Tampilkan postingan dengan label Vegetative. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Vegetative. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #4 : PEMBANGUNAN CLONAL TEST DAN SELEKSI CLONE)

Setelah mendapatkan material genetik vegetatif dari pohon plus dengan berbagai metode yang dapat dikembangkan seperti dijelaskan sebelumnya yaitu dengan menumbuhkan trubusan (sprout) pohon plus kemudian memperbanyaknya melalui stek (rooted cutting)  dan salah satunya juga dengan bantuan Tissue culture. Program pengembangan trubusan pohon plus dengan teknik tissue culture  hampir sama dengan proses pembuatan bibit dengan rooted cutting (stek), hanya di dalam Laboratorium Tissue culture proses perkembangbiakannya dengan teknik micropropagation seperti terlihat pada foto di bawah ini


Apapun cara yang ditempuh dalam mengembangbiakkan pohon plus secara vegetatif, intinya material vegetatif itu harus menghasilkan bibit yang seragan umur dan ukurannya sehingga layak digunakan sebagai material pembangun clonal test.

Pembangunan clonal test dapat dijalankan dengan sempurna jika jumlah bibit (ramet) masing-masing plus tree mencukupi untuk kebutuhan penelitian sesuai dengan desain penelitian. Seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, diperlukan sekitar 72 bibit (ramet) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal test dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD)  dengan jumlah replikasi 9 ulangan dan tree plot per replikasi adalah 12 pohon dalam bentuk square plot (persegi)  3 x 4 tanaman.  Sketsa RCBD untuk 50 klon dengan tree plot 12 pohon per replikasi dapat dilihat di bawah ini

Desain ini dilakukan jika jumlah bibit mencukupi, dan dapat dirubah sesuai dengan ketersediaan jumlah bibit, lahan dan  sumber daya lainnya yang mempengaruhi desain penelitian. Tetapi paling tidak untuk memenuhi kaidah statistika masing-masing klon memiliki minimal 36 bibit yang ditanam dalam 6 replikasi dengan tree plot 6 pohon/replikasi (dalam bentuk baris - row).   

Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) merupakan rancangan penelitian yang paling umum dilaksanakan untuk membangun Clonal Test. Permasalahan yang sering terjadi adalah keterbatasan material bibit uji dari pohon plus. Diperlukan ajusmen-ajusmen rancangan agar clonal test tetap terbangun terutama mengatur tree plot per klon per replikasi.  Jika jumlah bibit per klon terbatas, bisa juga dipilih rancangan acak lengkap berblok dengan single tree plot ( 1 bibit per replikasi) dengan jumlah replikasi minimal 30.

Jika jumlah bibit seluruh klon cukup tersedia banyak, maka rancangan penelitian dengan tree plot berbentuk square (misalnya 3 x 4 tree per replikasi) menjadi pilihan yang paling ideal untuk membangun clonal test.   Bentuk plotnya dibuat square (persegi)  agar diperoleh kondisi plot yang mirip dengan kondisi di lapangan nantinya jika klon tersebut dikembangkan sebagai klon komersil.

Clonal test yang dibangun juga harus multilokasi atau multisite seperti halnya progeny test multilokasi / multisite. Penentuan jumlah lokasi uji juga sama dengan klassifikasi pada uji progeny test (lihat tantangan #2 ) dan tidak akan dibahas lagi dalam bab ini.  Pada intinya clonal test juga akan menentukan GXE atau interaksi Genotype dan Environment  dan dalam analisa datanya akan menggunakan persamaan-persamaan statistik yang mirip dengan progeny test.

Pemeliharaan clonal test harus dilaksanakan secara intensif agar benar-benar faktor lingkungan termanupulasi dengan baik untuk memberikan potensi Gen klon dapat ditampilkan dengan sempurna. Pengendalian gulma dan pemupukan menjadi hal yang krusial dan uji clonal ini. Keseragaman kondisi lingkungan di dalam satu replikasi uji diharuskan semaksimal mungkin terjaga agar semua klon yang diuji mendapat perlakuan silviculture yang sama . Kita menginginkan semua klon dapat menunjukkan potensinya dan akhirnya kita bisa memilih atau menyeleksi klon terbaik dengan sangat fair (adil).

Sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan clonal test ini hampir sama dengan pembangunan progeny test. Untuk membangun 100 clon dalam clonal test dengan 3 lokasi akan diperlukan dana seperti terlihat pada Tabel di bawah ini:


Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun Clonal test 100 klon dengan 3 lokasi dan dengan Rancangan penelitian menggunakan RCBD , 6 replikasi dan 12 tree plot / replikasi, maka dibutuhkan dana sekitar  1 milyar rupiah atau USD 113.000,- sampai clone diseleksi/dipilih.

Seleksi clon yang dilakukan tentunya berdasarkan karakter phenotype yang diharapkan oleh breeder dan tentunya disesuaikan dengan tujuan pembangunan clonal test. Untuk masing-masing industri perkayuan , syarat-syarat karakteristik yang dibutuhkan juga berbeda misalnya untuk industri pulp and paper biasanya dicari klon-klon yang memiliki syarat :
-          cepat tumbuh
-          produktivitas volume kayu  tinggi
-          pulp yield tinggi (mencakup basic density dan pulp yield)
-          zat esktraktif kayu yang rendah
-          kelurusan batang bagus
-          Percabangan sedikit dan kecil
-          Ketahanan terhadap hama penyakit utama baik

Sementara untuk kayu pertukangan selain cepat tumbuh, produktivitas volume tinggi , kelurusan batang , percabangan sedikit dan kecil, serta ketahanan hama penyakit , biasanya juga melihat aspek silindrisnya batang , pola serat kayu dan sifat-sifat fisika kayu lainnya.

Pemilihan klon terbaik di atas juga harus mempertimbangkan kemudahan clon yang diseleksi untuk dikembangbiakan secara vegetatif dalam skala massal (misalnya dengan stek -  rooted cutting – atau kultur jaringan/ tissue culture) . Syarat-syarat vegetatif propagation yang sangat penting dipertimbangkan adalah rooting ability (persentasi kemampuan berakar) dan kemampuan menumbuhkan trubusan (shoot) dari klon tersebut di Nursery.  Sangatlah penting untuk memilih klon yang sesuai dengan kebutuhan operasional secara massal karena pembangunan clonal forestry tujuannya ada pada skala operasional , bukan pada skala penelitian.

Setelah pemilihan the best clones (klon-klon terbaik) maka langkah selanjutnya adalah bagaimana dengan sesegera mungkin mengembangkan klon-klon itu pada skala operasional (produksi massa). Hal ini membutuhkan strategi yang hampir sama ketika kita menemukan pohon plus pada progeny test dan harus sesegera mungkin menghasilkan material vegetatifnya untuk membangun progeny test.  Untuk ini ada beberapa strategi yang harus dilaksanakan yaitu :

  1. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material stek (rooted cutting) untuk membangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil) . Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.
  2. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material  eksplant di tissue culture (kultur jaringan) . Hasil eksplant tersebut kemudian dapat dijadikan bahan pembangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil). Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.


Kedua strategi tersebut dapat digambarkan pada skema di bawah ini :

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test dan membuatnya menjadi kebun pangkas (hedge orchard)

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test untuk dikembangkan di dalam Lab . Tissue culture dan plantlet dari Lab Tissue culture dipergunakan membangun kebun pangkas (hedge orchard) dan hasil kebun pangkas dijadikan material rooted cutting. Bisa juga hasil dari Lab . Tissue culture dimanfaatkan langsung sebagai material bibit membangun tanaman operasional

Kedua strategy di atas mempunyai kelemahan dan keuntungan masing-masing dan keputusan untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan dalam pembangunan clonal forestry sangat tergantung kepada kondisi lembaga/instansi yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut.

Perbedaan  untuk menjalankan Strategi 1 dan 2 di atas dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :

Keberadaan Lab. Tissue culture untuk bidang kehutanan saat ini sudah berkembang sangat pesat terutama untuk mendukung program clonal forestry Eucalyptus . Sudah sangat umum perusahaan-perusahaan atau lembaga penelitian kehutanan yang menjalankan clonal forestry memiliki laboratorium Tissue culture sebagai infrastruktur standar yang harus dimiliki karena dengan teknologi kultur jaringan program clonal frestry dapat dijalankan lebih cepat dan secara kuantitatif hasil bibit yang dihasilkan dapat berjumlah lebih besar.  Walaupun tentunya diperlukan dana dan sumber daya yang lebih besar untuk pengadaan bangunan Laboratorium serta pekerja yang menjalankan Laboratorium tersebut.

Pembangunan clonal test, pemilihan clone dan pengembangbiakan clone yang terpilih dan terseleksi menjadi sebuah tahapan penting dalam mencapai pembangunan Clonal forestry Eucalyptus. Tahapan demi tahapan harus dijalankan dengan serius dan konsisten karena proses yang berhenti pada suatu phase dapat mengakibatkan program clonal forestry kembali ke titik nol.

Minggu, 08 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #3 : SELEKSI POHON PLUS DAN PROPAGASINYA)

Tujuan pembangunan progeny test multilokasi dalam program clonal forestry adalah menemukan the best tree (Pohon plus) dari the best family (family terbaik). Pohon plus kemudian dikembangbangbiakan secara vegetative untuk membangun clonal test dan dari clonal test inilah ditemukan clone yang menjadi bahan material untuk pembangun Clonal forestry secara operasional seperti terlihat pada skema berikut ini .


Seperti dijelaskan sebelumnya untuk menentukan pohon plus dari progeny test multilokasi memerlukan keterampilan untuk analisa data yang berhubungan dengan genetik kuantitatif.  Pemahaman tentang P = G+E ( Phenotype = Genotype + Environment) dan interaksi antara G dan E (GxE) sangat perlu dalam hal ini dan ini biasanya membutuhkan pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus di bidang analisa data genetik test. Dalam analisa data akan ditentukan nilai genotype dan nilai environment yang menentukan nilai phenotype tanaman dan jika progeny test di bangun dalam beberapa lokasi maka sering sekali terjadi interaksi yang rumit. Untuk menghadapi ini seorang breeder (pemulia) akan menentukan pohon-pohon yang menunjukkan nilai P terbaik dan menentukan nilai heritabilitas individu dan family (Individual Heritability dan Family Heritability)  (nilai pewarisan sifat dari suatu induk kepada keturunannya baik secara family maupun individu) dan ini berkaitan dengan nilai variance masing-masing objek. Kemampuan Breeder untuk menghitung nilai-nilai variance component dari genotype dan environment  akan sangat terbantu dengan kemampuan untuk mengoperasikan software komputer statistika yang banyak digunakan dalam Genetic Data Analysis seperti SAS.

Tantangan breeder dalam hal ini akan semakin kompleks jika lokasi – lokasi pengujian Progeny Test menunjukkan interaksi yang tidak berpola atau ternyata berbeda nyata (significant) pada uji statistika. Bisa saja satu family bagus pertumbuhannya pada site (lokasi 1), dan tidak bagus pada lokasi lainnya, atau kondisi dimana satu family bagus pada 2 lokasi uji, sementara uji lainnya kurang baik.  Bisa juga ternyata heritabilitas family di suatu lokasi bernilai  rendah , sementara di lokasi lainnya bernilai tinggi. Diperlukan keterampilan dan pengalaman untuk menyeleksi pohon plus dari masing-masing progeny test.   Penentuan apakah pohon plus yang diseleksi adalah berlaku umum untuk semua lokasi (tapak)  atau specifik lokasinya juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang kompleks.  Nilai-nilai Genetic Gain (GG) dapat dilaksanakan dengan menggunakan rumus-rumus yang banyak disampaikan dalam beberapa literatur dan jurnal.

Parameter  pohon plus juga harus disesuaikan dengan kebutuhan breeding dan tujuan lembaga tersebut mengadakan pemuliaan pohon. Secara umum pohon plus yang dipilih untuk tujuan Industri Pulp adalah :
-          Tumbuh cepat dan tingkat pertumbuhan tinggi
-          Bercabang kecil dan sedikit
-          Berbatang lurus dan silindris
-          Kulit kayu tipis
-          Sehat
-          Memiliki Wood density yang sesuai untuk pulp (biasanya > 450 kg/m3 dan < 800 kg/m3)

Setelah diputuskan pohon-pohon plus dari masing-masing lokasi progeny test dan sudah diputuskan apakah pohon plus itu bersifat general untuk seluruh lokasi, atau hanya spesifik untuk satu lokasi (tapak), maka  langkah selanjutnya adalah memperbanyak pohon plus tersebut untuk mendapatkan material vegetative dalam rangka membangun Clonal test.

Tahapan pengembangbiakan pohon plus menjadi Clonal test  membutuhkan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang. Problem dalam tahapan ini adalah  bagaimana memperbanyak satu pohon plus berumur tua menjadi ratusan bibit vegetatif yang seumur dan seragam .

Teknik Perbanyakan Vegetatif Pohon Plus

Perbanyakan pohon plus menjadi material-material tanaman sebagai bahan pembangun Clonal test merupakan proses pemuliaan yang paling sering menjadi masalah.  Untuk membangun clonal test diperlukan material tanaman yang seragam dari semua pohon plus. Seragam artinya sama dalam ukuran, umur bibit, dan jumlah yang tersedia . Untuk membangun clonal test diperlukan jumlah bibit yang mencukupi sesuai dengan desain percobaan clonal test yang diharapkan. Umumnya desain percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD) dengan jumlah replikasi 6 ulangan dan tree plot (tanaman uji) per replikasi paling tidak 12 pohon (dalam bentuk plot persegi 3 x 4 tanaman).  Untuk itu paling tidak diperlukan 12 tanaman x 6 replikasi = 72 ramet (bibit) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal Test.  Untuk mendapatkan 72 bibit yang seragam umur dan ukurannya dari satu pohon plus adalah kegiatan yang membutuhkan teknik perkembangbiakan vegetatif yang khusus dan spesifik padahal kita akan membangun clonal test multilokasi sesuai dengan klassifikasi lahan (site) yang ada seperti halnya membangun Progeny Test Multilokasi. Metode yang paling umum dilaksanakan adalah dengan cara mengambil sprout (trubusan) dari pohon plus dan mengembangkannya dengan teknik stek (rooted cutting). Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan sprout (trubusan) dari pohon plus?  Ada 2 langkah yang ditempuh  yaitu penebangan pohon plus dengan resiko kita kehilangan pohon plus (destructive) dan teknik lain adalah dengan melukai batang pohon plus (girdling) untuk menumbuhkan sprout (turbusan) dari batang.


Foto 1 : Sprout Eucalyptus setelah penebangan pohon (sumber : http://komaza.org/blog/?p=945)

 
Foto 2: Sprout (trubusan) Eucalyptus tumbuh setelah penebangan pohon (sumber foto: http://www.millstreamgardens.co.nz/blog



Foto 3: Sprout (trubusan) Eucalyptus dapat dipanen dan dijadikan material stek (rooted cutting)  seperti di Afrika Selatan ( sumber foto : http://www.forestry.co.za)

Foto 4: Pembuatan material stek (rooted cutting) memerlukan infrastruktur seperti  green house yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (misting) , suhu dan cahaya agar stek dapat tumbuh (sumber foto: http://www.forestryimages.org)

Foto 5: Girdling pohon untuk mendapatkan trubusan biasanya dilakukan dengan mengupas kulit kayu dan menunggu trubusan muncul dari bagian bawah kupasan (Sumber foto : http://www.wikipedia.org/)

Foto 6: Harus hati-hati melakukan girdling pohon plus, karena kemungkinan jika pengupasan kulit terlalu besar dan melingkari batang maka pohon plus akan mati (sumber foto : http://www.ca.uky.edu)

Foto 7: Bagaimanapun sulitnya trubusan (sprout) harus tetap diusahakan tumbuh dari pohon plus karena tanpa trubusan ini maka program clonal forestry tidak akan berlangsung (sumber foto : www.git-forestry.com)

Pekerjaan penebangan pohon plus dan atau peng-girdling-an pohon plus untuk mendapatkan sprout (trubusan) akan memerlukan sumber daya dan dana yang besar , padahal hanya untuk mendapatkan bibit untuk pembangun Clonal test. Beberapa sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan ini adalah :

  1. Sarana Transportasi Khusus

Jika lokasi Progeny Test dimana plus tree (pohon plus) berada cukup jauh dari Nursery dan terpencar maka sarana tranportasi khusus untuk pemeliharaan pohon plus sangat penting disediakan.  Pohon plus yang sudah ditebang dan digirdling perlu diperiksa dan diamati secara rutin apakah menumbuhkan trubusan atau tidak. Perlu juga dilakukan pengendalian gulma disekitar pohon dan juga pemupukan . Pada musim kemarau, perlu dilakukan penyiraman pohon agar trubusan yang tumbuh tidak kering dan mati. Pengendalian Hama Penyakit juga perlu dilaksanakan, terutama untuk batang pohon plus yang ditebang, karena terjadi pelukaan yang cukup besar maka kemungkinan terserang patogen akan semakin berpotensi besar.  Satu per satu pohon plus yang ditebang harus diperiksa secara rutin oleh pekerja/staff yang memahami tujuan penebangan /girdling pohon plus tersebut. Kehilangan material sprout (trubusan) menjadi kehilangan potensi mendapatkan material vegetatif pohon plus yang berarti juga kehilangan kesempatan memperbanyak pohon plus menjadi clon.  Hal inilah yang sering menjadi penyebab pohon plus tidak ditebang untuk mendapatkan trubusan tetapi cukup dengan girdling.  Walaupun dengan resiko jumlah trubusan yang diperoleh dengan metode girdling  akan lebih sedikit dibanding dengan penebangan.

  1. Sumber daya manusia
Untuk mengerjakan penebangan pohon atau peng-girdling-an pohon plus yang terpencar , pemeliharaannya, pengamatannya, pemanenan sprout-nya dan pembuatan material vegetatif di Nursery memerlukan sumber daya manusia yang memadai.  Harus ada staff yang khusus memahami manfaat dan fungsi sprout (trubusan) dan bagaimana menanganinya agar mampu menjadi material vegetatif di Nursery.  Paling tidak harus ada staff khusus di lapangan yang bertugas mengelola pohon plus dan sprout-nya, serta 1 orang staff (supervisor) untuk menangani perbanyakan sprout menjadi rooted cutting di Nursery. Tentunya mereka berdua harus dibantu tenaga kerja teknis yang mencukupi.

  1. Infrastruktur Perbanyakan Vegetatif

Seperti dijelaskan di atas, trubusan pohon plus harus ditangani untuk menjadi bibit vegetatif sebagai material pembangun Clonal Test.  Untuk ini diperlukan infrastruktur green house atau rooting house  yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (sprinkler- misting) , pengatur temperatur, dan pengatur intensitas cahaya.  Tanpa infrastruktur ini maka peluang untuk membuat bibit vegetatif dari trubusan pohon plus akan sulit dilaksanakan.  Selain infrastruktur yang memadai harus juga dikuasai teknik pembuatan rooted cutting dan menajemennya di Nursery.

Pembuatan bibit vegetatif dari trubusan pohon plus kemungkinan akan dilaksanakan berulang kali dengan cara mengumpulkan sprout (trubusan) di lapangan karena untuk mendapat bibit vegetatif yang seragam dari pohon tua juga terkadang sangat sulit .  Problem yang sering muncul adalah :

  • Pohon plus yang ditebang / di girdling tidak menumbuhkan trubusan atau trubusannya sangat sedikit atau terserang hama penyakit
  • Pohon plus yang ditebang / di girdling menumbuhkan trubusan tetapi trubusan sulit untuk diakarkan di nursery
  • Pohon plus yang ditebang/ di girdling mampu menumbuhkan trubusan dan diakarkan, tetapi jaringannya tetap tua (mature) atau sering diistilahkan dengan ”aging effect”, dimana bibit yang tumbuh tampak seperti pohon tua (tidak juvenil).

Beberapa pengalaman dalam mengelola Pohon Plus E. pellita dan E. urophylla berumur 4-5 tahun agar dapat menghasilkan trubusan untuk menghasilkan bibit vegetatif pembangun clonal test dapat dijelaskan sebagai beirkut :

  1.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, diperoleh hanya 80-90% yang mampu menumbuhkan trubusan . Dari 80-90% pohon plus yang menumbuhkan trubusan itu hanya 60-70% yang mampu menumbuhkan akar. Harus banyak penelitian bagaimana menumbuhkan akar trubusan tanaman tua.
  2.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, rata-rata jumlah trubusan yang tumbuh pada bulan pertama setelah penebangan adalah 15-20 trubusan. Setelah dipanen , trubusan yang tumbuh semakin sedikit.  Apabila dilakukan pemeliharaan rutin trubusan tetap tumbuh dengan baik.
  3.         Hama penyakit yang paling sering menyerang sprout pohon plus yang ditebang dan di-girdling adalah hama ulat pemakan daun dan penggulung serta pengisap pucuk . Perlu usaha pengendalian hama ini dengan intensif agar sprout (trubusan) yang dihasilkan dapat berkualitas. Untuk menghindari serangan penyakit bercak daun, dapat dilakukan dengan memberi mulsa di permukaan tanah sehingga percikan air hujan pada tanah tidak mengenai daun-daun trubusan. 
  4.         Pemupukan N dapat meningkatkan produktivitas trubusan tetapi pemupukan N yang berlebihan membuat kualitas trubusan kurang baik .

Begitu banyaknya hal yang mempengaruhi perbanyakan vegetatif pohon plus yang sudah terpilih dalam progeny test. Sangat banyak hal yang belum diketahui dan perlu diteliti agar program clonal forestry dapat dijalankan. Berdasarkan pengalaman untuk mengembangkan bibit dari pohon plus sebanyak 100 pohon saja diperlukan sumber dana mencapai mendekati Rp. 500.000.000.000 ,- agar dapat menghasilkan bibit +/- 250 bibit per pohon plus seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.


Bagaimanapun biaya pada tabel di atas harus dikeluarkan jika program clonal forestry Eucalyptus akan dijalankan. Tanpa pengembangan vegetatif pohon plus maka Clonal test hanya sekedar harapan di atas kertas dan bayangan keuntungan produktivitas tegakan HTI dari clonal forestry tidak akan tercapai

Sabtu, 16 Juni 2012

Clonal Forestry


Sumber: http://thesecondgreenrevolution.blogspot.com

Clonal Forestry atau sering diterjemahkan menjadi Perhutanan Klonal adalah sistem pembangunan suatu hutan tanaman dengan menggunakan klon. Seperti diketahui klon adalah material genetik yang terseleksi dan dikembangbiakan secara vegetatif (asexsual). Metode vegetatif yang paling umum dilaksanakan dalam pembangunan Clonal Forestry adalah dengan teknik Rooted cutting ( stek) baik itu mini cutting atau macro cuttingMini cutting adalah material vegetatif tanaman yang terdiri dari pucuk tanaman dan beberapa lembar daun di bawah pucuk tanaman yang diperoleh clonal hedges (kebun pangkas clonal), sementara macro cutting umumnya tanpa menggunakan pucuk tetapi hanya menggunakan beberapa lembar daun yang dipotong sebagian.

Dalam merencanakan pembangunan tanaman kehutanan dengan sistem clonal forestry, ada beberapa syarat yang menjadi kunci suksesnya yaitu :

1. Material Clonal

Material clonal yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan peruntukan kayu hutan tanaman tersebut. Misalnya untuk industri pulp and paper, maka syarat wood properties (sifat kayu) nya harus memenuhi density, panjang serat, jumlah serat, warna, kandungan lignin, kandungan selulosa, dan syarat lain yang disesuaiakan dengan proses pembuatan pulpnya.  Klon yang dikembangkan tentunya juga harus mudah diperbanyak secara vegetatif, karena percuma saja mendapatkan Klon yang bagus tetapi sulit untuk dikembangbiakan secara massal. Syarat Klon yang umum adalah :
-  Pertumbuhan cepat dan tinggi
-  Mudah dikembangbiakkan secara massal
-  Respon terhadap pemupukan
-  Optimal dalam ketahanan terhadap hama penyakit penting
-  Mempunyai wood properties yang sesuai dengan industri yang membutuhkannya

2. Interaksi  Clon x Site ( Klon x Tapak)

Klon biasanya sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, karena bagaimanapun klon diseleksi berdasarkan interkasinya dengan lingkungan, atau sering disebut dengan P = G + E , dimana interaksi Genotype (klon) dengan Environment (Lingkungan) akan menghasilkan Phenotype (Performance, Production, Phenotype). Sangat jarang ditemukan klon yang mampu berinteraksi dengan baik dengan semua kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Misalnya klon-klon di daerah sub tropis sangat sulit tumbuh baik di daerah tropis, atau klon-klon yang unggul di daerah dengan elevasi > 1500 m d.p.l akan sulit beradaptasi dengan daerah dengan elevasi 100-200 m d.p.l misalnya. Atau klon-klon yang terseleksi di daerah dengan kandungan hara tinggi, kemungkinan tidak dapat optimal pada wilayah dengan kandungan hara yang rendah. Perencanaan Clonal forestry harus melibatkan perencanaan tapak (site) dan lingkungan pertanaman yang ada dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rangkaian perencanaan operasional lainnya seperti sumber daya manusia, sarana prasarana, budget, alat dan bahan, dsb.  Tanpa interkasi yang cocok (sesuai) antara Klon x Tapak-nya , maka performance (produksi) klon yang dihasilkan bisa meleset jauh dari perkiraan.

3. Perbanyakan Klon (Clonal Propagation atau Clonal Deployment)

Bagaimanapun untuk mengembangan Clonal Forestry akan berhubungan dengan bagaimana menghasilkan bibit-bibit vegetative dari Klon yang terseleksi. Percuma saja kita memiliki klon-klon yang terseleksi dengan baik, sudah memenuhi syarat industri dan memenuhi syarat - syarat klon , tetapi ternyata sangat sulit dikembangbiakkan (propagasi). Tugas utama Tree Improvement pada saat setelah selesai melakukan seleksi material genetik yang unggul adalah bagaimana memperbanyak (deployment) material genetik itu. Tanpa perbanyakan, maka material genetik yang diseleksi dan unggul itu hanyalah berupa catatan atau pajangan di lapangan. Harus ada standar kesuksesan clonal deployment ketika suatu material genetik layak dikatakan sebagai klon untuk skala produksi. Perbanyakan klon  ini akan menyangkut rooting ability (kemampuan menghasilkan akar) dan shoot ability (kemampuan menghasilkan trubusan). Pohon unggulan (pohon plus) atau klon yang telah diseleksi dalam Clonal test harus segera diuji kemampuan untuk menghasilkan shoot dan root (tunas dan akar), baik itu dengan metode micro propagation (perbanyakan mikro seperti tissue culture - kultur jaringan) atau macro propagation ( cutting atau stek). Percuma saja merencanaan Clonal forestry jika kemampuan menghasilkan shoot dan root clonal yang dipilih ternyata tidak layak secara operasional massal.  Hal ini akan berkaitan dengan kemampuan operasional menghasilkan bibit untuk kebutuhan penanaman di lapangan. 

Tentunya sangat banyak sarana prasarana yang dibutuhkan dalam menjalankan Clonal Forestry. Selain ketersediaan material genetik (klon) unggul, tentunya tidak akan lepas dari sarana prasarana penunjang untuk mengembangkan klon itu misalnya Laboratorium Tissue culture;  Pembibitan Vegetatif yang mengharuskan berbagai syarat terutama syarat pengaturan kelembaban dan suhu udara serta tersedianya sarana sterilisasi alat dan bahan ;  Kebun Pangkas (hedges orchard)  yang kemungkinan akan membutuhkan sarana Green House (rumah kaca), sarana penyiraman, pemupukan, perawatan tanaman, dsb. Selain itu untuk menghasilkan interaksi yang baik dengan lingkungan (Tapak) nya, maka sarana prasarana penunjang seperti peta tanah, data kandungan dan perubahan unsur hara tanah, data perkembangan hama penyakit, data perubahan cuaca misalnya curah hujan, angin, suhu udara dan kelembaban udara akan sangat dibutuhkan dalam perencanaan Clonal Forestry. 



Nursery Clonal Eucalyptus di salah satu perusahaan di Brazil (Sumber: http://www.actforclimatejustice.org/)


4. Aspek Ekonomi Clonal Forestry

Hasil clonal forestry tentunya adalah produktivitas tanaman kehutanan yang optimal. Dengan keseragaman produk yang tinggi, maka salah satu nilai yang dapat dicapai dengan clonal forestry adalah nilai ekonomis yang tinggi. Sudah sangat umum diketahui bahwa tegakan Eucalyptus clon di negara Brazil rata-rata dapat mencapai 45 m3/ha/tahun atau dengan masa panen 5-6 tahun akan menghasilkan rata-rata 225-270 m3/ha, dan jika kita bandingkan dengan tegakan yang bukan berasal dari klon yang rata-ratanya bisa mencapai 25m3/ha/tahun atau 125-150 m3/ha pada panen 5-6 tahun, maka produk clonal forestry berbeda sekitar 100% dibandingkan dengan yang non clonal .  Tetapi hendaknya kita jangan terpana dengan angka-angka produksi pada saat panen tersebut. Hasil clonal forestry dapat lebih tinggi karena investasi atau modal yang ditanamkan juga lebih tinggi dibanding yang non-clonal. Bagaimana perbandingan cost (biaya) produksinya harus benar-benar dihitung dan dianalisa dengan baik sebelum memutuskan operasional clonal forestry. Clonal forestry membutuhkan sarana prasarana yang lebih kompleks, sumber daya manusia yang lebih disiplin dan kompetensinya lebih tinggi, serta tentunya manajemen silviculture yang lebih detil dan ketat. Kita tidak akan menghasilkan produksi klon Eucalyptus setinggi  MAI 45m3/ha/tahun jika tingkat disiplin teknik silviculture kita masih sama dengan pembuatan tegakan dengan non klonal (benih) dan pengetahuan tentang sifat-sifat klon yang kita tangani akan sangat spesifik untuk masing-masing klon sehingga membutuhkan kompetensi Sumber daya manusia yang lebih optimal.

Clonal forestry memang menunjukkan hasil yang fantastis di berbagai negara yang telah mengembangkannya seperti Eucalyptus clonal forestry di Brazil, Chile, Argentina, Uruguay, Afrika Selatan, Australia, atau clonal Pinus spp di Brazil, Amerika Serikat, Chile, Argentina, Afrika Selatan, Australia, New Zealand, dsb. Tetapi keberhasilan clonal forestry di negara-negara itu tentunya sangat didukung oleh sarana parasana yang lengkap dan tentunya keseriusan sumberdaya dan manajemennya menjalankan clonal forestry dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan silvicultur dan lainnya.


Harvesting Eucalyptus clonal (Sumber:thesecondgreenrevolution.blogspot.com)



Seperti kata seorang professor bidang pemuliaan ,  
"Clonal forestry memang bisa menghasilkan produksi yang fantastis, tetapi untuk hasil yang fantastis itu juga dibutuhkan energi yang fantastis"

Minggu, 31 Oktober 2010

Sekilas Tentang Clone di Hutan Tanaman Industri (HTI)

Gambar : Tegakan Clonal Eucalyptus hybrid di Colombia umur 5 tahun
Clone atau Klon sudah banyak yang mengetahui makna dan artinya. Dalam bidang ilmu peternakan, beberapa tahun lalu, dunia dihebohkan dengan keberhasilan  cloning domba (Dolly)  yang berhasil dikembangkan tanpa perkawinan dan domba itu  hidup dengan karakter, sifat, fisik dan gen yang persis sama dengan saudara “kembar-clonenya” .  Banyak pihak yang mendukung hasil penelitian ini, tetapi banyak juga yang menentang dengan berbagai alasan, misalnya aspek moral, etika dan nilai-nilai manusiawi. Yang menentang hasil penemuan ini kuatir bahwa sistem cloning bisa-bisa pada akhirnya akan dikembangkan untuk manusia. Dan akibatnya kita semua tau, kita akan menemukan dua atau lebih individu manusia yang mempunyai karakter, fisik, dan gen yang sama. Sungguh sesuatu yang aneh, mereka bukan saja mirip seperti manusia kembar, tetapi juga persis sama sifat-sifat, karakter, keinginan,  dan gennya. Bisa kita bayangkan, bagaimana kita membedakan mereka itu? Bagaimana kita menamai dan banyak hal yang belum terbayangkan dengan kehadiran mereka.

Clone, adalah hasil perkembangbiakan secara a-sexual (tanpa sexual) , atau tanpa adanya pertemuan sel kelamin jantan dan betina. Dalam ilmu tumbuhan disebutkan hasil perkembangbiakan secara vegetatif, sedangkan hasil perkembangbiakan secara sexual (perkawinan sel kelamin jantan dan betina) disebut dengan generatif.  Hasil perkembangbiakan tumbuhan secara generatif pasti sudah familiar dengan kehidupan sehari-hari yaitu biji. Apabila kita memakan kacang goreng, tidak lain, biji kacang itu adalah hasil perkembangbiakan generatif, dan tentunya yang paling sering kita makan adalah nasi yang berasal bari biji padi, kecambah (Touge) yang dihasilkan dari kacang hijau , dan biji wijen sebagai penikmat roti yang sering kita konsumsi. Biji biasanya dihasilkan dengan adanya perkawinan sel kelamin jantan yang berada di benang sari  (serbuk sari) dan sel kelamin betina (berada di putik) . Tentunya dengan adanya perkawinan itu maka jadilah biji yang dapat tumbuh menjadi individu baru, dan karena itu disebut berkembang biak.

Bagaimana dengan perkembangbiakan tanpa perkawinan (aseksual ) ? Perkembangbiakan tanpa perkawinan atau tanpa pertemuan sel kelamin jantan dan betina  seperti sudah disebutkan di atas disebut secara vegetatif. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk kegiatan vegetatif ini, misalnya dengan cara membuat stek atau cutting ( ini sudah sangat umum, misalnya penanaman ubi kayu dengan batangnya,  penanaman tanaman hias  seperti - asoka, anggrek, melati, kacapiring, dsb -  dengan pucuknya atau cabangnya). Teknik lain yang umum dilakukan adalah dengan okulasi (budding), yaitu menempelkan mata tunas satu pohon yang dikehendaki ke batang yang akan digunakan menjadi batang bawah (understump). Ini sudah banyak dilakukan pada tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, jambu , rambutan , dll. Hasil okulasi ini akan cepat berbuah karena mata tunasnya diambil dari pohon tua yang sudah berbuah dan sudah diketahui kualitasnya. Kita tidak perlu heran melihat mangga yang dihasilkan dari okulasi akan  berbuah cepat dan tinggi pohonnya hanya beberapa meter saja bahkan ada yang ditanam di dalam pot.  Teknik vegetetaive lainnya sudah banyak dikerjakan seperti menyambung (grafting), menyusui, cangkok (air layering atau marcoting) atau dengan menyusui dan  merunduk.  Semua perkembangbiakan dengan menggunakan organ tumbuhan seperti daun, batang, cabang, akar, anakan, pucuk , dll, dikelompokkan menjadi perkembangbiakan vegetative secara makro ( dalam bahasa Inggris disebut macro-propagation) .

Teknik perkembangan vegetative propagation juga sudah dilaksanakan bukan dengan cara mengembangbiakan organ tumbuhan seperti daun, batang, pucuk atau akar, tetapi dengan mengembangkan jaringan (tissue) seperti potongan daun atau potongan pucuk dan dikembangkan di laboratorium yang disebut dengan  dengan kultur jaringan (tissue culture). Teknik organogenesis yang mengembangkan sel-sel menjadi individu tanaman baru juga sudah diterapkan di laboratorium. Di laboratorium Tissue culture ini akan digunakan berbagai jenis hormon, vitamin, dan zat-zat kimia lainnya sehingga potongan kecil dari suatu tumbuhan dapat menghasilkan ribuan bahkan jutaan individu baru yang sama dengan induknya. Teknik tissue culture (kultur jaringan) sering juga disebut dengan perkembangbiakan vegetative secara mikro (micro-propagation) atau in-vitro.

Semua individu baru yang dikembangakan secara vegetative maka sifat-sifatnya akan sama persis dengan induknya dimana yang menjadi induknya adalah tumbuhan yang menjadi sumber organ atau jaringan itu diambil. Berbeda dengan perkembangbiakan secara generatif, maka sifat keturunan yang dihasilkan akan merupakan penggabungan sifat jantan dan betina.

Kita kembali ke permasalahan awal yaitu mengenai Clone.

Setelah penjabaran di atas, kita ketahui bahwa semua keturunan hasil vegetatif akan menyerupai induknya. Contoh, apabila kita mengokulasi pohon mangga yang berbuah sangat lebat, buahnya besar, daging buah berwarna  kuning keemasan, rasanya buah sangat manis, maka hasil okulasinya juga akan sama persis dengan sifat-sifat di atas dan sebaliknya apabila kita mengokulasi mangga yang berbuah kecil, daging buah berwarna pucat, rasanya sangat asam, dan buahnya kurang lebat, maka hasil okulasinya akan sama juga dengan sifat-sifat di atas.  Jadi apa hubungannya dengan Clone ? Clone didefinisikan sebagai hasil perkembangbiakan vegetatif yang telah terseleksi sifat-sifatnya .  Misalnya kita memiliki sebuah pohon Eucalyptus pellita yang tumbuh sangat cepat, kayunya bagus, tahan serangan hama penyakit utama , dan mampu tumbuh diberbagai kondisi tanah. Kita ingin semua HTI kita dapat ditanami dengan pohon seperti itu. Masalahnya pohon itu hanya satu batang saja. Untuk itulah kita akan mengembangbiakkan pohon tersebut menjadi ratusan bahkan jutaan individu baru sehingga kita memiliki HTI dalam luasan ratusan ribu hektar dengan pohon E.pellita yang sudah kita seleksi tadi. Tidak ada jalan lain, untuk menghasilkan banyak individu baru dari pohon tersebut, dan sama persis dengan pohon tersebut, kita harus mengembangbiakkannya secara vegetatif , misalnya dengan cara stek, tissue culture, atau metode yang lain. Tetapi karena kita akan mengembangkan individu dalam jumlah banyak, pilihan yang paling tepat adalah dengan teknik tissue culture dan stek (cutting).  Hasil perkembangbiakan (individu-individu baru )  dengan teknik perkembangbiakan vegetatif  (misalnya tissue culture atau cutting ) dari pohon tadi kita namai CLONE.

Identifikasi  Clone

Bagaimana caranya kita memberi identifikasi terhadap clone, contohnya pohon E.pellita yang sudah disebutkan di atas? Identifikasi clone biasanya dilakukan oleh pemilih  dan pengembang clone tersebut. Ada banyak teknik identifikasi clone, misalnya dengan pemberian nomor, contohnya EP101, atau CL001, atau teknik lain. Penamaan ini tidak ada panduan bakunya, sangat tergantung kepada organisasi atau lembaga yang menghasilkan klon. Di tanaman E.pellita  tadi misalnya bisa saja kita sebutkan dengan Euc01, Epc01, Klo01,  CE-001, dsb. Tetapi umumnya lembaga atau instansi yang menemukan klon akan membuat penomoran indetifikasi yang singkat, mudah diingat dan bermakna bagi organisasi tersebut.

Keuntungan  dan Kelemahan Sistem Clone

Keuntungan sistem clone dapat disebutkan sebagai berikut :
  1.          Menghasilkan tanaman yang seragam (homogen)
  2.          Dengan kondisi tanaman seragam (homogen)  maka produktivitas biasanya optimal
  3.            Dengan sifat genetik yang seragam mempermudah perlakuan budidaya lain, misalnya kebutuhan pupuk dan air yang seragam
  4.          Dengan pohon induk (pohon asal) yang diketahui sifat unggulnya, kita dapat merencanakan kualitas tanaman yang akan dibuat, misalnya cepat tumbuh, kayunya mengandung cellulosa tinggi, cabangnya sedikit, dsb

Sedangkan kelemahan dengan sistem clone adalah :
  1. Keragaman genetik sama sehingga apabila ada problem (misalnya serangan penyakit) maka sangat mudah menular ke individu lainnya
  2. Karena dikembangkan secara vegetative (misalnya) stek, maka struktur perakaran biasanya berbeda dengan sistem generatif (biji), dan beresiko dikembangkan pada daerah-daerah yang banyak angin kencang (biasanya lebih mudah roboh)
  3. Clone sangat berinteraksi kuat dengan kondisi lingkungannya, sehingga apabila kita tidak dapat memilih lokasi yang sesuai dengan kebutuhannya maka hasil pertumbuhan clone sangat mengecewakan
  4. Untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal dibutuhkan penanganan budidaya yang lebih intensif misalnya sarana pembibitan vegetative, pemupukan yang lebih intensif, dan pengendalian gulma serta hama penyakit yang intensif. 

Bagaimana mendapatkan Clone Unggulan di HTI?

Tentunya semua pihak yang bekerja di perusahaan HTI mengharapkan tanamannya tumbuh dengan cepat, produksi tinggi, seragam, kayunya sangat cocok dengan industri yang membutuhkan dan tahan terhadap gangguan hama penyakit.  Di perusahaan yang menaman HTI untuk memenuhi kebutuhan industri  pulp and paper umumnya syarat-syarat clone yang dibutuhkan adalah :
  •      Mudah dikembangbiakan pada skala operasional dengan teknik vegetatif (perakaran bagus, tunas bagus)
  •      Pertumbuhan sangat cepat dan tinggi (misalnya dapat dipanen umur 5 tahun dengan MAI > 50            m3/ha/thn)
  •        Berbatang lurus ( ini sangat mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Bercabang sedikit dan berukuran kecil ( juga mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Berkulit tipis ( berhubungan dengan tonase kayu berbanding volume)
  •        Batangnya sangat cilindris ( berhubungan dengan aspek pemanenan dan volume kayu)
  •       Memiliki kayu dengan kadar cellulosa yang tinggi (ini hubungannya dengan produksi serat atau fiber untuk pulp and paper) atau tingkat pulp yieldnya tinggi.
  •       Memiliki kadar lignin dan zat ekstraktif kayu yang rendah (ini hubungannya dengan rendemen kayu dan jumlah bahan kimia yang digunakan di pabrik)
  •       Tahan terhadap hama penyakit utama ( tentunya berhubungan dengan MAI)
  •       Dapat tumbuh baik diberbagai kondisi lahan/tapak ( berhubungan dengan keragamanan tapak/tanah yang dimiliki)
  •       Dapat tumbuh baik dalam kondisi iklim yang ekstrim ( berhubungan dengan kondisi iklim misalnya curah hujan, temperatur, ketinggian tempat dari permukaan laut, kelembaban, dsb)
  •        Respon terhadap berbagai  tindakan silvikulture (ini sangat berhubungan dengan MAI)

Tetapi apakah kita dapat menemukan clone yang memenuhi seluruh sifat-sifat di atas?
Jawabannya adalah memungkinkan , apabila kita menjalankan program PEMULIAAN POHON (TREE IMPROVEMENT) dengan baik dan berkesinambungan.

Menemukan clone dengan segudang sifat-sifat unggul bukanlah pekerjaan sederhana. Sangat jarang ditemukan clone  yang memiliki sifat-sifat sempurna seperti yang disebutkan di atas. Untuk memenuhi seluruh sifat tersebut kita harus melakukan pekerjaan breeding berulang-ulang dan membutuhkan waktu lama , sumber daya manusia yang handal, dan biaya yang sangat besar. Breeding adalah bidang tree improvement yang berhubungan dengan ilmu genetik dan teknik perkawinan tumbuhan untuk menghasilkan individu-individu  baru yang lebih unggul sesuai kehendak breeder (pelaksana breeding). Sungguh suatu karunia yang sangat besar (best lucky) apabila dalam satu putaran seleksi pohon kita langsung menemukan seluruh sifat-sifat tadi.

Siklus Breeding  untuk mendapatkan Clone di HTI

Untuk mendapatkan clone unggulan di HTI paling tidak dibutuhkan waktu untuk melakukan penelitian /kegiatan sebagai berikut :
  • Pengujian genetik induk pohon (disebut dengan Progeny Test)
  • Pemilihan pohon yang bergenetik unggul dari Progeny test (pohon plus)
  • Pengembangan pohon plus menjadi material clone dengan vegetatif
  • Pengujian clone diberbagai kondisi tapak (disebut dengan Clonal x site interaction test)
  • Pemilihan clone terbaik berdasarkan clonal test
  • Perbanyakan clone terbaik dengan vegetative
  • Penanaman clone terbaik di lapangan (skala semi komersial dan atau komersial)

Seluruh kegiatan itu bagaikan siklus yang berputar, karena salah satu saja tidak dapat dijalankan dengan baik, maka proses selanjutnya tidak dapat dilaksanakan.  Proses di atas sering digambarkan dengan lingkaran seperti di bawah ini :




Dari gambar di atas dapat kita lihat, bahwa untuk mendapatkan clone unggulan sampai ke tahap dibangunnya tanaman HTI dengan sistem clonal membutuhkan waktu paling tidak 10 tahun dari mulai dibangunnya sebuah plot uji genetik (progeny test ).  Progeny test adalah suatu test untuk menguji berbagai hasil perkembangbiakan generatif (biji) dari berbagai induk . Sekumpulan biji yang dihasilkan oleh suatu induk tumbuhan disebut dengan famili atau seedlot.  Banyak famili akan diuji dalam progeny test untuk menentukan nilai genetik dan pertumbuhannya (performance-nya ) atau menetukan nilai genetik dengan menggunakan phenotype sebagai parameternya. Dari uji inilah kita akan temukan plus tree -plus tree unggulan yang menjadi calon Clone.

Sangat banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan siklus clone tersebut seperti : Ilmu genetik, Ilmu statistik dan Desain Penelitian (termasuk genetic quantitative) , Ilmu Tanah dan Nutrisi, Ilmu Silviculture , Tanaman dan  Perbanyakan Tanaman (termasuk Bioteknologi , Tissue Culture dan Nursery/Pembibitan ), Ilmu kayu termasuk ilmu tentang Pulp and Paper, Biometrika, Ilmu Ekonomi dan Analisa Ekonomi, Ilmu Lingkungan (ekologi), Ilmu Gulma,  Hama dan Penyakit dan ilmu– ilmu lain yang berkaitan dalam pembangunan HTI misalnya ilmu tentang perpetaan (GIS), Administrasi, Data Management, Human Resources, Hukum/Legal, Logistik/Purchasing, dan sebagainya.

Bagaimanapun, Breeder yang bekerja untuk mendapatkan clone unggulan tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari seluruh pihak terkait agar siklus itu dapat berjalan dengan normal, terutama agar breeder dapat memenuhi target waktu yang ditentukan, karena gain (peningkatan) produktivitas yang dihasilkan clone merupakan fungsi dari Waktu (Time).


Konsekuensi Pertanaman HTI dengan sistem Clonal Forestry vs Benih

Telah dijelaskan di atas, bahwa keuntungan clonal dapat meningkatkan produktivitas tanaman HTI sehingga secara ekonomis akan lebih menguntungkan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kalau kita membangun HTI bukan dengan clone tetapi dengan menggunakan biji (benih) hasil perkembangbiakan generatif?

Tidak ada yang salah dengan benih, apabila benih yang kita gunakan juga telah masuk kriteria benih unggul. Masih sangat banyak perusahaan HTI di dunia yang menggunakan benih sebagai bahan pertanamannya dengan dengan berbagai pertimbangan seperti :
  • Pembuatan bibit dari benih relatif lebih murah daripada vegetative (cutting)/klon
  • Telah tersedia benih unggul dari Kebun Benih sendiri
  • Jenis tanaman yang dikembangkan sangat sulit untuk dikembangkan secara vegetatif
  • Belum ditemukan clone yang unggul atau clone masih dalam tahap pengujian
  • Terbatasnya skill dan knowledge staff  dalam mengembangkan clone
  • Terbatasnya dana untuk pengembangan clone
  • Menjaga keragaman genetik, karena keragaman genetik clone sangat sempit.
  • Dan lain-lain

Pertanaman dengan benih tentunya mempunyai konsekuensi bahwa keseragaman tanaman tidak akan sehomogen clone. Tanaman HTI yang dikembangbiakan dengan benih umumnya akan memiliki keragaman yang lebih besar dibanding HTI yang dikembangkan dengan sistem clone. Hal ini wajar dan jelas karena benih merupakan hasil perkawinan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina, sehingga sifat-sifatnya merupakan gabungan dari 2 induknya ( ½ bagian jantan dan ½ bagian betina), sedangkan clone 100% genetiknya adalah sama dengan sumbernya (Ortet).

Pertanaman HTI dengan clone memang memiliki konsekuensi sebagai berikut :
  1. Membutuhkan infrastruktur Nursery yang lebih lengkap dan lebih mahal dibanding dengan Nursery generatif/benih (misalnya harus ada Green house untuk  pohon pangkas -stool plants, harus ada rooting house yang dilengkapi sprinkler yang mengendalikan kelembaban, membutuhkan instalasi irigasi yang lebih kompleks )
  2. Membutuhkan penanganan intensif di Nursery misalnya sterilisasi single tube (container), sterilisasi media , sterilisasi pekerja, dan sterilisasi lokasi Nursery.
  3. Pertanaman dengan clone membutuhkan perencanaan yang lebih matang terutama untuk memadukan clone dengan lahan yang ada ( Site x Clone Interaction) . Clone sangat berinteraksi dengan kondisi lahan, sehingga salah penemapatan clone akan membuat hasil yang tidak sesuai dengan rencana. Hasil penelitian menunjukkan dengan jenis tanah yang berbeda maka clone   juga menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. 
  4. Clone membutuhkan tindakan silviculture yang lebih intensif, misalnya membutuhkan pemupukan yang lebih tinggi dan weeding yang lebih intensif . Kealpaan atau keterlambatan terhadap kegiatan pemiliharaan dapat berakibat sangat negatif terhadap pertumbuhan clone. 
  5. Clone membutuhkan monitoring serangan hama dan penyakit yang lebih intensif karena penularan suatu penyakit akan sangat cepat karena genetik clone seragam, termasuk penanganan di Nursery. 
  6. Membutuhkan tingkat pemahaman tentang clone  dan disiplin staff/ pekerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman dengan benih.  Disiplin maksudnya adalah ketaatan dalam mengikuti Standar Operating Procedure (SOP). 
  7. Membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar bagian yang lebih baik karena penanaman clone membutuhkan ketepatan dalam berbagai hal misalnya ketepatan lokasi, ketepatan waktu, ketepatan ukuran dan standar bahan seperti pupuk, herbisida, dsb

Bagaimanapun konsekuensi itu, apabila kita mau bekerja keras melaksanakan,  rasanya tidak akan menemukan kesulitan yang berarti dan hasil yang diperoleh dengan clonal forestry juga akan seimbang. Perusahaan-perusahaan HTI yang besar di dunia yang  mengembangkan clone Eucalyptus juga menghadapi konsenkuensi yang sama, dan mereka bisa berhasil. Perusahaan-perusahaan di Amerika Latin (seperti di Brazil, Argentina, Venezuela, Colombia, Chile, Uruguay, dsb) , Afrika Selatan , Austalia, Portugal, New Zealand , India, dan China sudah lama mengembangkan clonal forestry Eucalyptus dan Pinus menjadi andalannya.