Tampilkan postingan dengan label Produktivitas hutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Produktivitas hutan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juni 2012

Clonal Forestry


Sumber: http://thesecondgreenrevolution.blogspot.com

Clonal Forestry atau sering diterjemahkan menjadi Perhutanan Klonal adalah sistem pembangunan suatu hutan tanaman dengan menggunakan klon. Seperti diketahui klon adalah material genetik yang terseleksi dan dikembangbiakan secara vegetatif (asexsual). Metode vegetatif yang paling umum dilaksanakan dalam pembangunan Clonal Forestry adalah dengan teknik Rooted cutting ( stek) baik itu mini cutting atau macro cuttingMini cutting adalah material vegetatif tanaman yang terdiri dari pucuk tanaman dan beberapa lembar daun di bawah pucuk tanaman yang diperoleh clonal hedges (kebun pangkas clonal), sementara macro cutting umumnya tanpa menggunakan pucuk tetapi hanya menggunakan beberapa lembar daun yang dipotong sebagian.

Dalam merencanakan pembangunan tanaman kehutanan dengan sistem clonal forestry, ada beberapa syarat yang menjadi kunci suksesnya yaitu :

1. Material Clonal

Material clonal yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan peruntukan kayu hutan tanaman tersebut. Misalnya untuk industri pulp and paper, maka syarat wood properties (sifat kayu) nya harus memenuhi density, panjang serat, jumlah serat, warna, kandungan lignin, kandungan selulosa, dan syarat lain yang disesuaiakan dengan proses pembuatan pulpnya.  Klon yang dikembangkan tentunya juga harus mudah diperbanyak secara vegetatif, karena percuma saja mendapatkan Klon yang bagus tetapi sulit untuk dikembangbiakan secara massal. Syarat Klon yang umum adalah :
-  Pertumbuhan cepat dan tinggi
-  Mudah dikembangbiakkan secara massal
-  Respon terhadap pemupukan
-  Optimal dalam ketahanan terhadap hama penyakit penting
-  Mempunyai wood properties yang sesuai dengan industri yang membutuhkannya

2. Interaksi  Clon x Site ( Klon x Tapak)

Klon biasanya sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, karena bagaimanapun klon diseleksi berdasarkan interkasinya dengan lingkungan, atau sering disebut dengan P = G + E , dimana interaksi Genotype (klon) dengan Environment (Lingkungan) akan menghasilkan Phenotype (Performance, Production, Phenotype). Sangat jarang ditemukan klon yang mampu berinteraksi dengan baik dengan semua kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Misalnya klon-klon di daerah sub tropis sangat sulit tumbuh baik di daerah tropis, atau klon-klon yang unggul di daerah dengan elevasi > 1500 m d.p.l akan sulit beradaptasi dengan daerah dengan elevasi 100-200 m d.p.l misalnya. Atau klon-klon yang terseleksi di daerah dengan kandungan hara tinggi, kemungkinan tidak dapat optimal pada wilayah dengan kandungan hara yang rendah. Perencanaan Clonal forestry harus melibatkan perencanaan tapak (site) dan lingkungan pertanaman yang ada dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rangkaian perencanaan operasional lainnya seperti sumber daya manusia, sarana prasarana, budget, alat dan bahan, dsb.  Tanpa interkasi yang cocok (sesuai) antara Klon x Tapak-nya , maka performance (produksi) klon yang dihasilkan bisa meleset jauh dari perkiraan.

3. Perbanyakan Klon (Clonal Propagation atau Clonal Deployment)

Bagaimanapun untuk mengembangan Clonal Forestry akan berhubungan dengan bagaimana menghasilkan bibit-bibit vegetative dari Klon yang terseleksi. Percuma saja kita memiliki klon-klon yang terseleksi dengan baik, sudah memenuhi syarat industri dan memenuhi syarat - syarat klon , tetapi ternyata sangat sulit dikembangbiakkan (propagasi). Tugas utama Tree Improvement pada saat setelah selesai melakukan seleksi material genetik yang unggul adalah bagaimana memperbanyak (deployment) material genetik itu. Tanpa perbanyakan, maka material genetik yang diseleksi dan unggul itu hanyalah berupa catatan atau pajangan di lapangan. Harus ada standar kesuksesan clonal deployment ketika suatu material genetik layak dikatakan sebagai klon untuk skala produksi. Perbanyakan klon  ini akan menyangkut rooting ability (kemampuan menghasilkan akar) dan shoot ability (kemampuan menghasilkan trubusan). Pohon unggulan (pohon plus) atau klon yang telah diseleksi dalam Clonal test harus segera diuji kemampuan untuk menghasilkan shoot dan root (tunas dan akar), baik itu dengan metode micro propagation (perbanyakan mikro seperti tissue culture - kultur jaringan) atau macro propagation ( cutting atau stek). Percuma saja merencanaan Clonal forestry jika kemampuan menghasilkan shoot dan root clonal yang dipilih ternyata tidak layak secara operasional massal.  Hal ini akan berkaitan dengan kemampuan operasional menghasilkan bibit untuk kebutuhan penanaman di lapangan. 

Tentunya sangat banyak sarana prasarana yang dibutuhkan dalam menjalankan Clonal Forestry. Selain ketersediaan material genetik (klon) unggul, tentunya tidak akan lepas dari sarana prasarana penunjang untuk mengembangkan klon itu misalnya Laboratorium Tissue culture;  Pembibitan Vegetatif yang mengharuskan berbagai syarat terutama syarat pengaturan kelembaban dan suhu udara serta tersedianya sarana sterilisasi alat dan bahan ;  Kebun Pangkas (hedges orchard)  yang kemungkinan akan membutuhkan sarana Green House (rumah kaca), sarana penyiraman, pemupukan, perawatan tanaman, dsb. Selain itu untuk menghasilkan interaksi yang baik dengan lingkungan (Tapak) nya, maka sarana prasarana penunjang seperti peta tanah, data kandungan dan perubahan unsur hara tanah, data perkembangan hama penyakit, data perubahan cuaca misalnya curah hujan, angin, suhu udara dan kelembaban udara akan sangat dibutuhkan dalam perencanaan Clonal Forestry. 



Nursery Clonal Eucalyptus di salah satu perusahaan di Brazil (Sumber: http://www.actforclimatejustice.org/)


4. Aspek Ekonomi Clonal Forestry

Hasil clonal forestry tentunya adalah produktivitas tanaman kehutanan yang optimal. Dengan keseragaman produk yang tinggi, maka salah satu nilai yang dapat dicapai dengan clonal forestry adalah nilai ekonomis yang tinggi. Sudah sangat umum diketahui bahwa tegakan Eucalyptus clon di negara Brazil rata-rata dapat mencapai 45 m3/ha/tahun atau dengan masa panen 5-6 tahun akan menghasilkan rata-rata 225-270 m3/ha, dan jika kita bandingkan dengan tegakan yang bukan berasal dari klon yang rata-ratanya bisa mencapai 25m3/ha/tahun atau 125-150 m3/ha pada panen 5-6 tahun, maka produk clonal forestry berbeda sekitar 100% dibandingkan dengan yang non clonal .  Tetapi hendaknya kita jangan terpana dengan angka-angka produksi pada saat panen tersebut. Hasil clonal forestry dapat lebih tinggi karena investasi atau modal yang ditanamkan juga lebih tinggi dibanding yang non-clonal. Bagaimana perbandingan cost (biaya) produksinya harus benar-benar dihitung dan dianalisa dengan baik sebelum memutuskan operasional clonal forestry. Clonal forestry membutuhkan sarana prasarana yang lebih kompleks, sumber daya manusia yang lebih disiplin dan kompetensinya lebih tinggi, serta tentunya manajemen silviculture yang lebih detil dan ketat. Kita tidak akan menghasilkan produksi klon Eucalyptus setinggi  MAI 45m3/ha/tahun jika tingkat disiplin teknik silviculture kita masih sama dengan pembuatan tegakan dengan non klonal (benih) dan pengetahuan tentang sifat-sifat klon yang kita tangani akan sangat spesifik untuk masing-masing klon sehingga membutuhkan kompetensi Sumber daya manusia yang lebih optimal.

Clonal forestry memang menunjukkan hasil yang fantastis di berbagai negara yang telah mengembangkannya seperti Eucalyptus clonal forestry di Brazil, Chile, Argentina, Uruguay, Afrika Selatan, Australia, atau clonal Pinus spp di Brazil, Amerika Serikat, Chile, Argentina, Afrika Selatan, Australia, New Zealand, dsb. Tetapi keberhasilan clonal forestry di negara-negara itu tentunya sangat didukung oleh sarana parasana yang lengkap dan tentunya keseriusan sumberdaya dan manajemennya menjalankan clonal forestry dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan silvicultur dan lainnya.


Harvesting Eucalyptus clonal (Sumber:thesecondgreenrevolution.blogspot.com)



Seperti kata seorang professor bidang pemuliaan ,  
"Clonal forestry memang bisa menghasilkan produksi yang fantastis, tetapi untuk hasil yang fantastis itu juga dibutuhkan energi yang fantastis"

Sabtu, 30 Oktober 2010

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 8) - MANAJEMEN TEGAKAN

Tegakan Hutan Tanaman tersusun oleh pohon-pohon yang tumbuh sejak awal di tanam, dipelihara sampai siap panen. Biasanya untuk tanaman HTI fast growing yang diperuntukkan untuk kayu bahan baku serpih (BBS) , pemeliharaan pemupukan dan pengendalian gulma hanya dilaksanakan sampai di bawah 24 bulan sejak tanam. Sementara untuk HTI kayu pertukangan (mechanical wood) , pengelolaan tegakan akan dilanjutkan dengan perlakuan pruning (pemangkasan) dan thinning (penjarangan).

Penjarangan dan Pemangkasan (Thinning dan Pruning) pada HTI yang diperuntukkan menjadi kayu pertukangan sangat menjadi krusial karena tindakan ini yang akan menentukan kualitas batang (log) yang akan dipanen. Diharapkan pada saat panen akan diperoleh Log-log berdiameter besar, tinggi bebas cabang maksimal, dan tentunya kualitas kayunya yang optimal. Permasalahan mata kayu (knot) akan menjadi perhatian dalam pengelolaan tegakan kayu pertukangan. Teknologi pruning dan thinning berkembang sedemikian rupa , sehingga diperoleh produktivitas tegakan yang maksimal telah dipelajari negara-negara penghasil kayu pertukangan dari HTI seperti Amerika, Amerika Latin, Australia, Eropa dan beberapa negara Asia . Species yang dikembangkan untuk kayu pertukangan juga relatif berbeda dengan HTI yang diperuntukkan untuk kayu BBS. Di Indonesia , perusahaan PERHUTANI di Jawa sudah mengetahui pola silviculture kayu pertukangan untuk jenis Jati  (Tectona grandis) , Mahoni (Swietenia sp.), Gmelina arborea, Pinus merkusii, dan Sengon (Paraserianthes falcataria)  dan beberapa species lain seperti Dalbergia, Cassia seamea, Khaya , Melia, Anthocephalus spp. dsb.  Umumnya daur panen kayu pertukangan juga bervariasi berdasarkan speciesnya, untuk species fast growing seperti Sengon dan Gmelina, masa daur panen adalah > 10 tahun, sedangkan untuk species slow growing seperti Jati, Mahoni dan Pinus biasanya malah > 30 tahun.  Beberapa species lokal di Amerika , Eropa dan Australia malah mempunyai daur panen antara > 40 tahun misalnya Picea sp. , Abies sp., Populus sp, Araucaria sp, Pseudotsuga sp, dsb.

Foto: Tegakan Eucalyptus clone umur 5 tahun dengan MAI 45 m3/ha/tahun

Mengapa untuk kayu BBS jarang (bahkan tidak pernah) dilaksanakan kegiatan Pruning dan Thinning?  Semata-mata alasan yang dapat diajukan adalah karena masa panen (daur) tanaman yang diperuntukkan untuk BBS adalah pendek ( 6-8 tahun,  kegiatan pruning serta thinning itu berbiaya mahal, dan efek dari pruning dan thinning terhadap kayu BBS yang berumur 6-8 tahun tidak akan optimal . Efek perlakuan thinning dan pruning yang paling utama adalah peningkatan KUALITAS INDIVIDU pohon, terutama diameter batang yang memang menjadi syarat utama dalam pembuatan kayu pertukangan seperti balok, papan, dan veneer.  Dan setelah perlakuan thinning rata-rata dibutuhkan waktu +/- 4 -6 tahun agar dampaknya terlihat terhadap perkembangan diameter batang dan penutupan mata kayu akibat pruning.  Biasanya juga, setelah perlakuan Thinning, perlakuan pemupukan dan pengendalian gulma termasuk mematikan trubusan dari sisa tunggul pohon yang ditebang harus dilaksanakan, agar kondisi pertumbuhan individu pohon yang ditinggalkan dapat maksimal. Semua perlakuan tambahan ini membutuhkan biaya dan tentunya secara ekonomi harus terbayar dengan output kayu yang akan dipanen nantinya.  Intinya, tegakan membutuhkan waktu untuk recovery setelah perlakuan Thinning dan Pruning.

Produktivitas tegakan HTI baik itu untuk kayu BBS atau kayu pertukangan biasanya dinilai dari angka Volume kayu yang dihasilkan. Biasanya dengan menggunakan satuan meter kubik kayu. Pemantauan produktivitas tegakan sejak penanaman dilaksanakan sudah menjadi sebuah keharusan dalam manajemen HTI agar dapat diketahui perkembangan produktivitas. Kegiatan Inventory Hutan telah berkembang sedemikian rupa seiiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Saat ini dinegara-negara yang ilmu kehutanannya telah berkembang pesat,  untuk menduga potensi tegakan telah memanfaatkan teknologi satelit dan teknologi perpetaan (GIS) yang terupdate secara konsisten.

Penilaian produktivitas tegakan HTI sebelum dipanen biasanya dilakukan untuk menilai Mean Annual Increment (MAI) dan Current Annual Increment ( CAI). MAI adalah rata-rata pertumbuhan tahunan dan untuk volume kayu bisanya dengan menggunakan satuan m3/ha/tahun , sedangkan CAI adalah pertambahan volume tahunan dan biasanya menggunakan satuan m3/ha.   Contoh Tabel perhitungan MAI dan CAI adalah seperti di bawah ini



Pada umumnya perhitungan inventory tegakan dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan MAI dan CAI tegakan, sehingga dapat diketahui pola perkembangan umum dari tegakan yang ditanam dan ilmu yang sangat terkait dengan itu disebut BIOMETRIKA HUTAN. Saat inilah peran ilmu statistika memegang peranan penting untuk menentukan pola kurva pertumbuhan atau growth curve yang berguna untuk memprediksi produktivitas tegakan. Secara umum growth curve tegakan HTI (tanpa penjarangan) selalu mengikuti pola kurva sigmoid (S) , dimana ada masa ketika produktivitas mencapai titik optimal dan kemudian mendatar seiiring dengan umur tegakan. Bentuk pola sigmoid umumnya secara statistik mengikuti pola persamaan Logistic curve , Richard Model dan atau Gompertz curve . Model regresi Sigmoid ini sangat tergantung kepada data yang dianalisis. Bentuk curva Logistic dan Gompertz seperti di bawah ini :



Pada saat sebuah model pertumbuhan ini diketahui, maka dicoba digunakan untuk memprediksi seluruh tegakan yang ada. Walaupun tentunya penggunaannya harus sangat hati-hati karena kemungkinan kurva ini hanya berlaku pada satu kondisi dimana data untuk penyusun kurva ini diperoleh dan bisa sangat berbeda dengan kondisi tegakan lain. Sangat tidak representatif menggunakan kurva ini untuk seluruh species atau seluruh kondisi tapak, karena masing-masing species dan tapak memiliki pola pertumbuhan tersendiri. Kurva yang diperoleh dari suatu tegakan sangat tergantung kepada species yang dikembangkan, kualitas genetik yang digunakan, kualitas lahan, tindakan silviculture, kondisi iklim, dan ada tidaknya gangguan lain pada tegakan yang dinilai, misalnya kebakaran, serangan hama dan penyakit, serta adanya kejadian ekstrim yang mengakibatkan pola pertumbuhan tegakan berubah. Di negara-negara maju, penggunaan kurva pertumbuhan sudah sangat spesifik misalnya berdasarkan species dan klon yang dikembangkan; berdasarkan site class; berdasarkan daur tanaman; berdasarkan ketinggian tempat; berdasarkan tindakan silviculture misalnya jarak tanam, pemupukan, dsb; dan berdasarkan hal-hal lain yang mempengaruhi pola pertumbuhan tegakan yang dikaji terus menerus.

Dalam manajemen HTI yang baik, setiap pengusaha HTI akan sangat konsen dengan perubahan pola pertumbuhan tegakan, dan penerapan Inventory Hutan yang benar-benar representatif dan valid akan menjadi pedoman perusahaan dalam menentukan kebijakan manajemen hutan. Setahu saya, perusahaan Aracruz, JARI, International Paper, Veracell, StoraEnso,  Klabin, SAPPI dan Mondi dan perusahaan HTI lainnya di dunia bahkan memiliki divisi atau departemen sendiri untuk menangani dan mengkaji Biometrika Hutan ini. Mereka melakukan pengukuran (inventory) tegakan secara rutin dan representatif dari seluruh tegakan, semata-mata untuk menghasilkan data prediksi yang akurat dan valid. Pengukuran dengan sistem Permanent Sample Plot atau Temporary Sample Plot menjadi pekerjaan utama mereka. Tetapi yang paling utama adalah menguji hasil prediksi mereka ketika suatu tegakan di panen. Saat itulah  realita produktivitas yang paling tepat akan diperoleh.

Mengapa prediksi dalam Biometrika hutan sangat penting? Karena pada akhirnya, hasil prediksi dari inventory tanaman akan dibuktikan langsung ketika tanaman di harvest dan prediksi atau pendugaan produktivitas tegakan sangat penting bagi perusahaan untuk merencanakan produksi kayunya dan tentunya memprediksi aspek ekonomi perusahaan. Dengan prediksi yang akurat dan ketepatannya dapat dipercaya (valid dan realitis) maka perusahaan akan dapat lebih tepat menentukan kebijakan perusahaan ke arah yang lebih baik.