagai berikut :
  1. Membutuhkan infrastruktur Nursery yang lebih lengkap dan lebih mahal dibanding dengan Nursery generatif/benih (misalnya harus ada Green house untuk  pohon pangkas -stool plants, harus ada rooting house yang dilengkapi sprinkler yang mengendalikan kelembaban, membutuhkan instalasi irigasi yang lebih kompleks )
  2. Membutuhkan penanganan intensif di Nursery misalnya sterilisasi single tube (container), sterilisasi media , sterilisasi pekerja, dan sterilisasi lokasi Nursery.
  3. Pertanaman dengan clone membutuhkan perencanaan yang lebih matang terutama untuk memadukan clone dengan lahan yang ada ( Site x Clone Interaction) . Clone sangat berinteraksi dengan kondisi lahan, sehingga salah penemapatan clone akan membuat hasil yang tidak sesuai dengan rencana. Hasil penelitian menunjukkan dengan jenis tanah yang berbeda maka clone   juga menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. 
  4. Clone membutuhkan tindakan silviculture yang lebih intensif, misalnya membutuhkan pemupukan yang lebih tinggi dan weeding yang lebih intensif . Kealpaan atau keterlambatan terhadap kegiatan pemiliharaan dapat berakibat sangat negatif terhadap pertumbuhan clone. 
  5. Clone membutuhkan monitoring serangan hama dan penyakit yang lebih intensif karena penularan suatu penyakit akan sangat cepat karena genetik clone seragam, termasuk penanganan di Nursery. 
  6. Membutuhkan tingkat pemahaman tentang clone  dan disiplin staff/ pekerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman dengan benih.  Disiplin maksudnya adalah ketaatan dalam mengikuti Standar Operating Procedure (SOP). 
  7. Membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar bagian yang lebih baik karena penanaman clone membutuhkan ketepatan dalam berbagai hal misalnya ketepatan lokasi, ketepatan waktu, ketepatan ukuran dan standar bahan seperti pupuk, herbisida, dsb

Bagaimanapun konsekuensi itu, apabila kita mau bekerja keras melaksanakan,  rasanya tidak akan menemukan kesulitan yang berarti dan hasil yang diperoleh dengan clonal forestry juga akan seimbang. Perusahaan-perusahaan HTI yang besar di dunia yang  mengembangkan clone Eucalyptus juga menghadapi konsenkuensi yang sama, dan mereka bisa berhasil. Perusahaan-perusahaan di Amerika Latin (seperti di Brazil, Argentina, Venezuela, Colombia, Chile, Uruguay, dsb) , Afrika Selatan , Austalia, Portugal, New Zealand , India, dan China sudah lama mengembangkan clonal forestry Eucalyptus dan Pinus menjadi andalannya.