Tampilkan postingan dengan label A.mangium. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label A.mangium. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2011

SEED STAND DAN SEED PRODUCTION AREA

Seperti dijelaskan sebelumya benih adalah salah satu sarana produksi terpenting dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Perbanyakan tanaman secara generatif pastilah menggunakan benih sebagai bahan pembuat bibit. Kualitas benih akan menentukan kualitas bibit dan  kualitas tanaman di lapangan.

Untuk menghasilkan benih , berbagai langkah harus ditempuh termasuk membangun tegakan benih (Seeed Stand ) dan Areal Produksi Benih (Seed Production Area). Langkah ini ditempuh pemulia untuk memenuhi kebutuhan operasional dalam waktu yang paling singkat.

A.              Seed Stand – SS

Metode pembangunan SS adalah sebagai berikut :

  1. Dari sekumpulan kompartmen tanaman yang seumur dibuat daftarnya dan dipilih kompartemen-kompartemen yang memiliki volume pertumbuhan terbaik. Umur tanaman yang layak diseleksi menjadi SS biasanya minimal  ½ daur + 1 tahun, jadi apabila perusahaan HTI memiliki daur tebang 6 tahun, maka tegakan yang layak diseleksi adalah tegakan-tegakan yang telah berumur (½ x 6 tahun)  + 1 tahun = 4 tahun ke atas. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa memang tegakan tersebut sudah memasuki phase growth rate yang relatif mendatar (atau MAI dan CAI nya sudah optimal).
  2. Dari daftar kompartment yang ada diseleksi berdasarkan rata-rata volume/ha atau MAI yang dihasilkan pada umur yang sama. Misalnya kompartmen A.mangium yang berumur 4 tahun  terseleksi sebanyak 50 kompartmen dan MAI rata-rata kompartemen berkisar antara 10 m3/ha/tahun sampai 35 m3/ha/tahun, maka dilakukan pengambilan keputusan bahwa kompartemen yang memiliki MAI 30 m3/ha/tahun ke atas yang layak dijadikan SS. Keputusan ini tergantung kepada kondisi lapangan dan keputusan pemulia pohon yang tentunya mempertimbangkan berbagai hal.
  3. Setelah beberapa kompartemen terpilih, maka diseleksi lagi berdasarkan aksesibilitas dan kondisi kompartemen. Lebih baik memilih kompartemen yang aksesibilitasnya mudah, topografinya relatif datar, phenotype pohon-pohon relatif seragam , penyebaran pohon di dalam kompartemen teratur dan seragam, dan tentunya pohon-pohon tersebut menghasilkan bunga.

Setelah diseleksi maka dibuat keputusan bahwa kompartemen tersebut dikonversi atau dijadikan SS . Team pemanen buah dapat melakukan pemanenan di kompartemen tersebut jika tegakan sudah menunjukkan pohon-pohon yang siap dipanen.

Keuntungan SS :
  1. Dengan cepat areal penghasil benih dapat dipilih dan diseleksi
  2. Pohon-pohon induk di dalam SS relatif sudah memiliki adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga diharapkan keturunannya (benih) juga sudah memiliki sifat yang mampu beradaptasi.

Kelemahan SS :
  1. Intensitas seleksi pohon induk rendah sehingga menghasilkan kualitas benih yang belum begitu baik.
  2. Biasanya pohon sudah memiliki tinggi yang cukup sulit untuk memanen buahnya
  3. Produksi benih per pohon relatif kecil karena tajuk pohon tidak optimal dan kerapatan pohon di dalam SS tidak mendukung masuknya cahaya matahari yang cukup untuk mendukung terjadinya pembuahan
  4. Perkawinan kerabat dan masuknya pollen (serbuk sari) dari tegakan lain sulit dihindarkan
  5. Biasanya pohon-pohon yang berada di pinggir jalan atau yang paling tepi dari kompartmen akan berbunga dan berbuah lebih lebat karena mendapat ruang dan cahaya matahari yang optimal.
  6. Seleksi hanya berdasarkan phenotype rata-rata, dan bukan berdasarkan nilai-nilai genetik , sehingga nilai heritabilitas tidak dapat dihitung.

Umumnya peningkatan kualitas tanaman dengan menggunakan benih dari SS  berkisar antara 1-5 % dibanding tetuanya.  SS  biasanya hanya digunakan secara temporari dan setelah ada kebun benih yang lebih baik SS kemudian akan ditebang untuk kebutuhan produksi kayu atau dipergunakan sebagai tegakan benih yang dipelihara untuk masa-masa yang akan datang.

Metode lain yang juga dapat diterapkan dalam membangun SS adalah dengan menggabungkan uji Provenance dengan Provenance Stand.  Metodenya adalah sebagai berikut :

  1. Pembangunan Provenance Test dilaksanakan dengan desain penelitian genetic test dengan menggunakan Provenance sebagai Treatment dan dibuat Ulangan (Replikasi) dan dicobakan dibeberapa lokasi yang berbeda. Misalnya diuji 12 provenance A.crassicarpa yang berasal dari Papua Irian, Papua New Guinea dan Queensland Australia.
  2. Bersamaan dengan uji provenance tersebut , masing-masing provenance dibangun lagi tegakan provenance (provenance stand) dalam skala operasional (produksi massal). Misalnya setiap provenance dibangun untuk setiap 1 atau lebih  kompartemen sesuai dengan ketersediaan benih .
  3. Pada saat uji provenanve memberikan hasilnya, maka provenance yang terbaik dipilih menjadi provenance yang layak menjadi SS sehingga masing-masing provenance stand dapat diseleksi apakah layak menjadi SS atau tidak.

Keuntungan metode ini adalah SS yang dibangun sudah lebih dibuktikan dengan adanya uji provenance  sehingga lebih menyakinkan bahwa SS ini menghasilkan benih-benih yang lebih mampu beradaptasi secara genetik.  Kelemahannya adalah diperlukan pembangunan plot penelitian Provenance Test dan benih masing-masing provenance dalam jumlah besar.

Untuk lebih jelasnya metode pembangunan SS tersebut digambarkan secara sederhana di bawah ini.






B.                 SEED PRODUCTION AREA - SPA

Pembangunan SPA sebenarnya hanya berbeda sedikit dengan pembangunan SS. Konsepnya tetap yaitu memanfaatkan tegakan operasional (tegakan produksi massal) yang pertumbuhannya melebihi kompartemen lainnya yang sejenis dan seumur pada suatu hamparan tanaman HTI.

Perbedaan SS dengan SPA terletak pada adanya penjarangan pohon-pohon inferior (jelek) pada tegakan/ kompartemen yang terpilih. Sehingga setelah suatu tegakan operasional dipilih dan ditentukan menjadi calon SPA, maka pada tegakan tersebut dilaksanakan pemilihan pohon-pohon yang akan ditinggal dan yang akan ditebang. Intensitas seleksi pada SPA ini sudah lebih baik dibanding SS, dengan mengurangi/menebang pohon-pohon yang penampilan phenotypenya jelek/buruk, maka di dalam SPA akan tersisa pohon-pohon yang berphenotype bagus. Selain itu metode penjarangan yang dilaksakan dilakukan dengan mempertimbangkan jarak antar pohon di dalam tegakan tersebut. Dengan pengaturan jarak antar pohon, maka pertumbuhan kanopi akan lebih optimal dan penjarangan juga memberikan peluang masuknya cahaya matahari ke seluruh bagian tajuk (kanopi) pohon-pohon yang ada.  Dengan demikian potensi pembungaan dan pembuahan masing-masing pohon akan semakin tinggi jika dibandingkan dengan pohon-pohon yang ada di dalam SS. Biasanya untuk tanaman fast growing species seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Gmelina arborea, Paraserinthes falcataria, Eucalyptus spp., kerapatan 200-300 pohon/ha sudah cukup baik untuk dipilih dalam membangun SPA. Jarak antar pohon rata-rata > 5 m.

Keuntungan SPA hampir sama dengan SS, hanya memiliki keunggulan tambahan yaitu induk yang dipelihara menjadi penghasil benih sudah menunjukkan phenotype yang lebih baik dan perkawinan antara pohon yang phenotypenya baik dengan yang phenotypenya jelek/buruk dapat dihindarkan.

Kelemahan SPA hampir sama juga dengan SS, dimana pohon induk yang tersisa di dalam SPA bukanlah hasil seleksi genotype sehingga keturunan-keturunannya belum dapat ditentukan nilai heritabilitasnya. Bagaimanapun dengan melakukan pemilihan pohon yang ditinggal dengan adanya penjarangan pohon-pohon inferior  kualitas benih yang diharapkan sudah lebih baik dibanding SS.  Kelemahan lainnya yaitu pada saat seleksi atau dibangunnya SPA ini, pohon sudah tinggi dan kesulitan utama terjadi pada saat akan melakukan pemanenan buah. Selain itu dalam membangun SPA ini biasanya ada stress tanaman setelah penjarangan dilaksanakan, tajuk mengalami kerusakan ketika penjarangan, dan juga mudah roboh karena angin.

Peningkatan kualitas tanaman dengan menggunakan SPA umumnya hampir sama dengan SS yaitu sekitar < 5% dibanding tetuanya. Walaupun demikian dengan membangun SPA, produksi benih untuk kebutuhan operasional HTI sudah dapat dicukupi dengan pengelolaan SPA yang lebih baik.

Untuk meningkatkan produksi benih per pohon dari SPA, dapat dilakukan usaha pemeliharaan tanaman secara rutin. Pengendalian gulma harus dilaksanakan karena biasanya setelah adanya penjarangan, maka lantai hutan yang terbuka dan dimasuki cahaya matahari akan merangsang pertumbuhan biji-biji gulma. Pemupukan dapat dilaksanakan terutama sebelum masa pembungaan dan sesudah masa pemanenan buah. Dosis dan jenis pupuk dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan jenis tanaman, kualitas tanah, dan iklim setempat. Yang utama pupuk N biasanya dibutuhkan pasca pemanenan dan NPK dibutuhkan untuk masa pembungaan.

Secara sederhana proses pembangunan SPA dapat dilihat pada skema di bawah ini.




PENUTUP

Kualitas benih dari SS dan SPA adalah kualitas terendah dari faktor genetik dan biasanya ini hanya ditempuh untuk kebutuhan jangka pendek. Untuk mendapatkan kualitas benih terbaik tidak ada jalan lain selain membangun Seedling Seed Orchard (SSO) dan Clonal Seed Orchard (CSO).

Sabtu, 30 Oktober 2010

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 6) - PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN

Setelah pembahasan tentang aspek kerapatan tanaman (jarak tanam) , maka saat ini saya coba sharing tentang aspek penanaman dan pemeliharaan tanaman di HTI.

Motto yang harusnya ditanamkan sejak awal adalah ‘Jangan Menanam Kalau Tidak Mau Memelihara” . Percuma kita menanam pohon di areal HTI apabila kita tidak melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan yang dimaksud sebenarnya hanya ada 3 kegiatan yaitu : Pengendalian Gulma, Pemupukan , Penunggalan Batang (Singling) dan Pengendalian Hama Penyakit.

Tetapi sebelum memasuki bahasan Pemeliharaan, akan saya coba memaparkan sedikit tentang penanaman. Kunci keberhasilan penanaman di areal HTI , terutama untuk jenis-jenis fast growing (seperti Acacia, Eucalyptus, Gmelina, Paraserianthes, dll)  ataupun slow growing (seperti Jati, Pinus, Mahoni, Meranti, Kapur, Jelutung, dll) adalah bibit yang sehat dan kondisi tanah saat penanaman. Bibit siap tanam sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya, diameter pangkal batang dan bebas hama penyakit merupakan syarat utama Bibit Siap Tanam (BST) . Diameter bibit berkorelasi positif dengan perakaran dan persen batang berkayu (mengandung lignin) pada bibit . Kondisi tanah saat penanaman sangat penting diperhatikan, terutama kelembaban (kandungan air tanah). Kondisi bibit yang ditumbuhkan di Pembibitan (nursery) mendapat asupan air dari penyiraman setiap hari, tetapi takkala bibit di tanam di lapangan, maka akar bibit yang harus segera menemukan air tanah agar bibit dapat tumbuh dengan baik. Pada masa inilah, bibit akan dihadapankan pada kondisi lapangan yang relatif sangat berbeda jauh dengan kondisi selama di pembibitan.

Kondisi air tanah, pada musim hujan mungkin tidak akan menjadi masalah pada saat penanaman. Tetapi hal itu juga tidak langsung menjamin bibit dapat tumbuh dengan baik apabila pelaksanaan penanaman tidak dilaksanakan dengan benar. Kesalahan yang sering terjadi pada saat penanaman adalah :
  • tidak melakukan penyiraman bibit sebelum di tanam
  • lubang tanam dangkal, yang menyebabkan tidak seluruh akar tertimbun baik oleh tanah, dapat juga mengakibatkan perakaran menjadi miring (tidak tegak lurus)
  • akar bibit tertekuk membentuk huruf J
  • lobang tanam ditutup dengan bongkahan-bongkahan tanah yang berukuran besar dan  menyebabkan adanya air pocket (kandung udara di dalam lobang tanam). Air pocket akan menyebabkan kondisi perakaran tidak bersentuhan langsung dengan partikel tanah dan menyebabkan kekeringan akar.
  • akar bibit bersentuhan langsung dengan pupuk dasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisis (terjadinya penyerapan air dari konsentrasi tinggi – pupuk – dari konsentrasi yang lebih rendah – air di dalam sel-sel akar).
  • Penimbunan bibit menggunakan partikel lain selain partikel tanah (misalnya seresah dedaunan/ranting-ranting, atau rerumputan). Hal ini akan mengakibatkan akar kesulitan mendapatkan pori-pori tanah yang mengandung air.
  • Terjadinya cekungan pada titik penanaman yang mengakibatkan tertampungnya air hujan dan menyebabkan kondisi perakaran dalam kondisi an-aerob ( kekurangan oksigen)

Banyak hal lain yang menyebabkan bibit tidak dapat tumbuh baik pasca penanaman.

Untuk penanaman dimusim kemarau (kering), seharusnya kita dapat melakukan pengecekan kondisi air tanah (kelembaban tanah). Atau agar lebih aman , keharusan menggunakan Water Retention Gel yang banyak diperdagangkan akan sangat membantu kesegaran bibit pasca penanaman di musim kering.

Pasca penanaman, hal yang harus kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan tingkat kemampuan hidup (Survival rate- SR) . Sebaiknya dilakukan 2-3 minggu pasca penanaman dan langsung melakukan penyulaman terhadap bibit-bibit yang mati. Tidak ada gunanya melakukan penyulaman setelah tanaman lebih dari 2 bulan sejak tanam , karena umumnya bibit sulaman itu tidak akan mempu mengejar ketertinggalannya, dan akhirnya akan tetap tumbuh tertekan.

Setelah bibit di tanam di lapangan, tindakan selanjutnya adalah melakukan pemeliharaan tanaman dengan tepat waktu dan tepat metode. Hal yang paling krusial dalam pemeliharaan tanaman umur < 12 bulan adalah Pengendalian Gulma dan Pemupukan Lanjutan.  Pengendalian Gulma seharusnya dilaksanakan sesegera mungkin takkala penutupan gulma di lapangan sudah > 30% . Hal ini akan mempermudah pengendalian gulma , menghemat biaya, menghemat tenaga kerja dan lebih memberikan kondisi lingkungan terbaik bagi pertumbuhan tanaman. Tidak ada patokan umur tanaman yang harus dikendalikan gulmanya , yang menjadi patokan adalah bagaimana menekan penutupan gulma serendah mungkin setiap saat sampai tajuk tanaman saling menutup. Sebenarnya, secara praktek di lapangan, tanaman fast growing seperti A.mangium, A.crassicarpa,  Eucalyptus spp. , Gmelina atau Sengon (Paraserianthes)  yang ditanam dengan jarak tanam 3x2 m (Kerapatan 1666 pohon/ha) atau 3x3 m (kerapatan 1111 pohon/.ha)  sudah akan mampu menutup tajuknya pada umur 6-8 bulan. Memang Eucalyptus lebih lama menutup tajuknya dibandingkan Acacia spp dan Gmelina , tetapi seharusnya jika penanaman dilaksanakan dengan benar, pemupukan lanjutan sesuai dosis dan waktu, maka rata-rata pada umur 8-10 bulan sudah menutup tajuknya. Penutupan tajuk ini adalah salah satu metode pengendalian gulma yang paling praktis, karena umumnya gulma akan tertekan pertumbuhannya karena kekurangan cahaya matahari.

Metode pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling sering dilakukan adalah buka piringan pada tanaman dibawah 3 bulan, tebas (slashing) menggunakan parang atau babat, atau dengan menggunakan herbisida. Inti dari pengendalian gulma adalah menekan pertumbuhan gulma sampai kondisi lingkungan terbaik untuk pertumbuhan tanaman. Semakin lama kita membiarkan gulma tumbuh maka kerugian yang ditimbulkan adalah :
  • gulma menjadi pesaing dalam penyerapan unsur hara dan air
  • gulma menjadi inang/tempat hidup berkembangnya  hama dan patogen
  • gulma mengeluarkan zat allelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanama pokok
  • gulma yang terlambat dikendalikan akan membentuk alat-alat perbanyakan yang semakin sulit untuk dikendalikan (misalnya gulma akan berbunga, membentuk akar rhizoma yang lebih banyak, dsb)
  • gulma menjalar (seperti mikania, liana, dll)  akan menutupi tajuk tanaman dan dapat mematikan tanaman
 Oleh karena itu, penekanan populasi gulma sampai tingkat terendah adalah konsep yang harus dilaksanakan di lapangan, agar tanaman dapat berkembang tumbuh sesuai yang diharapkan. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan gulma di lapangan sampai penutupan 50% selama 3 bulan sudah akan mengurangi tingkat pertumbuhan tanaman pokok rata-rata sebesar 30% dari yang seharusnya. Apabila tanaman pokok selama 12 bulan tanpa pengendalian gulma maka akan berkurang produktivitasnya hampir 60-70 % dari tingkat pertumbuhan yang seharusnya.

Setelah tanaman berumur 12 bulan, biasanya gulma di lantai hutan tanaman HTI fast growing sudah berkurang secara otomatis akibat penutupan tajuk. Walaupun demikian, pada berbagai kondisi lapangan, masih diperlukan pengendalian gulma yang disesuakan dengan kondisi lapangan, terutama apabila kerapatan gulma > 50% dan ditemukan gulma-gulma berbahaya seperti alang-alang dan mikania/liana.

Pemeliharaan tanaman selain pengendalian gulma adalah pemupukan lanjutan. Tentunya dosis, waktu pemupukan dan jenis pupuk lanjutan setiap tanaman berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan kondisi tapak penanamannya. Bagaimanapun, tanaman di bawah umur 12 bulan dipastikan membutuhkan pupuk susulan karena pada masa ini pertumbuhan vegetatif tanaman sangat cepat dan dipastikan membutuhkan unsur hara yang besar. Dosis , jenis dan waktu pemupukan seharusnya didasarkan kepada penelitian terpadu dan harus dipatuhi apabila sudah dituliskan di dalam Standar Operating Procedure (SOP). Waktu pemupukan yang paling tepat adalah ketika kondisi gulma pada level yang paling rendah.

Selain Pengendalian Gulma dan Pemupukan Lanjutan, pemeliharaan untuk tanaman HTI fast growing umumnya adalah kegiatan Singling (Penunggalan Batang) pada jenis Acacia spp. dan Monitoring Serangan Hama Penyakit.

Singling sangat penting dilaksanakan karena batang ganda (multistem) menimbulkan berbagai kerugian terutama multistem akan meningkatkan proporsi kayu juvenil yang tidak termanfaatkan dalam industri pulp . Selain itu multistem umumnya akan menyebabkan diameter batang lebih kecil yang secara langsung akan mempengaruhi besaran volume individu pohon.

Pengendalian Hama Penyakit umumnya dilaksanakan dengan Pengendalian Hama Penyakit Terpadu. Sebenarnya, dengan menyeleksi Bibit Siap Tanam dengan baik, melakukan penanaman dengan baik, melakukan pengendalian gulma dengan baik, melakukan singling dengan baik, melakukan pemupukan dengan baik.... sudah merupakan tindakan dalam Pengendalian Hama Penyakit Terpadu yang secara langsung memberikan kesehatan tanaman. Tanaman yang sehat secara otomatis akan mempunyai pertahanan diri terhadap serangan hama penyakit. Ada tulisan pakar hama penyakit yang saya ingat, katanya , ” tanaman yang kerdil mengeluarkan aroma yang disukai serangga dan patogen....., sementara tanaman yang sehat tidak akan disenangi serangga dan patogen....” . Walaupun demikian, pemantauan (monitoring) hama penyakit harus selalu dilaksanakan mulai saat di pembibitan  sampai pasca penanaman di lapangan. Monitoring ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi hama atau serangan patogen, sehingga pada saat berada pada level yang membahayakan dapat diambil tindakan dengan segera. (Mengenai Pengendalian Hama Penyakit akan disampaikan dalam tulisan lainnya)

Intinya , dari tulisan di atas....... menuju Tanaman HTI yang berproduktivitas tinggi membutuhkan persyaratan yang terpadu dan tidak boleh terputus-putus satu dengan yang lainnya............... MENAMAN dengan BAIK...... MEMELIHARA dengan BAIK..... dan hasilnya akan BAIK..........

Semoga Hutan Tanaman Industri di Indonesia akan berproduktivitas tinggi menuju Hutan Tanaman Lestari........... sesuai dengan harapan seluruh stakeholder-nya
Setelah pembahasan tentang aspek kerapatan tanaman (jarak tanam) , maka saat ini saya coba sharing tentang aspek penanaman dan pemeliharaan tanaman di HTI.

Motto yang harusnya ditanamkan sejak awal adalah ‘Jangan Menanam Kalau Tidak Mau Memelihara” . Percuma kita menanam pohon di areal HTI apabila kita tidak melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan yang dimaksud sebenarnya hanya ada 3 kegiatan yaitu : Pengendalian Gulma, Pemupukan , Penunggalan Batang (Singling) dan Pengendalian Hama Penyakit.

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 5) - PENANAMAN

Setelah bibit dibahas dalam tulisan sebelumnya, sekarang saya mencoba menuliskan tentang Lahan dan Penanaman. Lahan adalah modal utama dalam pembangunan HTI lestari. Karena tanpa pengelolaan lahan yang baik, maka kesuburan dan keberadaan lahan akan semakin turun nilainya. Dalam aspek Silviculture sebelumnya sudah dijelaskan, bahwa pada Lahan, ada hal yang utama yaitu memelihara top soil dan bahan organik tanah.

Untuk selanjutnya, pengelolaan Tegakan di atas Lahan menjadi point penting agar HTI dapat lestari. Sebenarnya tidak ada yang rumit dalam pembangunan tegakan HTI. Dalam pengelolaan tegakan ,: Pengaturan jarak tanam, penanamanyang baik , pemeliharaan intensif adalah kunci utama mendapatkan produktivitas HTI yang optimal.

Jarak tanam untuk fast growing untuk HTI pulp biasanya diatur berdasarkan bentuk tajuk (kanopi) pohon dan pola pertumbuhannya. Pola pertumbuhan yang dimaksud adalah tingkat kecepatan pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan yang mendatar. Biasanya, untuk tanaman Acacia, Eucalyptus, Gmelina, dan jenis fast growing lainnya yang diperuntukkan untuk kayu serat , jarak tanam yang terbaik untuk umur tebang 6-8 tahun adalah dengan kerapatan 1100-1800 pohon per hektar. Kerapatan pohon ini diatur kedalam jarak antar baris dan jarak antar pohon di dalam barisan. Pengaturan ini berkaitan dengan pengaturan penutupan lahan oleh kanopi pohon, pengaturan persaingan unsur hara, cahaya, air dan tentunya aspek teknik untuk kemudahan pemeliharaan dan pemanenan. Kerapatan 1100 pohon biasanya menggunakan jarak tanam 3x3 m atau 4x1.5 m , sedangkan jarak tanam untuk kerapatan lain biasanya menggunakan 3x2 m, 3.5 x 2 m atau 4 x 2 m . Jarak tanam biasanya dibuat dengan angka bulat dengan 0.5 m sebagai angka terkecilnya, semata-mata hal ini untuk kemudahan pembuatan jarak tanam di lapangan. Pekerja di lapangan akan lebih mudah membuat jarak tanam 3x3 m dari pada 2.9 x 3.43 m atau 2.8 x 3.55 m untuk mendapatkan kerapatan yang sama sebanyak 1100 pohon/ha.

Kadang ada pertanyaan, apakah tidak lebih baik menanam pohon dalam jumlah yang lebih banyak sehingga nanti pada saat dipanen dihasilkan volume kayu yang lebih banyak pula?

Jawaban atas pertanyaan itu tentunya harus dilengkapi dengan data potensi lahan untuk menghasilkan volume kayu dalam 1 daur yang ditentukan. Misalnya tegakan A.mangium di lahan ultisol di Kalimantan Timur umumnya mampu menghasilkan MAI (Mean Annual Increment) 30-35 m3/ha/tahun, atau pada saat panen umur 6 tahun akan dihasilkan sekitar 180 - 210 m3/ha. Apakah itu potensi lahan yang paling tinggi untuk umur 6 tahun A.mangium? Untuk menjawabnya perlu penelitian yang seksama menyangkut pola pertumbuhan A.mangium dan tingkat kesuburan (site quality) tempat tegakan tersebut ditanam. Belum lagi tentunya akan dikaitkan dengan potensial genetik A.mangium yang ditanam. Potensi genetik ini berkaitan kualitas genetik benih yang digunakan. Hal inilah yang dilakukan dalam penelitian Genetik seperti Provenance Test, Uji Provenance Interaksi Site Class, Uji Interaksi Kualitas Sumber benih dengan Site Class - (misalnya apakah bersumber dari tegakan benih, Kebun benih atau dari tegakan yang tidak jelas). Hasil penelitian di Kalimantan Timur menunjukkan , pada tapak yang sama, kelas kebun benih Clonal Seed Orchard (CSO) dapat menghasilkan volume 100-150% lebih tinggi dibanding benih dari Tegakan Benih (Seed Production Area). Bahkan efek provenance , dapat memberikan perbedaan produktivitas 50-150% antara provenance yang paling jelek dengan provenance yang terbaik.

Jadi, apakah kita perlu menanam jumlah pohon yang lebih banyak dalam satu hektar untuk mendapatkan volume kayu yang lebih tinggi? Jawabannya tidak mudah..... karena tergantung kepada banyak hal, misalnya site class, kualitas material genetik, dan tentunya tingkat intensifnya silviculture praktis yang dijalankan. Tidak ada satu faktor yang menentukan potensi tegakan, atau dengan kata lain, pengaturan jarak tanam bukanlah hal yang berdiri sendiri menentukan produktivitas tegakan di HTI.

Tetapi apakah penting mengatur jumlah pohon per hektar (atau jarak tanam) dalam program penanaman di HTI ? Jawabannya SANGAT PENTING.

Konsep Produktivitas lahan yang berkaitan dengan Produktivitas Tegakan sering diistilahkan dengan KONSEP KOTAK KOREK API. Artinya secara sederhana adalah , Kotak korek api sudah mempunyai volume (kapasitas) yang terbatas (maksimal). Apabila 1 kotak korek api berisi 200 batang anak korek api sehingga kotak korek api itu penuh, maka dapat disebutkan kapasitas kotak korek api itu adalah 200 anak korek api. Bagaimana apabila ukuran anak korek api dinaikkan atau diperbesar, maka angka 200 akan berkurang otomatis. Misalnya anak korek api normal mempunyai ukuran panjang x lebar x tinggi = 2x2x50 mm, maka sebanyak 200 anak korek api akan memenuhi 1 kotak korek api. Apabila ukuran panjang dan lebarnya dinaikkan menjadi 4x4 mm dengan panjang sama yaitu 50 mm maka otomatis jumlah anak korek korek api yang dibutuhkan untuk memenuhi 1 kotak adalah berkurang menjadi 50 anak korek api saja.

Artinya, Lahan mempunyai nilai produktivitas maksimal, dan pengaturan jumlah pohon/hektar mempunyai batasan yang maksimal juga untuk menghasilkan produktivitas tegakan. Tidak akan ada peningkatan volume produktivitas kotak korek api walau kita naikkan jumlah anak korek apinya melebihi 200 batang anak korek api. Kecuali ukuran anak korek api diperkecil......

Apa hubungannya dengan produktivitas tegakan di HTI?

Lahan juga mempunyai batas maksimal produktivitas (kemampuan lahan), pohon juga mempunyai batas pertumbuhan optimal............ sehingga Interaksi Kapasitas Lahan dan Pengaturan Jumlah Pohon untuk memanfaatkan Kapasitas Lahan adalah kunci mendapatkan Produktivitas Tegakan HTI yang optimal.....

Kalau mau menanam jumlah pohon sampai 4000 pohon/ha atau 5000 pohon / ha atau lebih ekstrim 10.000 pohon/ha..... maka bersiaplah mendapatkan Volume yang hampir sama dengan tegakan yang ditanami dengan jumlah 1100-1800 pohon/ha...... Mengapa?
Karena Hutan mempunyai mekanisme mengatur Produktivitas Maksimalnya.......... dia bagaikan kotak korek api ..........
Marah......... karena Produktivitas Kayu kecil? Atau karena KOtak korek apinya tidak besar?

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 4) - BIBIT

Kalau dalam tulisan sebelumnya, saya coba diskusikan tentang pemuliaan pohon (tree improvement), dan juga site management (soil), maka saat ini akan dicoba memaparkan peranan pengelolaan tegakan (

Kualitas bibit yang bagus bukan berdasarkan tinggi bibitnya, tetapi berdasarkan DIAMATER pangkal batangnya. Mengapa? Karena Diameter pangkal batang sangat berkorelasi positif dengan perakaran dan kandungan lignin batang bibit atau sering diistilahkan dengan batang berkayu. Banyak orang beranggapan semakin tinggi bibit maka semakin bagus... ternyata dari hasil berbagai percobaan dilapangan, tidaklah demikian adanya. Tetapi semakin besar diameter pangkal bibit, maka sudah terbukti, survival atau daya tumbuhnya semakin tinggi. DIAMETER PANGKAL BATANG dan Persen Batang Berkayu harusnya menjadi parameter utama dalam penentuan kualitas Bibit Siap Tanam..... kemudian dilanjutkan dengan jumlah daun dan kesehatan (ada tidaknya hama penyakit yang sudah merupakan standar wajib). Berapa diameter pangkal batang yang terbaik untuk bibit-bibit tanaman HTI fast growing seperti Acacia, Eucalyptus, Gmelina, Albizia, ...... umumnya pangkal batang yang lebih dari 4 mm adalah yang terbaik (catatan : umur bibit adalah 90-120 hari setelah tabur). Persen batang berkayu harus > 20%...... Semakin tinggi kandungan lignin batang, maka kekokohan batang bibit semakin baik, daya tumbuh semakin tinggi, dan kesehatan di lapangan semakin terjamin karena lebih mampu beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang ekstrim , misalnya terlalu panas (kemarau) atau banyak hujan.

Bukankah lebih bagus menanam bibit yang diameter pangkal batangnya besar dan bibitnya tinggi?

Tinggi bibit sangat dipengaruhi kerapatan bibit saat di pembibitan. Semakin rapat kondisi bibit di nursery, maka semakin tinggi bibit yang dihasilkan dan hasilnya umumnya apabila terlalu rapat, maka kualitas batang akan sukulen (lemah), dan tidak tahan dalam kondisi ekstrim di lapangan. Hal inilah yang mengharuskan adanya penjarangan bibit pada masa pembuatan bibit. Bibit yang ditanam di dalam polytube berukuran 50-80 ml sebaiknya dijarangi pada tingkat 200-250 bibit/m2, walaupun pada saat perkecambahan kondisi bibit dapat mencapai 400-450 bibit/m2. Penjarangan dilakukan pada saat tinggi bibit sudah mencapai tinggi rata-rata 5-7 cm. Dan setelah dijarangi, bibit sebaiknya segera dipupuk NPK agar pembentukan lignin dan perkembangan diameter terpacu. Hal ini karena sinar matahari sudah dapat mengenai seluruh organ-organ hijau bibit sehingga proses fotosisntesis berjalan cepat. Apabila penjarangan dilaksanakan tepat waktu, maka diameter bibit sangat mudah dikembangkan menjadi > 4 mm, dan batang berkayu dipastikan > 20% karena korelasi pembentukan diameter sangat kuat dengan perkembangan % batang berkayu dan pembentukan akar. Jadi DIAMETER berkembang, maka otomatis Batang berkayu akan naik dan akar pasti lebih berkembang lagi.

Maka selayaknya standar kualitas BST tanaman HTI fast growing seperti Acacia spp, Eucalyptus, Gmelina , Paraserianthes, dsb yang dikembangkan dalam Polytube 50-80 ml adalah :
1. Diameter pangkal batang > 4 mm
2. Persen batang berkayu > 20%
3. Jumlah helai daun > 5 helaian daun sempurna
4. Umur bibit < 120 hari

Saya yakin dengan 4 standar itu sudah memberikan KUALITAS BIBIT SIAP TANAM GRADE A+, karena dengan memenuhi itu maka paramater lain seperti tinggi bibit, perakaran, hama penyakit sudah pasti terpenuhi secara otomatis.........

Buktikan saja di Pembibitan dan di lapangan...

Itu dulu mengenai BIBIT............. hal yang sering disepelekan.... hal yang sering dianggap remeh, hal yang sering dianggap mudah............. padahal ILMU tentang pembibitan ini sangat banyak , dan membutuhkan dukungan ilmu lain seperti fisiologi tumbuhan, teknik sipil, teknologi benih, biokimia, matematika, pestisida, entomologi, phytopathology, ekologi, Hydrologi, klimatalogi, statistika, ekonomi, psikologi........ dll yang hanya dapat kita pelajari kalau kita mau..... mau..... mau..... (kalau tidak mau, ya nggak apa-apa juga, tapi pasti banyak orang yang mau mempelajarinya)...............