Tampilkan postingan dengan label uji genetik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label uji genetik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #4 : PEMBANGUNAN CLONAL TEST DAN SELEKSI CLONE)

Setelah mendapatkan material genetik vegetatif dari pohon plus dengan berbagai metode yang dapat dikembangkan seperti dijelaskan sebelumnya yaitu dengan menumbuhkan trubusan (sprout) pohon plus kemudian memperbanyaknya melalui stek (rooted cutting)  dan salah satunya juga dengan bantuan Tissue culture. Program pengembangan trubusan pohon plus dengan teknik tissue culture  hampir sama dengan proses pembuatan bibit dengan rooted cutting (stek), hanya di dalam Laboratorium Tissue culture proses perkembangbiakannya dengan teknik micropropagation seperti terlihat pada foto di bawah ini


Apapun cara yang ditempuh dalam mengembangbiakkan pohon plus secara vegetatif, intinya material vegetatif itu harus menghasilkan bibit yang seragan umur dan ukurannya sehingga layak digunakan sebagai material pembangun clonal test.

Pembangunan clonal test dapat dijalankan dengan sempurna jika jumlah bibit (ramet) masing-masing plus tree mencukupi untuk kebutuhan penelitian sesuai dengan desain penelitian. Seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, diperlukan sekitar 72 bibit (ramet) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal test dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD)  dengan jumlah replikasi 9 ulangan dan tree plot per replikasi adalah 12 pohon dalam bentuk square plot (persegi)  3 x 4 tanaman.  Sketsa RCBD untuk 50 klon dengan tree plot 12 pohon per replikasi dapat dilihat di bawah ini

Desain ini dilakukan jika jumlah bibit mencukupi, dan dapat dirubah sesuai dengan ketersediaan jumlah bibit, lahan dan  sumber daya lainnya yang mempengaruhi desain penelitian. Tetapi paling tidak untuk memenuhi kaidah statistika masing-masing klon memiliki minimal 36 bibit yang ditanam dalam 6 replikasi dengan tree plot 6 pohon/replikasi (dalam bentuk baris - row).   

Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) merupakan rancangan penelitian yang paling umum dilaksanakan untuk membangun Clonal Test. Permasalahan yang sering terjadi adalah keterbatasan material bibit uji dari pohon plus. Diperlukan ajusmen-ajusmen rancangan agar clonal test tetap terbangun terutama mengatur tree plot per klon per replikasi.  Jika jumlah bibit per klon terbatas, bisa juga dipilih rancangan acak lengkap berblok dengan single tree plot ( 1 bibit per replikasi) dengan jumlah replikasi minimal 30.

Jika jumlah bibit seluruh klon cukup tersedia banyak, maka rancangan penelitian dengan tree plot berbentuk square (misalnya 3 x 4 tree per replikasi) menjadi pilihan yang paling ideal untuk membangun clonal test.   Bentuk plotnya dibuat square (persegi)  agar diperoleh kondisi plot yang mirip dengan kondisi di lapangan nantinya jika klon tersebut dikembangkan sebagai klon komersil.

Clonal test yang dibangun juga harus multilokasi atau multisite seperti halnya progeny test multilokasi / multisite. Penentuan jumlah lokasi uji juga sama dengan klassifikasi pada uji progeny test (lihat tantangan #2 ) dan tidak akan dibahas lagi dalam bab ini.  Pada intinya clonal test juga akan menentukan GXE atau interaksi Genotype dan Environment  dan dalam analisa datanya akan menggunakan persamaan-persamaan statistik yang mirip dengan progeny test.

Pemeliharaan clonal test harus dilaksanakan secara intensif agar benar-benar faktor lingkungan termanupulasi dengan baik untuk memberikan potensi Gen klon dapat ditampilkan dengan sempurna. Pengendalian gulma dan pemupukan menjadi hal yang krusial dan uji clonal ini. Keseragaman kondisi lingkungan di dalam satu replikasi uji diharuskan semaksimal mungkin terjaga agar semua klon yang diuji mendapat perlakuan silviculture yang sama . Kita menginginkan semua klon dapat menunjukkan potensinya dan akhirnya kita bisa memilih atau menyeleksi klon terbaik dengan sangat fair (adil).

Sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan clonal test ini hampir sama dengan pembangunan progeny test. Untuk membangun 100 clon dalam clonal test dengan 3 lokasi akan diperlukan dana seperti terlihat pada Tabel di bawah ini:


Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun Clonal test 100 klon dengan 3 lokasi dan dengan Rancangan penelitian menggunakan RCBD , 6 replikasi dan 12 tree plot / replikasi, maka dibutuhkan dana sekitar  1 milyar rupiah atau USD 113.000,- sampai clone diseleksi/dipilih.

Seleksi clon yang dilakukan tentunya berdasarkan karakter phenotype yang diharapkan oleh breeder dan tentunya disesuaikan dengan tujuan pembangunan clonal test. Untuk masing-masing industri perkayuan , syarat-syarat karakteristik yang dibutuhkan juga berbeda misalnya untuk industri pulp and paper biasanya dicari klon-klon yang memiliki syarat :
-          cepat tumbuh
-          produktivitas volume kayu  tinggi
-          pulp yield tinggi (mencakup basic density dan pulp yield)
-          zat esktraktif kayu yang rendah
-          kelurusan batang bagus
-          Percabangan sedikit dan kecil
-          Ketahanan terhadap hama penyakit utama baik

Sementara untuk kayu pertukangan selain cepat tumbuh, produktivitas volume tinggi , kelurusan batang , percabangan sedikit dan kecil, serta ketahanan hama penyakit , biasanya juga melihat aspek silindrisnya batang , pola serat kayu dan sifat-sifat fisika kayu lainnya.

Pemilihan klon terbaik di atas juga harus mempertimbangkan kemudahan clon yang diseleksi untuk dikembangbiakan secara vegetatif dalam skala massal (misalnya dengan stek -  rooted cutting – atau kultur jaringan/ tissue culture) . Syarat-syarat vegetatif propagation yang sangat penting dipertimbangkan adalah rooting ability (persentasi kemampuan berakar) dan kemampuan menumbuhkan trubusan (shoot) dari klon tersebut di Nursery.  Sangatlah penting untuk memilih klon yang sesuai dengan kebutuhan operasional secara massal karena pembangunan clonal forestry tujuannya ada pada skala operasional , bukan pada skala penelitian.

Setelah pemilihan the best clones (klon-klon terbaik) maka langkah selanjutnya adalah bagaimana dengan sesegera mungkin mengembangkan klon-klon itu pada skala operasional (produksi massa). Hal ini membutuhkan strategi yang hampir sama ketika kita menemukan pohon plus pada progeny test dan harus sesegera mungkin menghasilkan material vegetatifnya untuk membangun progeny test.  Untuk ini ada beberapa strategi yang harus dilaksanakan yaitu :

  1. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material stek (rooted cutting) untuk membangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil) . Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.
  2. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material  eksplant di tissue culture (kultur jaringan) . Hasil eksplant tersebut kemudian dapat dijadikan bahan pembangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil). Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.


Kedua strategi tersebut dapat digambarkan pada skema di bawah ini :

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test dan membuatnya menjadi kebun pangkas (hedge orchard)

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test untuk dikembangkan di dalam Lab . Tissue culture dan plantlet dari Lab Tissue culture dipergunakan membangun kebun pangkas (hedge orchard) dan hasil kebun pangkas dijadikan material rooted cutting. Bisa juga hasil dari Lab . Tissue culture dimanfaatkan langsung sebagai material bibit membangun tanaman operasional

Kedua strategy di atas mempunyai kelemahan dan keuntungan masing-masing dan keputusan untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan dalam pembangunan clonal forestry sangat tergantung kepada kondisi lembaga/instansi yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut.

Perbedaan  untuk menjalankan Strategi 1 dan 2 di atas dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :

Keberadaan Lab. Tissue culture untuk bidang kehutanan saat ini sudah berkembang sangat pesat terutama untuk mendukung program clonal forestry Eucalyptus . Sudah sangat umum perusahaan-perusahaan atau lembaga penelitian kehutanan yang menjalankan clonal forestry memiliki laboratorium Tissue culture sebagai infrastruktur standar yang harus dimiliki karena dengan teknologi kultur jaringan program clonal frestry dapat dijalankan lebih cepat dan secara kuantitatif hasil bibit yang dihasilkan dapat berjumlah lebih besar.  Walaupun tentunya diperlukan dana dan sumber daya yang lebih besar untuk pengadaan bangunan Laboratorium serta pekerja yang menjalankan Laboratorium tersebut.

Pembangunan clonal test, pemilihan clone dan pengembangbiakan clone yang terpilih dan terseleksi menjadi sebuah tahapan penting dalam mencapai pembangunan Clonal forestry Eucalyptus. Tahapan demi tahapan harus dijalankan dengan serius dan konsisten karena proses yang berhenti pada suatu phase dapat mengakibatkan program clonal forestry kembali ke titik nol.

Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS ( TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK )


Tegakan Clonal Euclyptus hybrid di Colombia
Tak dapat dipungkiri, clonal forestry Eucalyptus spp. sudah menjadi benchmark pembangunan Hutan Tanaman di berbagai negara terutama negara-negara di Amerika Latin , Asia , Australia , Afrika bahkan beberapa negara di Eropa.  Ini karena sudah jelas, clonal forestry Eucalyptus telah menunjukkan produktivitasnya yang sangat tinggi . Di berbagai negara  bahkan clonal forestry Eucalyptus spp.  mampu mencapai MAI 50-60 m3/ha/tahun atau dapat menghasilkan MAI ADT (Air Dry Ton)  Pulp > 10 ton/ha.  Brazil sebagai negara yang dinyatakan sebagai “kiblat” clonal forestry bahkan menyebutkan bahwa di beberapa plot penelitian ada clone yang menghasilkan MAI > 70 m3/ha/tahun atau MAI ADT > 12 ton/ha.

Walaupun demikian, tentunya pencapaian produktivitas kayu yang dihasilkan dari clonal forestry tersebut tidak begitu saja diperoleh. Sangat banyak usaha yang dilakukan, dan tentunya membutuhkan modal yang besar dan waktu yang tidak singkat. Selain itu tentunya konsistensi melakukan pemuliaan pohon (Tree improvement)  tetap menjadi modal utama penemuan klon-klon unggulan yang memiliki sifat-sifat genetik yang diharapkan.

Berbagai tantangan dalam pengembangan clonal forestry akan coba dijelaskan dalam beberapa seri tulisan di bawah ini.

TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK

Tidak ada clone unggulan tanpa tersedianya material genetik yang cukup untuk diseleksi . Material genetik yang dimaksud adalah beragamnya material genetik yang diuji dalam uji keturunan (Progeny Test) sebagai lokasi pemilihan plus tree (Pohon plus) yang menjadi bakal clone.  Tersedianya genetic base yang luas akan memberikan kesempatan kepada pemulia pohon (tree breeder) untuk mendapatkan material-material yang lebih atau plus.

Brazil mengembangkan clonal Eucalyptus-nya dengan mendatangkan material genetik E. urophylla (yang tumbuh alami di Indonesia) dan E. grandis yang tumbuh alami di Australia. Program pemuliaan yang dimulai sejak tahun 1960-an terhadap kedua jenis Eucalyptus itu telah memberikan hasil yang fantastis sampai sekarang dengan kegiatan hybridisasi (perkawinan silang) antara E.urophylla x E.grandis dan menghasilkan E.urograndis yang menjadi andalan Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Mexico, Uruguay, Colombia, Venezuela, Argentina, Chile, dsb. Ratusan benih individu pohon E.urophylla dan E.grandis dikembangkan untuk mendapatkan family-family (seedlot) yang tumbuh cepat dan memiliki sifat kayu yang sesuai dengan industri yang dikembangkan.  Dalam beberapa literatur disebutkan untuk melaksanakan breeding suatu species, paling tidak dibutuhkan 300 individu pohon dari hutan alam (berupa benih) dan tentunya dari berbagai provenance. Benih dari 300 pohon (individu) tersebut dapat ditanam dalam berbagai lokasi atau multisite dan dapat dijalankan dalam beberapa tahun sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Program pembangunan Genetic base (populasi dasar) sebanyak 300 individu dari hutan alam tersebut dapat disusun dalam strategy sebagai berikut : 

Skema singkat pembangunan Base Population Eucalyptus untuk mengembangkan Clonal forestry
 Dari skema di atas dapat diketahui bahwa pembangunan Genetic Base (Populasi Dasar) untuk kegiatan pemuliaan membutuhkan sumber daya yang terus menerus sejak tahun pertama sampai tahun ke 6 dan tahun-tahun selanjutnya. 

Perkiraan sumber daya untuk mengerjakan pekerjaan di dalam skema di atas untuk 1 set penelitian Progeny Test (50 family) dapat digambarkan dalam Tabel di bawah ini :

Tabel Perkiraan Biaya Pembangunan Base Population 50 family

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun genetic base (populasi dasar) sebanyak 50 family dibutuhkan dana sekitar Rp.630 .500.000,- atau jika di kurskan dengan 1 USD = Rp. 9500, maka akan dibutuhkan dana kurang lebih USD 66.000 .  Atau jika akan membangun genetic base sebanyak 300 family akan dibutuhkan sekitar Rp. 3.7 milyar atau sekitar USD 379.000,- . Tentunya ini dana yang cukup besar bagi lembaga yang akan melakukan clonal forestry Eucalyptus.

Hal di atas merupakan tantangan dalam membangun genetic base jika kita akan melaksanakan Clonal forestry. Ketersediaan genetic base tidak dapat diabaikan, karena dari genetic base inilah peluang – peluang untuk mendapatkan clone unggulan dapat diperoleh.  Masalah lainnya adalah walaupun dana dan sumber daya manusia tersedia , belum tentu plus tree yang dihasilkan sesuai dengan keinginan lembaga yang menjalankannya.  Plus tree bisa saja tidak diperoleh dalam satu rangkaian progeny test yang dijalankan karena plus tree sangat dipengaruhi oleh interaksi Genetik benih yang ditanam dengan lingkungan dimana benih itu di tanam dan hal ini sangat bersifat alami dan sulit dikendalikan manusia .
. 
Tantangan lainnya adalah belum tentu kita mendapatkan material genetik di hutan alam yang direncanakan sebelumnya karena keberadaan material genetik di hutan alam sangat tergantung kepada tingkat konservasi populasi pohon yang kita rencanakan untuk diclonalkan.  Populasi pohon E. urophylla, E.pellita dan E.deglupta di berbagai provenance sudah dinyatakan dalam kondisi sangat berbahaya karena berbagai tekanan yang terjadi seperti penebangan liar (illegal loging), perubahan fungsi hutan menjadi berbagai keperluan seperti perladangan, perumahan, perkebunan, infrastruktur, dsb. Selain itu kondisi tekanan alam seperti letusan gunung berapi juga menjadi salah satu resiko yang dapat menghilangkan genetik material di hutan alam seperti halnya di Gunung Egon dan  Gunung Lewotobi di Pulau Flores yang sering sekali meletus , padahal kedua gunung itu merupakan tempat tumbuh alami E.urophylla .  Tentunya letusan gunung ini akan mempengaruhi keberadaan populasi E.urophylla di wilayah tersebut.

Bagaimanapun tantangan untuk mendapatkan material genetik untuk pembangunan Genetic base sebagai langkah awal mengembangkan clonal forestry semakin kompleks misalnya dengan kompetensi sumberdaya manusia pelaksana kegiatan Breeding. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan program breeding yang baik, hasrat/keinginan meneliti dalam jangka lama , keterampilan membangun plot-plot genetik test (seperti Progeny Test) serta analisa datanya  dan tentunya  keterampilan silviculture teknis. Sekarang ini semakin sulit untuk mendapatkan sarjana kehutanan atau pertanian yang menyukai pekerjaan – pekerjaan lapangan dan siap bekerja lama meneliti tanaman kehutanan yang berumur panjang, selain itu walaupun siap bekerja dibidang pemuliaan maka diperlukan semangat dan kerja keras untuk belajar tentang berbagai ilmu secara terus menerus karena bidang pemuliaan pohon terus berkembang.  

Selain tantangan yang sudah disebutkan di atas tantangan lain adalah komitmen lembaga/perusahaan untuk menjalankan clonal forestry dengan sebaik-baiknya. Banyak pemilik modal yang kurang memahami bahwa menjalankan clonal forestry itu dibutuhkan keterampilan – keterampilan khusus, bukan sekedar memilih pohon , mengembangkan secara vegetatif dan panen clonal . Pemahaman tentang flow proses pemilihan clonal , pembangunan clonal forestry serta  konsekuensi-konsekuensinya harus dipelajari dan dipahami pemilik modal dan tenaga administratif yang terkait agar diperoleh dukungan yang cukup , karena dengan dukungan yang tidak maksimal program clonal forestry bisa saja sekedar wacana atau menemukan kegagalan ketika dijalankan.