Tampilkan postingan dengan label plus tree. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label plus tree. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #3 : SELEKSI POHON PLUS DAN PROPAGASINYA)

Tujuan pembangunan progeny test multilokasi dalam program clonal forestry adalah menemukan the best tree (Pohon plus) dari the best family (family terbaik). Pohon plus kemudian dikembangbangbiakan secara vegetative untuk membangun clonal test dan dari clonal test inilah ditemukan clone yang menjadi bahan material untuk pembangun Clonal forestry secara operasional seperti terlihat pada skema berikut ini .


Seperti dijelaskan sebelumnya untuk menentukan pohon plus dari progeny test multilokasi memerlukan keterampilan untuk analisa data yang berhubungan dengan genetik kuantitatif.  Pemahaman tentang P = G+E ( Phenotype = Genotype + Environment) dan interaksi antara G dan E (GxE) sangat perlu dalam hal ini dan ini biasanya membutuhkan pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus di bidang analisa data genetik test. Dalam analisa data akan ditentukan nilai genotype dan nilai environment yang menentukan nilai phenotype tanaman dan jika progeny test di bangun dalam beberapa lokasi maka sering sekali terjadi interaksi yang rumit. Untuk menghadapi ini seorang breeder (pemulia) akan menentukan pohon-pohon yang menunjukkan nilai P terbaik dan menentukan nilai heritabilitas individu dan family (Individual Heritability dan Family Heritability)  (nilai pewarisan sifat dari suatu induk kepada keturunannya baik secara family maupun individu) dan ini berkaitan dengan nilai variance masing-masing objek. Kemampuan Breeder untuk menghitung nilai-nilai variance component dari genotype dan environment  akan sangat terbantu dengan kemampuan untuk mengoperasikan software komputer statistika yang banyak digunakan dalam Genetic Data Analysis seperti SAS.

Tantangan breeder dalam hal ini akan semakin kompleks jika lokasi – lokasi pengujian Progeny Test menunjukkan interaksi yang tidak berpola atau ternyata berbeda nyata (significant) pada uji statistika. Bisa saja satu family bagus pertumbuhannya pada site (lokasi 1), dan tidak bagus pada lokasi lainnya, atau kondisi dimana satu family bagus pada 2 lokasi uji, sementara uji lainnya kurang baik.  Bisa juga ternyata heritabilitas family di suatu lokasi bernilai  rendah , sementara di lokasi lainnya bernilai tinggi. Diperlukan keterampilan dan pengalaman untuk menyeleksi pohon plus dari masing-masing progeny test.   Penentuan apakah pohon plus yang diseleksi adalah berlaku umum untuk semua lokasi (tapak)  atau specifik lokasinya juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang kompleks.  Nilai-nilai Genetic Gain (GG) dapat dilaksanakan dengan menggunakan rumus-rumus yang banyak disampaikan dalam beberapa literatur dan jurnal.

Parameter  pohon plus juga harus disesuaikan dengan kebutuhan breeding dan tujuan lembaga tersebut mengadakan pemuliaan pohon. Secara umum pohon plus yang dipilih untuk tujuan Industri Pulp adalah :
-          Tumbuh cepat dan tingkat pertumbuhan tinggi
-          Bercabang kecil dan sedikit
-          Berbatang lurus dan silindris
-          Kulit kayu tipis
-          Sehat
-          Memiliki Wood density yang sesuai untuk pulp (biasanya > 450 kg/m3 dan < 800 kg/m3)

Setelah diputuskan pohon-pohon plus dari masing-masing lokasi progeny test dan sudah diputuskan apakah pohon plus itu bersifat general untuk seluruh lokasi, atau hanya spesifik untuk satu lokasi (tapak), maka  langkah selanjutnya adalah memperbanyak pohon plus tersebut untuk mendapatkan material vegetative dalam rangka membangun Clonal test.

Tahapan pengembangbiakan pohon plus menjadi Clonal test  membutuhkan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang. Problem dalam tahapan ini adalah  bagaimana memperbanyak satu pohon plus berumur tua menjadi ratusan bibit vegetatif yang seumur dan seragam .

Teknik Perbanyakan Vegetatif Pohon Plus

Perbanyakan pohon plus menjadi material-material tanaman sebagai bahan pembangun Clonal test merupakan proses pemuliaan yang paling sering menjadi masalah.  Untuk membangun clonal test diperlukan material tanaman yang seragam dari semua pohon plus. Seragam artinya sama dalam ukuran, umur bibit, dan jumlah yang tersedia . Untuk membangun clonal test diperlukan jumlah bibit yang mencukupi sesuai dengan desain percobaan clonal test yang diharapkan. Umumnya desain percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD) dengan jumlah replikasi 6 ulangan dan tree plot (tanaman uji) per replikasi paling tidak 12 pohon (dalam bentuk plot persegi 3 x 4 tanaman).  Untuk itu paling tidak diperlukan 12 tanaman x 6 replikasi = 72 ramet (bibit) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal Test.  Untuk mendapatkan 72 bibit yang seragam umur dan ukurannya dari satu pohon plus adalah kegiatan yang membutuhkan teknik perkembangbiakan vegetatif yang khusus dan spesifik padahal kita akan membangun clonal test multilokasi sesuai dengan klassifikasi lahan (site) yang ada seperti halnya membangun Progeny Test Multilokasi. Metode yang paling umum dilaksanakan adalah dengan cara mengambil sprout (trubusan) dari pohon plus dan mengembangkannya dengan teknik stek (rooted cutting). Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan sprout (trubusan) dari pohon plus?  Ada 2 langkah yang ditempuh  yaitu penebangan pohon plus dengan resiko kita kehilangan pohon plus (destructive) dan teknik lain adalah dengan melukai batang pohon plus (girdling) untuk menumbuhkan sprout (turbusan) dari batang.


Foto 1 : Sprout Eucalyptus setelah penebangan pohon (sumber : http://komaza.org/blog/?p=945)

 
Foto 2: Sprout (trubusan) Eucalyptus tumbuh setelah penebangan pohon (sumber foto: http://www.millstreamgardens.co.nz/blog



Foto 3: Sprout (trubusan) Eucalyptus dapat dipanen dan dijadikan material stek (rooted cutting)  seperti di Afrika Selatan ( sumber foto : http://www.forestry.co.za)

Foto 4: Pembuatan material stek (rooted cutting) memerlukan infrastruktur seperti  green house yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (misting) , suhu dan cahaya agar stek dapat tumbuh (sumber foto: http://www.forestryimages.org)

Foto 5: Girdling pohon untuk mendapatkan trubusan biasanya dilakukan dengan mengupas kulit kayu dan menunggu trubusan muncul dari bagian bawah kupasan (Sumber foto : http://www.wikipedia.org/)

Foto 6: Harus hati-hati melakukan girdling pohon plus, karena kemungkinan jika pengupasan kulit terlalu besar dan melingkari batang maka pohon plus akan mati (sumber foto : http://www.ca.uky.edu)

Foto 7: Bagaimanapun sulitnya trubusan (sprout) harus tetap diusahakan tumbuh dari pohon plus karena tanpa trubusan ini maka program clonal forestry tidak akan berlangsung (sumber foto : www.git-forestry.com)

Pekerjaan penebangan pohon plus dan atau peng-girdling-an pohon plus untuk mendapatkan sprout (trubusan) akan memerlukan sumber daya dan dana yang besar , padahal hanya untuk mendapatkan bibit untuk pembangun Clonal test. Beberapa sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan ini adalah :

  1. Sarana Transportasi Khusus

Jika lokasi Progeny Test dimana plus tree (pohon plus) berada cukup jauh dari Nursery dan terpencar maka sarana tranportasi khusus untuk pemeliharaan pohon plus sangat penting disediakan.  Pohon plus yang sudah ditebang dan digirdling perlu diperiksa dan diamati secara rutin apakah menumbuhkan trubusan atau tidak. Perlu juga dilakukan pengendalian gulma disekitar pohon dan juga pemupukan . Pada musim kemarau, perlu dilakukan penyiraman pohon agar trubusan yang tumbuh tidak kering dan mati. Pengendalian Hama Penyakit juga perlu dilaksanakan, terutama untuk batang pohon plus yang ditebang, karena terjadi pelukaan yang cukup besar maka kemungkinan terserang patogen akan semakin berpotensi besar.  Satu per satu pohon plus yang ditebang harus diperiksa secara rutin oleh pekerja/staff yang memahami tujuan penebangan /girdling pohon plus tersebut. Kehilangan material sprout (trubusan) menjadi kehilangan potensi mendapatkan material vegetatif pohon plus yang berarti juga kehilangan kesempatan memperbanyak pohon plus menjadi clon.  Hal inilah yang sering menjadi penyebab pohon plus tidak ditebang untuk mendapatkan trubusan tetapi cukup dengan girdling.  Walaupun dengan resiko jumlah trubusan yang diperoleh dengan metode girdling  akan lebih sedikit dibanding dengan penebangan.

  1. Sumber daya manusia
Untuk mengerjakan penebangan pohon atau peng-girdling-an pohon plus yang terpencar , pemeliharaannya, pengamatannya, pemanenan sprout-nya dan pembuatan material vegetatif di Nursery memerlukan sumber daya manusia yang memadai.  Harus ada staff yang khusus memahami manfaat dan fungsi sprout (trubusan) dan bagaimana menanganinya agar mampu menjadi material vegetatif di Nursery.  Paling tidak harus ada staff khusus di lapangan yang bertugas mengelola pohon plus dan sprout-nya, serta 1 orang staff (supervisor) untuk menangani perbanyakan sprout menjadi rooted cutting di Nursery. Tentunya mereka berdua harus dibantu tenaga kerja teknis yang mencukupi.

  1. Infrastruktur Perbanyakan Vegetatif

Seperti dijelaskan di atas, trubusan pohon plus harus ditangani untuk menjadi bibit vegetatif sebagai material pembangun Clonal Test.  Untuk ini diperlukan infrastruktur green house atau rooting house  yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (sprinkler- misting) , pengatur temperatur, dan pengatur intensitas cahaya.  Tanpa infrastruktur ini maka peluang untuk membuat bibit vegetatif dari trubusan pohon plus akan sulit dilaksanakan.  Selain infrastruktur yang memadai harus juga dikuasai teknik pembuatan rooted cutting dan menajemennya di Nursery.

Pembuatan bibit vegetatif dari trubusan pohon plus kemungkinan akan dilaksanakan berulang kali dengan cara mengumpulkan sprout (trubusan) di lapangan karena untuk mendapat bibit vegetatif yang seragam dari pohon tua juga terkadang sangat sulit .  Problem yang sering muncul adalah :

  • Pohon plus yang ditebang / di girdling tidak menumbuhkan trubusan atau trubusannya sangat sedikit atau terserang hama penyakit
  • Pohon plus yang ditebang / di girdling menumbuhkan trubusan tetapi trubusan sulit untuk diakarkan di nursery
  • Pohon plus yang ditebang/ di girdling mampu menumbuhkan trubusan dan diakarkan, tetapi jaringannya tetap tua (mature) atau sering diistilahkan dengan ”aging effect”, dimana bibit yang tumbuh tampak seperti pohon tua (tidak juvenil).

Beberapa pengalaman dalam mengelola Pohon Plus E. pellita dan E. urophylla berumur 4-5 tahun agar dapat menghasilkan trubusan untuk menghasilkan bibit vegetatif pembangun clonal test dapat dijelaskan sebagai beirkut :

  1.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, diperoleh hanya 80-90% yang mampu menumbuhkan trubusan . Dari 80-90% pohon plus yang menumbuhkan trubusan itu hanya 60-70% yang mampu menumbuhkan akar. Harus banyak penelitian bagaimana menumbuhkan akar trubusan tanaman tua.
  2.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, rata-rata jumlah trubusan yang tumbuh pada bulan pertama setelah penebangan adalah 15-20 trubusan. Setelah dipanen , trubusan yang tumbuh semakin sedikit.  Apabila dilakukan pemeliharaan rutin trubusan tetap tumbuh dengan baik.
  3.         Hama penyakit yang paling sering menyerang sprout pohon plus yang ditebang dan di-girdling adalah hama ulat pemakan daun dan penggulung serta pengisap pucuk . Perlu usaha pengendalian hama ini dengan intensif agar sprout (trubusan) yang dihasilkan dapat berkualitas. Untuk menghindari serangan penyakit bercak daun, dapat dilakukan dengan memberi mulsa di permukaan tanah sehingga percikan air hujan pada tanah tidak mengenai daun-daun trubusan. 
  4.         Pemupukan N dapat meningkatkan produktivitas trubusan tetapi pemupukan N yang berlebihan membuat kualitas trubusan kurang baik .

Begitu banyaknya hal yang mempengaruhi perbanyakan vegetatif pohon plus yang sudah terpilih dalam progeny test. Sangat banyak hal yang belum diketahui dan perlu diteliti agar program clonal forestry dapat dijalankan. Berdasarkan pengalaman untuk mengembangkan bibit dari pohon plus sebanyak 100 pohon saja diperlukan sumber dana mencapai mendekati Rp. 500.000.000.000 ,- agar dapat menghasilkan bibit +/- 250 bibit per pohon plus seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.


Bagaimanapun biaya pada tabel di atas harus dikeluarkan jika program clonal forestry Eucalyptus akan dijalankan. Tanpa pengembangan vegetatif pohon plus maka Clonal test hanya sekedar harapan di atas kertas dan bayangan keuntungan produktivitas tegakan HTI dari clonal forestry tidak akan tercapai

Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #2 : PROGENY TEST MULTISITE / MULTILOKASI)

Salah satu Progeny Test E.urophylla di Smurfit Colombia
Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa tulisan, progeny test adalah serangkaian uji genetik untuk menyeleksi family dan individu terbaik berdasarkan sifat-sifat keturunan induknya dan interaksinya dengan berbagai tipe lingkungan (tapak, site, lokasi).  Penentuan family dan individu terbaik (pohon plus) dari progeny test bagaimanapun tidak mungkin mengabaikan interaksi GxE (Genotype x Environment) yang dihitung atau dikuantifikasi berdasarkan nilai-nilai genetik antar family dan individu di dalam Progeny Test.

Tipe lingkungan yang bervariasi akan memberi konsekuensi harus bertambahnya lokasi progeny test.  Variasi lingkungan dapat berupa tipe tanah, ketinggian tempat, iklim , dan tipe silviculture yang diterapkan.  Pengklassifikasian karakteristik tipe site/lokasi ini membutuhkan pengalaman dan investigasi yang berlanjut untuk mendapatkan hal-hal yang specifik mempengaruhi phenotype tanaman Eucalyptus.

Beberapa karakteristik lingkungan yang kemungkinan akan menjadi faktor penentuan lokasi uji progeny adalah sebagai berikut :

1.            Tipe Tanah

Sudah banyak literatur yang mengemukakan pengaruh tipe tanah terhadap pertumbuhan Eucalyptus. Umumnya menyimpulkan bahwa sifat fisik tanah seperti tekstur dan struktur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Tekstur liat berpasir, lempung dan lempung berpasir dengan solum yang dalam diketahui memberikan pengaruh paling positif terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus walaupun faktor lingkungan seperti iklim dan elevasi harus sesuai.

Untuk membangun progeny test  perlu dideskripsikan seluruh lokasi penanaman yang akan dijadikan menjadi penentu karaketeristik tanah yang akan menjadi pembatas suatu lokasi progeny test. Untuk itu kegiatan survey tanah perlu dilaksanakan, baik untuk mengetahui sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah.

Beberapa sifat fisik tanah yang perlu didiskripsikan adalah struktur, tekstur, drainase dan  solum.  Setelah itu perlu dikuantifikasi atau dikelompokkan lokasi-lokasi berdasarkan persentasi luasan arealnya untuk menentukan karakteristik lahan yang paling dominan dan yang paling layak ditanami Eucalyptus pada skala operasional, misalnya terlihat pada skema di bawah ini .

Contoh Skema Pengklassifikasian Lahan Untuk Progeny Test Multilokasi

Penentuan lokasi progeny test seperti pada skema di atas tentunya harus juga didasarkan kepada hipotesis-hipotesis misalnya akan ada interaksi atau tidak terhadap pertumbuhan Eucalyptus yang akan dikembangkan. Hipotesis-hipotesis ini dapat didasarkan kepada literatur-literatur yang ada dan atau dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.  Selain itu juga diusahakan membangun progeny test pada lahan yang ekstrim terutama jika cakupan presentasi luasan lahannya cukup besar untuk dikelola sebagai areal operasional penanaman Eucalyptus.

Penentuan lokasi  Progeny Test akan semakin kompleks jika memasukkan faktor-faktor lain seperti tingkat kesuburan tanah, topografi , elevasi, iklim, dsb. Untuk itu perlu dibuatkan matrik faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dan kuantifikasi persentasi masing-masing matriks untuk memilih matriks yang paling dominan.

Tentunya untuk penentuan ini diperlukan survey dan analisa tanah dari seluruh areal. Semakin lengkap analisa tanah yang dilakukan semakin baik untuk menentukan spesifik lahan dalam menentukan type tanah. Type tanah bukan menentukan jenis tanah berdasarkan taksonomi tanah saja, tetapi lebih detil kepada sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.  Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga yang akan mengembangkan clonal forestry karena survey tanah secara detil akan menggunakan biaya dan sumber daya yang besar. Untuk survey dan analisa tanah dengan detil diperkirakan akan menghabiskan sekitar Rp. 50.000-100.000 /Ha atau sekitar US $ 5.0-10.0 / Ha.

2.            Tingkat Kesuburan Tanah dan atau Kesesuaian Lahan

Tingkat kesuburan tanah juga dapat dijadikan patokan untuk menentukan spesifik lokasi untuk pembangunan progeny test. Tentunya hal ini menyangkut sifat-sifat fisik dan sifat kimia tanah secara umum misalnya kelas tekstur, kelas drainase, kelas struktur, pH, kandungan hara, kandungan bahan organik, solum, dan faktor-faktor pembatas tanah yang menjadi penting.

Dalam ilmu tanah hutan pengelompokkan tanah dapat dijadikan acuan untuk menentukan lokasi progreny test. Kesesuaian lahan adalah keadaan tingkat kecocokan dari sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu.  Kelas kesesuaian suatu bidang lahan ini dapat berbeda-beda tergantung pada tataguna lahan yang diinginkan. Metode FAO ini dapat dipakai untuk klassifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia.  Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini terdiri dari empat kategori, yaitu:
-          Order: keadaan kesesuaian secara global
-        Kelas: keadaan tingkatan kesesuaian dalam order
-        Sub-Kelas: keadaan tingkatan dalam kelas didasarkan pada   jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan.
-       Unit: keadaan tingkatan dalam sub kelas didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya.

Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari suatu order.  Simbol Kelas ini berupa nomor urut yang ditulis di belakang simbol order, dimana nomor urut ini menunjukkan tingkatan kelas yang menurun dalam satu order. Banyaknya kelas dalam setiap order sebe­narnya tidak terbatas, tetapi dianjurkan hanya memakai tiga kelas dalam order S dan dua kelas dalam order N.  Jumlah kelas tersebut harus berdasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan- tujuan penafsiran.

Jika tiga kelas yang dipakai  dalam order S dan dua kelas dalam order N, maka uraiannya adalah sbb:

(1).         Kelas S1: Sangat sesuai (Highly suitable). 
      Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti secara nyata berpengaruh  terhadap produk­sinya dan tidak akan menaikkan masukan di atas yang telah biasa diberikan.

(2).         Kelas S2.  Cukup Sesuai (Moderately suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas tersebut akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

(3).         Kelas S3  :   Hampir Sesuai (Marginally suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mem­pertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

(4).         Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (Currently not suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas yang lebih serius, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki pada tingkat pengelolaan dengan modal normal.  Keadaan pembatas sedemikian seriusnya sehingga mencegah penggunaan secara berkelangsungan dari lahan.

(5).         Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (Permanently not suitable).  Lahan mempunyai pembatas permanen untuk mence­gah segala kemungkinan penggunaan berkelangsungan pada lahan  tersebut.

Untuk lokasi progeny test dapat dipilih yang masuk ke dalam kelas S1, S2 dan S3, dengan mempertimbangkan segala faktor pembatas yang terdapat pada masing-masing kelas itu.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lainnya.

3.                  Ketinggian Tempat ( Elevasi) dan Posisi Geografis

Seperti diketahui beberapa jenis Eucalyptus tumbuh pada elevasi di atas 500 m d.p.l , tetapi banyak species yang juga tumbuh pada elevasi < 500 m d.p.l .  Bahkan E.urophylla diketahui mempunyai range pertumbuhan pada elevasi yang cukup lebar mulai dari 300 m d.p.l – 2.200 m d.p.l, sementara E.pellita tumbuh secara alami pada ketinggian 0-800 m d.p.l untuk provenance-provenance di Australia , tetapi di Papua hanya tumbuh pada range elevasi 30-90 m d.p.l.  Penyebaran E.camaldulensis secara alami adalah 20-700 m d.p.l,  sementara E.grandis menyebar dari ketinggi 50-500 m d.p.l. , sedangkan E.deglupta mampu tumbuh pada elevasi 0-1800 m d.p.l.

Dengan bervariasinya elevasi tempat tumbuh alami Eucalyptus spp itu maka perlu dideskripsikan dengan jelas elevasi lokasi penanaman yang akan dikembangkan dalam clonal forestry. Pemilihan jenis Eucalyptus juga menjadi sangat penting sebelum memulai program uji genetik (Progeny Test).

Beberapa negara seperti Colombia dan Venezuela mengelompokkan tapaknya berdasarkan elevasi ( dataran rendah dan pegunungan) , sementara Argentina dan Chile mengelompokkan tapaknya berdasarkan lintang dan ketinggian tempat karena memang wilayah konsesi kehutanan di negara itu bervariasi berdasarkan garis lintang dan elevasi.

Penentuan kelas tapak (lokasi) untuk membangun progeny Test akan sangat tergantung kepada kondisi masing-masing areal yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut. Perlu pendiskripsian lahan (tapak) dengan tegas agar rencana pembangunan Progeny test atau rangkaian Breeding Strateginya dapat direncanakan lebih baik lagi.

4.                  Kondisi Cuaca / Iklim

Kondisi cuaca pada lokasi penanaman clonal forestry juga harus dideskripsikan jika ada perbedaan cuaca atau iklim yang ekstrim. Misalnya perbedaan rata-rata  curah hujan tahunan yang melebihi 500 mm per tahun dianggap sebagai lokasi yang dapat dibedakan .  Contoh pengelompokkan misalnya Lokasi 1 dengan curah hujan < 500 mm / tahun,  lokasi 2 antara 500-1000 mm/tahun, lokasi 3 curah hujan rata-rata > 1000 mm /tahun.  Hal ini dapat dikombinasikan juga dengan tingkat kesuburan tanah, topografi, atau tipe tanah lainnya.

Jumlah bulan basah dan bulan kering yang berbeda secara ekstrim juga dapat dijadikan patokan pengelompokkan site (tapak) dengan mengombinasikannya dengan kesuburan tanah atau tipe tanah. Misalnya suatu lokasi mempunyai bulan kering ( curah hujan < 100 mm/bulan) selama 5 bulan / tahun , sedangkan lokasi lainnya mempunyai bulan kering 3 – 4 bulan saja  atau hanya 2 bulan saja.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lahan lainnya misalnya kesuburan tanah, topografi, atau tipe lahan lainnya.   

Bagaimanapun seluruh pengelompokkan karakteristik lokasi sebagai lokasi uji progeny diharapkan benar-benar spesifik dan diduga memberikan respon yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Dengan demikian maka interaksi GxE akan lebih mewakili dan menjadi dasar penentuan clone-clone untuk masing-masing karakteristik lahan.  Perancangan lokasi uji ini akan sangat berpengaruh di kemudian hari ketika program clonal forestry akan dimulai dimana penetapan clone untuk masing-masing lokasi akan menjadi awal kesuksesan program clonal forestry. Seperti diketahui, clone sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan dimana clone itu diseleksi, sangat jarang ditemukan satu clone mampu tumbuh disemua kondisi lingkungan.

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS ( TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK )


Tegakan Clonal Euclyptus hybrid di Colombia
Tak dapat dipungkiri, clonal forestry Eucalyptus spp. sudah menjadi benchmark pembangunan Hutan Tanaman di berbagai negara terutama negara-negara di Amerika Latin , Asia , Australia , Afrika bahkan beberapa negara di Eropa.  Ini karena sudah jelas, clonal forestry Eucalyptus telah menunjukkan produktivitasnya yang sangat tinggi . Di berbagai negara  bahkan clonal forestry Eucalyptus spp.  mampu mencapai MAI 50-60 m3/ha/tahun atau dapat menghasilkan MAI ADT (Air Dry Ton)  Pulp > 10 ton/ha.  Brazil sebagai negara yang dinyatakan sebagai “kiblat” clonal forestry bahkan menyebutkan bahwa di beberapa plot penelitian ada clone yang menghasilkan MAI > 70 m3/ha/tahun atau MAI ADT > 12 ton/ha.

Walaupun demikian, tentunya pencapaian produktivitas kayu yang dihasilkan dari clonal forestry tersebut tidak begitu saja diperoleh. Sangat banyak usaha yang dilakukan, dan tentunya membutuhkan modal yang besar dan waktu yang tidak singkat. Selain itu tentunya konsistensi melakukan pemuliaan pohon (Tree improvement)  tetap menjadi modal utama penemuan klon-klon unggulan yang memiliki sifat-sifat genetik yang diharapkan.

Berbagai tantangan dalam pengembangan clonal forestry akan coba dijelaskan dalam beberapa seri tulisan di bawah ini.

TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK

Tidak ada clone unggulan tanpa tersedianya material genetik yang cukup untuk diseleksi . Material genetik yang dimaksud adalah beragamnya material genetik yang diuji dalam uji keturunan (Progeny Test) sebagai lokasi pemilihan plus tree (Pohon plus) yang menjadi bakal clone.  Tersedianya genetic base yang luas akan memberikan kesempatan kepada pemulia pohon (tree breeder) untuk mendapatkan material-material yang lebih atau plus.

Brazil mengembangkan clonal Eucalyptus-nya dengan mendatangkan material genetik E. urophylla (yang tumbuh alami di Indonesia) dan E. grandis yang tumbuh alami di Australia. Program pemuliaan yang dimulai sejak tahun 1960-an terhadap kedua jenis Eucalyptus itu telah memberikan hasil yang fantastis sampai sekarang dengan kegiatan hybridisasi (perkawinan silang) antara E.urophylla x E.grandis dan menghasilkan E.urograndis yang menjadi andalan Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Mexico, Uruguay, Colombia, Venezuela, Argentina, Chile, dsb. Ratusan benih individu pohon E.urophylla dan E.grandis dikembangkan untuk mendapatkan family-family (seedlot) yang tumbuh cepat dan memiliki sifat kayu yang sesuai dengan industri yang dikembangkan.  Dalam beberapa literatur disebutkan untuk melaksanakan breeding suatu species, paling tidak dibutuhkan 300 individu pohon dari hutan alam (berupa benih) dan tentunya dari berbagai provenance. Benih dari 300 pohon (individu) tersebut dapat ditanam dalam berbagai lokasi atau multisite dan dapat dijalankan dalam beberapa tahun sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Program pembangunan Genetic base (populasi dasar) sebanyak 300 individu dari hutan alam tersebut dapat disusun dalam strategy sebagai berikut : 

Skema singkat pembangunan Base Population Eucalyptus untuk mengembangkan Clonal forestry
 Dari skema di atas dapat diketahui bahwa pembangunan Genetic Base (Populasi Dasar) untuk kegiatan pemuliaan membutuhkan sumber daya yang terus menerus sejak tahun pertama sampai tahun ke 6 dan tahun-tahun selanjutnya. 

Perkiraan sumber daya untuk mengerjakan pekerjaan di dalam skema di atas untuk 1 set penelitian Progeny Test (50 family) dapat digambarkan dalam Tabel di bawah ini :

Tabel Perkiraan Biaya Pembangunan Base Population 50 family

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun genetic base (populasi dasar) sebanyak 50 family dibutuhkan dana sekitar Rp.630 .500.000,- atau jika di kurskan dengan 1 USD = Rp. 9500, maka akan dibutuhkan dana kurang lebih USD 66.000 .  Atau jika akan membangun genetic base sebanyak 300 family akan dibutuhkan sekitar Rp. 3.7 milyar atau sekitar USD 379.000,- . Tentunya ini dana yang cukup besar bagi lembaga yang akan melakukan clonal forestry Eucalyptus.

Hal di atas merupakan tantangan dalam membangun genetic base jika kita akan melaksanakan Clonal forestry. Ketersediaan genetic base tidak dapat diabaikan, karena dari genetic base inilah peluang – peluang untuk mendapatkan clone unggulan dapat diperoleh.  Masalah lainnya adalah walaupun dana dan sumber daya manusia tersedia , belum tentu plus tree yang dihasilkan sesuai dengan keinginan lembaga yang menjalankannya.  Plus tree bisa saja tidak diperoleh dalam satu rangkaian progeny test yang dijalankan karena plus tree sangat dipengaruhi oleh interaksi Genetik benih yang ditanam dengan lingkungan dimana benih itu di tanam dan hal ini sangat bersifat alami dan sulit dikendalikan manusia .
. 
Tantangan lainnya adalah belum tentu kita mendapatkan material genetik di hutan alam yang direncanakan sebelumnya karena keberadaan material genetik di hutan alam sangat tergantung kepada tingkat konservasi populasi pohon yang kita rencanakan untuk diclonalkan.  Populasi pohon E. urophylla, E.pellita dan E.deglupta di berbagai provenance sudah dinyatakan dalam kondisi sangat berbahaya karena berbagai tekanan yang terjadi seperti penebangan liar (illegal loging), perubahan fungsi hutan menjadi berbagai keperluan seperti perladangan, perumahan, perkebunan, infrastruktur, dsb. Selain itu kondisi tekanan alam seperti letusan gunung berapi juga menjadi salah satu resiko yang dapat menghilangkan genetik material di hutan alam seperti halnya di Gunung Egon dan  Gunung Lewotobi di Pulau Flores yang sering sekali meletus , padahal kedua gunung itu merupakan tempat tumbuh alami E.urophylla .  Tentunya letusan gunung ini akan mempengaruhi keberadaan populasi E.urophylla di wilayah tersebut.

Bagaimanapun tantangan untuk mendapatkan material genetik untuk pembangunan Genetic base sebagai langkah awal mengembangkan clonal forestry semakin kompleks misalnya dengan kompetensi sumberdaya manusia pelaksana kegiatan Breeding. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan program breeding yang baik, hasrat/keinginan meneliti dalam jangka lama , keterampilan membangun plot-plot genetik test (seperti Progeny Test) serta analisa datanya  dan tentunya  keterampilan silviculture teknis. Sekarang ini semakin sulit untuk mendapatkan sarjana kehutanan atau pertanian yang menyukai pekerjaan – pekerjaan lapangan dan siap bekerja lama meneliti tanaman kehutanan yang berumur panjang, selain itu walaupun siap bekerja dibidang pemuliaan maka diperlukan semangat dan kerja keras untuk belajar tentang berbagai ilmu secara terus menerus karena bidang pemuliaan pohon terus berkembang.  

Selain tantangan yang sudah disebutkan di atas tantangan lain adalah komitmen lembaga/perusahaan untuk menjalankan clonal forestry dengan sebaik-baiknya. Banyak pemilik modal yang kurang memahami bahwa menjalankan clonal forestry itu dibutuhkan keterampilan – keterampilan khusus, bukan sekedar memilih pohon , mengembangkan secara vegetatif dan panen clonal . Pemahaman tentang flow proses pemilihan clonal , pembangunan clonal forestry serta  konsekuensi-konsekuensinya harus dipelajari dan dipahami pemilik modal dan tenaga administratif yang terkait agar diperoleh dukungan yang cukup , karena dengan dukungan yang tidak maksimal program clonal forestry bisa saja sekedar wacana atau menemukan kegagalan ketika dijalankan.

Sabtu, 16 Juni 2012

Clonal Forestry


Sumber: http://thesecondgreenrevolution.blogspot.com

Clonal Forestry atau sering diterjemahkan menjadi Perhutanan Klonal adalah sistem pembangunan suatu hutan tanaman dengan menggunakan klon. Seperti diketahui klon adalah material genetik yang terseleksi dan dikembangbiakan secara vegetatif (asexsual). Metode vegetatif yang paling umum dilaksanakan dalam pembangunan Clonal Forestry adalah dengan teknik Rooted cutting ( stek) baik itu mini cutting atau macro cuttingMini cutting adalah material vegetatif tanaman yang terdiri dari pucuk tanaman dan beberapa lembar daun di bawah pucuk tanaman yang diperoleh clonal hedges (kebun pangkas clonal), sementara macro cutting umumnya tanpa menggunakan pucuk tetapi hanya menggunakan beberapa lembar daun yang dipotong sebagian.

Dalam merencanakan pembangunan tanaman kehutanan dengan sistem clonal forestry, ada beberapa syarat yang menjadi kunci suksesnya yaitu :

1. Material Clonal

Material clonal yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan peruntukan kayu hutan tanaman tersebut. Misalnya untuk industri pulp and paper, maka syarat wood properties (sifat kayu) nya harus memenuhi density, panjang serat, jumlah serat, warna, kandungan lignin, kandungan selulosa, dan syarat lain yang disesuaiakan dengan proses pembuatan pulpnya.  Klon yang dikembangkan tentunya juga harus mudah diperbanyak secara vegetatif, karena percuma saja mendapatkan Klon yang bagus tetapi sulit untuk dikembangbiakan secara massal. Syarat Klon yang umum adalah :
-  Pertumbuhan cepat dan tinggi
-  Mudah dikembangbiakkan secara massal
-  Respon terhadap pemupukan
-  Optimal dalam ketahanan terhadap hama penyakit penting
-  Mempunyai wood properties yang sesuai dengan industri yang membutuhkannya

2. Interaksi  Clon x Site ( Klon x Tapak)

Klon biasanya sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, karena bagaimanapun klon diseleksi berdasarkan interkasinya dengan lingkungan, atau sering disebut dengan P = G + E , dimana interaksi Genotype (klon) dengan Environment (Lingkungan) akan menghasilkan Phenotype (Performance, Production, Phenotype). Sangat jarang ditemukan klon yang mampu berinteraksi dengan baik dengan semua kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Misalnya klon-klon di daerah sub tropis sangat sulit tumbuh baik di daerah tropis, atau klon-klon yang unggul di daerah dengan elevasi > 1500 m d.p.l akan sulit beradaptasi dengan daerah dengan elevasi 100-200 m d.p.l misalnya. Atau klon-klon yang terseleksi di daerah dengan kandungan hara tinggi, kemungkinan tidak dapat optimal pada wilayah dengan kandungan hara yang rendah. Perencanaan Clonal forestry harus melibatkan perencanaan tapak (site) dan lingkungan pertanaman yang ada dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rangkaian perencanaan operasional lainnya seperti sumber daya manusia, sarana prasarana, budget, alat dan bahan, dsb.  Tanpa interkasi yang cocok (sesuai) antara Klon x Tapak-nya , maka performance (produksi) klon yang dihasilkan bisa meleset jauh dari perkiraan.

3. Perbanyakan Klon (Clonal Propagation atau Clonal Deployment)

Bagaimanapun untuk mengembangan Clonal Forestry akan berhubungan dengan bagaimana menghasilkan bibit-bibit vegetative dari Klon yang terseleksi. Percuma saja kita memiliki klon-klon yang terseleksi dengan baik, sudah memenuhi syarat industri dan memenuhi syarat - syarat klon , tetapi ternyata sangat sulit dikembangbiakkan (propagasi). Tugas utama Tree Improvement pada saat setelah selesai melakukan seleksi material genetik yang unggul adalah bagaimana memperbanyak (deployment) material genetik itu. Tanpa perbanyakan, maka material genetik yang diseleksi dan unggul itu hanyalah berupa catatan atau pajangan di lapangan. Harus ada standar kesuksesan clonal deployment ketika suatu material genetik layak dikatakan sebagai klon untuk skala produksi. Perbanyakan klon  ini akan menyangkut rooting ability (kemampuan menghasilkan akar) dan shoot ability (kemampuan menghasilkan trubusan). Pohon unggulan (pohon plus) atau klon yang telah diseleksi dalam Clonal test harus segera diuji kemampuan untuk menghasilkan shoot dan root (tunas dan akar), baik itu dengan metode micro propagation (perbanyakan mikro seperti tissue culture - kultur jaringan) atau macro propagation ( cutting atau stek). Percuma saja merencanaan Clonal forestry jika kemampuan menghasilkan shoot dan root clonal yang dipilih ternyata tidak layak secara operasional massal.  Hal ini akan berkaitan dengan kemampuan operasional menghasilkan bibit untuk kebutuhan penanaman di lapangan. 

Tentunya sangat banyak sarana prasarana yang dibutuhkan dalam menjalankan Clonal Forestry. Selain ketersediaan material genetik (klon) unggul, tentunya tidak akan lepas dari sarana prasarana penunjang untuk mengembangkan klon itu misalnya Laboratorium Tissue culture;  Pembibitan Vegetatif yang mengharuskan berbagai syarat terutama syarat pengaturan kelembaban dan suhu udara serta tersedianya sarana sterilisasi alat dan bahan ;  Kebun Pangkas (hedges orchard)  yang kemungkinan akan membutuhkan sarana Green House (rumah kaca), sarana penyiraman, pemupukan, perawatan tanaman, dsb. Selain itu untuk menghasilkan interaksi yang baik dengan lingkungan (Tapak) nya, maka sarana prasarana penunjang seperti peta tanah, data kandungan dan perubahan unsur hara tanah, data perkembangan hama penyakit, data perubahan cuaca misalnya curah hujan, angin, suhu udara dan kelembaban udara akan sangat dibutuhkan dalam perencanaan Clonal Forestry. 



Nursery Clonal Eucalyptus di salah satu perusahaan di Brazil (Sumber: http://www.actforclimatejustice.org/)


4. Aspek Ekonomi Clonal Forestry

Hasil clonal forestry tentunya adalah produktivitas tanaman kehutanan yang optimal. Dengan keseragaman produk yang tinggi, maka salah satu nilai yang dapat dicapai dengan clonal forestry adalah nilai ekonomis yang tinggi. Sudah sangat umum diketahui bahwa tegakan Eucalyptus clon di negara Brazil rata-rata dapat mencapai 45 m3/ha/tahun atau dengan masa panen 5-6 tahun akan menghasilkan rata-rata 225-270 m3/ha, dan jika kita bandingkan dengan tegakan yang bukan berasal dari klon yang rata-ratanya bisa mencapai 25m3/ha/tahun atau 125-150 m3/ha pada panen 5-6 tahun, maka produk clonal forestry berbeda sekitar 100% dibandingkan dengan yang non clonal .  Tetapi hendaknya kita jangan terpana dengan angka-angka produksi pada saat panen tersebut. Hasil clonal forestry dapat lebih tinggi karena investasi atau modal yang ditanamkan juga lebih tinggi dibanding yang non-clonal. Bagaimana perbandingan cost (biaya) produksinya harus benar-benar dihitung dan dianalisa dengan baik sebelum memutuskan operasional clonal forestry. Clonal forestry membutuhkan sarana prasarana yang lebih kompleks, sumber daya manusia yang lebih disiplin dan kompetensinya lebih tinggi, serta tentunya manajemen silviculture yang lebih detil dan ketat. Kita tidak akan menghasilkan produksi klon Eucalyptus setinggi  MAI 45m3/ha/tahun jika tingkat disiplin teknik silviculture kita masih sama dengan pembuatan tegakan dengan non klonal (benih) dan pengetahuan tentang sifat-sifat klon yang kita tangani akan sangat spesifik untuk masing-masing klon sehingga membutuhkan kompetensi Sumber daya manusia yang lebih optimal.

Clonal forestry memang menunjukkan hasil yang fantastis di berbagai negara yang telah mengembangkannya seperti Eucalyptus clonal forestry di Brazil, Chile, Argentina, Uruguay, Afrika Selatan, Australia, atau clonal Pinus spp di Brazil, Amerika Serikat, Chile, Argentina, Afrika Selatan, Australia, New Zealand, dsb. Tetapi keberhasilan clonal forestry di negara-negara itu tentunya sangat didukung oleh sarana parasana yang lengkap dan tentunya keseriusan sumberdaya dan manajemennya menjalankan clonal forestry dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan silvicultur dan lainnya.


Harvesting Eucalyptus clonal (Sumber:thesecondgreenrevolution.blogspot.com)



Seperti kata seorang professor bidang pemuliaan ,  
"Clonal forestry memang bisa menghasilkan produksi yang fantastis, tetapi untuk hasil yang fantastis itu juga dibutuhkan energi yang fantastis"