Tampilkan postingan dengan label Generatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Generatif. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2011

SEED STAND DAN SEED PRODUCTION AREA

Seperti dijelaskan sebelumya benih adalah salah satu sarana produksi terpenting dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Perbanyakan tanaman secara generatif pastilah menggunakan benih sebagai bahan pembuat bibit. Kualitas benih akan menentukan kualitas bibit dan  kualitas tanaman di lapangan.

Untuk menghasilkan benih , berbagai langkah harus ditempuh termasuk membangun tegakan benih (Seeed Stand ) dan Areal Produksi Benih (Seed Production Area). Langkah ini ditempuh pemulia untuk memenuhi kebutuhan operasional dalam waktu yang paling singkat.

A.              Seed Stand – SS

Metode pembangunan SS adalah sebagai berikut :

  1. Dari sekumpulan kompartmen tanaman yang seumur dibuat daftarnya dan dipilih kompartemen-kompartemen yang memiliki volume pertumbuhan terbaik. Umur tanaman yang layak diseleksi menjadi SS biasanya minimal  ½ daur + 1 tahun, jadi apabila perusahaan HTI memiliki daur tebang 6 tahun, maka tegakan yang layak diseleksi adalah tegakan-tegakan yang telah berumur (½ x 6 tahun)  + 1 tahun = 4 tahun ke atas. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa memang tegakan tersebut sudah memasuki phase growth rate yang relatif mendatar (atau MAI dan CAI nya sudah optimal).
  2. Dari daftar kompartment yang ada diseleksi berdasarkan rata-rata volume/ha atau MAI yang dihasilkan pada umur yang sama. Misalnya kompartmen A.mangium yang berumur 4 tahun  terseleksi sebanyak 50 kompartmen dan MAI rata-rata kompartemen berkisar antara 10 m3/ha/tahun sampai 35 m3/ha/tahun, maka dilakukan pengambilan keputusan bahwa kompartemen yang memiliki MAI 30 m3/ha/tahun ke atas yang layak dijadikan SS. Keputusan ini tergantung kepada kondisi lapangan dan keputusan pemulia pohon yang tentunya mempertimbangkan berbagai hal.
  3. Setelah beberapa kompartemen terpilih, maka diseleksi lagi berdasarkan aksesibilitas dan kondisi kompartemen. Lebih baik memilih kompartemen yang aksesibilitasnya mudah, topografinya relatif datar, phenotype pohon-pohon relatif seragam , penyebaran pohon di dalam kompartemen teratur dan seragam, dan tentunya pohon-pohon tersebut menghasilkan bunga.

Setelah diseleksi maka dibuat keputusan bahwa kompartemen tersebut dikonversi atau dijadikan SS . Team pemanen buah dapat melakukan pemanenan di kompartemen tersebut jika tegakan sudah menunjukkan pohon-pohon yang siap dipanen.

Keuntungan SS :
  1. Dengan cepat areal penghasil benih dapat dipilih dan diseleksi
  2. Pohon-pohon induk di dalam SS relatif sudah memiliki adaptasi dengan lingkungan sekitar, sehingga diharapkan keturunannya (benih) juga sudah memiliki sifat yang mampu beradaptasi.

Kelemahan SS :
  1. Intensitas seleksi pohon induk rendah sehingga menghasilkan kualitas benih yang belum begitu baik.
  2. Biasanya pohon sudah memiliki tinggi yang cukup sulit untuk memanen buahnya
  3. Produksi benih per pohon relatif kecil karena tajuk pohon tidak optimal dan kerapatan pohon di dalam SS tidak mendukung masuknya cahaya matahari yang cukup untuk mendukung terjadinya pembuahan
  4. Perkawinan kerabat dan masuknya pollen (serbuk sari) dari tegakan lain sulit dihindarkan
  5. Biasanya pohon-pohon yang berada di pinggir jalan atau yang paling tepi dari kompartmen akan berbunga dan berbuah lebih lebat karena mendapat ruang dan cahaya matahari yang optimal.
  6. Seleksi hanya berdasarkan phenotype rata-rata, dan bukan berdasarkan nilai-nilai genetik , sehingga nilai heritabilitas tidak dapat dihitung.

Umumnya peningkatan kualitas tanaman dengan menggunakan benih dari SS  berkisar antara 1-5 % dibanding tetuanya.  SS  biasanya hanya digunakan secara temporari dan setelah ada kebun benih yang lebih baik SS kemudian akan ditebang untuk kebutuhan produksi kayu atau dipergunakan sebagai tegakan benih yang dipelihara untuk masa-masa yang akan datang.

Metode lain yang juga dapat diterapkan dalam membangun SS adalah dengan menggabungkan uji Provenance dengan Provenance Stand.  Metodenya adalah sebagai berikut :

  1. Pembangunan Provenance Test dilaksanakan dengan desain penelitian genetic test dengan menggunakan Provenance sebagai Treatment dan dibuat Ulangan (Replikasi) dan dicobakan dibeberapa lokasi yang berbeda. Misalnya diuji 12 provenance A.crassicarpa yang berasal dari Papua Irian, Papua New Guinea dan Queensland Australia.
  2. Bersamaan dengan uji provenance tersebut , masing-masing provenance dibangun lagi tegakan provenance (provenance stand) dalam skala operasional (produksi massal). Misalnya setiap provenance dibangun untuk setiap 1 atau lebih  kompartemen sesuai dengan ketersediaan benih .
  3. Pada saat uji provenanve memberikan hasilnya, maka provenance yang terbaik dipilih menjadi provenance yang layak menjadi SS sehingga masing-masing provenance stand dapat diseleksi apakah layak menjadi SS atau tidak.

Keuntungan metode ini adalah SS yang dibangun sudah lebih dibuktikan dengan adanya uji provenance  sehingga lebih menyakinkan bahwa SS ini menghasilkan benih-benih yang lebih mampu beradaptasi secara genetik.  Kelemahannya adalah diperlukan pembangunan plot penelitian Provenance Test dan benih masing-masing provenance dalam jumlah besar.

Untuk lebih jelasnya metode pembangunan SS tersebut digambarkan secara sederhana di bawah ini.






B.                 SEED PRODUCTION AREA - SPA

Pembangunan SPA sebenarnya hanya berbeda sedikit dengan pembangunan SS. Konsepnya tetap yaitu memanfaatkan tegakan operasional (tegakan produksi massal) yang pertumbuhannya melebihi kompartemen lainnya yang sejenis dan seumur pada suatu hamparan tanaman HTI.

Perbedaan SS dengan SPA terletak pada adanya penjarangan pohon-pohon inferior (jelek) pada tegakan/ kompartemen yang terpilih. Sehingga setelah suatu tegakan operasional dipilih dan ditentukan menjadi calon SPA, maka pada tegakan tersebut dilaksanakan pemilihan pohon-pohon yang akan ditinggal dan yang akan ditebang. Intensitas seleksi pada SPA ini sudah lebih baik dibanding SS, dengan mengurangi/menebang pohon-pohon yang penampilan phenotypenya jelek/buruk, maka di dalam SPA akan tersisa pohon-pohon yang berphenotype bagus. Selain itu metode penjarangan yang dilaksakan dilakukan dengan mempertimbangkan jarak antar pohon di dalam tegakan tersebut. Dengan pengaturan jarak antar pohon, maka pertumbuhan kanopi akan lebih optimal dan penjarangan juga memberikan peluang masuknya cahaya matahari ke seluruh bagian tajuk (kanopi) pohon-pohon yang ada.  Dengan demikian potensi pembungaan dan pembuahan masing-masing pohon akan semakin tinggi jika dibandingkan dengan pohon-pohon yang ada di dalam SS. Biasanya untuk tanaman fast growing species seperti Acacia mangium, Acacia crassicarpa, Gmelina arborea, Paraserinthes falcataria, Eucalyptus spp., kerapatan 200-300 pohon/ha sudah cukup baik untuk dipilih dalam membangun SPA. Jarak antar pohon rata-rata > 5 m.

Keuntungan SPA hampir sama dengan SS, hanya memiliki keunggulan tambahan yaitu induk yang dipelihara menjadi penghasil benih sudah menunjukkan phenotype yang lebih baik dan perkawinan antara pohon yang phenotypenya baik dengan yang phenotypenya jelek/buruk dapat dihindarkan.

Kelemahan SPA hampir sama juga dengan SS, dimana pohon induk yang tersisa di dalam SPA bukanlah hasil seleksi genotype sehingga keturunan-keturunannya belum dapat ditentukan nilai heritabilitasnya. Bagaimanapun dengan melakukan pemilihan pohon yang ditinggal dengan adanya penjarangan pohon-pohon inferior  kualitas benih yang diharapkan sudah lebih baik dibanding SS.  Kelemahan lainnya yaitu pada saat seleksi atau dibangunnya SPA ini, pohon sudah tinggi dan kesulitan utama terjadi pada saat akan melakukan pemanenan buah. Selain itu dalam membangun SPA ini biasanya ada stress tanaman setelah penjarangan dilaksanakan, tajuk mengalami kerusakan ketika penjarangan, dan juga mudah roboh karena angin.

Peningkatan kualitas tanaman dengan menggunakan SPA umumnya hampir sama dengan SS yaitu sekitar < 5% dibanding tetuanya. Walaupun demikian dengan membangun SPA, produksi benih untuk kebutuhan operasional HTI sudah dapat dicukupi dengan pengelolaan SPA yang lebih baik.

Untuk meningkatkan produksi benih per pohon dari SPA, dapat dilakukan usaha pemeliharaan tanaman secara rutin. Pengendalian gulma harus dilaksanakan karena biasanya setelah adanya penjarangan, maka lantai hutan yang terbuka dan dimasuki cahaya matahari akan merangsang pertumbuhan biji-biji gulma. Pemupukan dapat dilaksanakan terutama sebelum masa pembungaan dan sesudah masa pemanenan buah. Dosis dan jenis pupuk dapat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan jenis tanaman, kualitas tanah, dan iklim setempat. Yang utama pupuk N biasanya dibutuhkan pasca pemanenan dan NPK dibutuhkan untuk masa pembungaan.

Secara sederhana proses pembangunan SPA dapat dilihat pada skema di bawah ini.




PENUTUP

Kualitas benih dari SS dan SPA adalah kualitas terendah dari faktor genetik dan biasanya ini hanya ditempuh untuk kebutuhan jangka pendek. Untuk mendapatkan kualitas benih terbaik tidak ada jalan lain selain membangun Seedling Seed Orchard (SSO) dan Clonal Seed Orchard (CSO).

Minggu, 31 Oktober 2010

Sekilas Tentang Clone di Hutan Tanaman Industri (HTI)

Gambar : Tegakan Clonal Eucalyptus hybrid di Colombia umur 5 tahun
Clone atau Klon sudah banyak yang mengetahui makna dan artinya. Dalam bidang ilmu peternakan, beberapa tahun lalu, dunia dihebohkan dengan keberhasilan  cloning domba (Dolly)  yang berhasil dikembangkan tanpa perkawinan dan domba itu  hidup dengan karakter, sifat, fisik dan gen yang persis sama dengan saudara “kembar-clonenya” .  Banyak pihak yang mendukung hasil penelitian ini, tetapi banyak juga yang menentang dengan berbagai alasan, misalnya aspek moral, etika dan nilai-nilai manusiawi. Yang menentang hasil penemuan ini kuatir bahwa sistem cloning bisa-bisa pada akhirnya akan dikembangkan untuk manusia. Dan akibatnya kita semua tau, kita akan menemukan dua atau lebih individu manusia yang mempunyai karakter, fisik, dan gen yang sama. Sungguh sesuatu yang aneh, mereka bukan saja mirip seperti manusia kembar, tetapi juga persis sama sifat-sifat, karakter, keinginan,  dan gennya. Bisa kita bayangkan, bagaimana kita membedakan mereka itu? Bagaimana kita menamai dan banyak hal yang belum terbayangkan dengan kehadiran mereka.

Clone, adalah hasil perkembangbiakan secara a-sexual (tanpa sexual) , atau tanpa adanya pertemuan sel kelamin jantan dan betina. Dalam ilmu tumbuhan disebutkan hasil perkembangbiakan secara vegetatif, sedangkan hasil perkembangbiakan secara sexual (perkawinan sel kelamin jantan dan betina) disebut dengan generatif.  Hasil perkembangbiakan tumbuhan secara generatif pasti sudah familiar dengan kehidupan sehari-hari yaitu biji. Apabila kita memakan kacang goreng, tidak lain, biji kacang itu adalah hasil perkembangbiakan generatif, dan tentunya yang paling sering kita makan adalah nasi yang berasal bari biji padi, kecambah (Touge) yang dihasilkan dari kacang hijau , dan biji wijen sebagai penikmat roti yang sering kita konsumsi. Biji biasanya dihasilkan dengan adanya perkawinan sel kelamin jantan yang berada di benang sari  (serbuk sari) dan sel kelamin betina (berada di putik) . Tentunya dengan adanya perkawinan itu maka jadilah biji yang dapat tumbuh menjadi individu baru, dan karena itu disebut berkembang biak.

Bagaimana dengan perkembangbiakan tanpa perkawinan (aseksual ) ? Perkembangbiakan tanpa perkawinan atau tanpa pertemuan sel kelamin jantan dan betina  seperti sudah disebutkan di atas disebut secara vegetatif. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk kegiatan vegetatif ini, misalnya dengan cara membuat stek atau cutting ( ini sudah sangat umum, misalnya penanaman ubi kayu dengan batangnya,  penanaman tanaman hias  seperti - asoka, anggrek, melati, kacapiring, dsb -  dengan pucuknya atau cabangnya). Teknik lain yang umum dilakukan adalah dengan okulasi (budding), yaitu menempelkan mata tunas satu pohon yang dikehendaki ke batang yang akan digunakan menjadi batang bawah (understump). Ini sudah banyak dilakukan pada tanaman buah-buahan seperti durian, mangga, jambu , rambutan , dll. Hasil okulasi ini akan cepat berbuah karena mata tunasnya diambil dari pohon tua yang sudah berbuah dan sudah diketahui kualitasnya. Kita tidak perlu heran melihat mangga yang dihasilkan dari okulasi akan  berbuah cepat dan tinggi pohonnya hanya beberapa meter saja bahkan ada yang ditanam di dalam pot.  Teknik vegetetaive lainnya sudah banyak dikerjakan seperti menyambung (grafting), menyusui, cangkok (air layering atau marcoting) atau dengan menyusui dan  merunduk.  Semua perkembangbiakan dengan menggunakan organ tumbuhan seperti daun, batang, cabang, akar, anakan, pucuk , dll, dikelompokkan menjadi perkembangbiakan vegetative secara makro ( dalam bahasa Inggris disebut macro-propagation) .

Teknik perkembangan vegetative propagation juga sudah dilaksanakan bukan dengan cara mengembangbiakan organ tumbuhan seperti daun, batang, pucuk atau akar, tetapi dengan mengembangkan jaringan (tissue) seperti potongan daun atau potongan pucuk dan dikembangkan di laboratorium yang disebut dengan  dengan kultur jaringan (tissue culture). Teknik organogenesis yang mengembangkan sel-sel menjadi individu tanaman baru juga sudah diterapkan di laboratorium. Di laboratorium Tissue culture ini akan digunakan berbagai jenis hormon, vitamin, dan zat-zat kimia lainnya sehingga potongan kecil dari suatu tumbuhan dapat menghasilkan ribuan bahkan jutaan individu baru yang sama dengan induknya. Teknik tissue culture (kultur jaringan) sering juga disebut dengan perkembangbiakan vegetative secara mikro (micro-propagation) atau in-vitro.

Semua individu baru yang dikembangakan secara vegetative maka sifat-sifatnya akan sama persis dengan induknya dimana yang menjadi induknya adalah tumbuhan yang menjadi sumber organ atau jaringan itu diambil. Berbeda dengan perkembangbiakan secara generatif, maka sifat keturunan yang dihasilkan akan merupakan penggabungan sifat jantan dan betina.

Kita kembali ke permasalahan awal yaitu mengenai Clone.

Setelah penjabaran di atas, kita ketahui bahwa semua keturunan hasil vegetatif akan menyerupai induknya. Contoh, apabila kita mengokulasi pohon mangga yang berbuah sangat lebat, buahnya besar, daging buah berwarna  kuning keemasan, rasanya buah sangat manis, maka hasil okulasinya juga akan sama persis dengan sifat-sifat di atas dan sebaliknya apabila kita mengokulasi mangga yang berbuah kecil, daging buah berwarna pucat, rasanya sangat asam, dan buahnya kurang lebat, maka hasil okulasinya akan sama juga dengan sifat-sifat di atas.  Jadi apa hubungannya dengan Clone ? Clone didefinisikan sebagai hasil perkembangbiakan vegetatif yang telah terseleksi sifat-sifatnya .  Misalnya kita memiliki sebuah pohon Eucalyptus pellita yang tumbuh sangat cepat, kayunya bagus, tahan serangan hama penyakit utama , dan mampu tumbuh diberbagai kondisi tanah. Kita ingin semua HTI kita dapat ditanami dengan pohon seperti itu. Masalahnya pohon itu hanya satu batang saja. Untuk itulah kita akan mengembangbiakkan pohon tersebut menjadi ratusan bahkan jutaan individu baru sehingga kita memiliki HTI dalam luasan ratusan ribu hektar dengan pohon E.pellita yang sudah kita seleksi tadi. Tidak ada jalan lain, untuk menghasilkan banyak individu baru dari pohon tersebut, dan sama persis dengan pohon tersebut, kita harus mengembangbiakkannya secara vegetatif , misalnya dengan cara stek, tissue culture, atau metode yang lain. Tetapi karena kita akan mengembangkan individu dalam jumlah banyak, pilihan yang paling tepat adalah dengan teknik tissue culture dan stek (cutting).  Hasil perkembangbiakan (individu-individu baru )  dengan teknik perkembangbiakan vegetatif  (misalnya tissue culture atau cutting ) dari pohon tadi kita namai CLONE.

Identifikasi  Clone

Bagaimana caranya kita memberi identifikasi terhadap clone, contohnya pohon E.pellita yang sudah disebutkan di atas? Identifikasi clone biasanya dilakukan oleh pemilih  dan pengembang clone tersebut. Ada banyak teknik identifikasi clone, misalnya dengan pemberian nomor, contohnya EP101, atau CL001, atau teknik lain. Penamaan ini tidak ada panduan bakunya, sangat tergantung kepada organisasi atau lembaga yang menghasilkan klon. Di tanaman E.pellita  tadi misalnya bisa saja kita sebutkan dengan Euc01, Epc01, Klo01,  CE-001, dsb. Tetapi umumnya lembaga atau instansi yang menemukan klon akan membuat penomoran indetifikasi yang singkat, mudah diingat dan bermakna bagi organisasi tersebut.

Keuntungan  dan Kelemahan Sistem Clone

Keuntungan sistem clone dapat disebutkan sebagai berikut :
  1.          Menghasilkan tanaman yang seragam (homogen)
  2.          Dengan kondisi tanaman seragam (homogen)  maka produktivitas biasanya optimal
  3.            Dengan sifat genetik yang seragam mempermudah perlakuan budidaya lain, misalnya kebutuhan pupuk dan air yang seragam
  4.          Dengan pohon induk (pohon asal) yang diketahui sifat unggulnya, kita dapat merencanakan kualitas tanaman yang akan dibuat, misalnya cepat tumbuh, kayunya mengandung cellulosa tinggi, cabangnya sedikit, dsb

Sedangkan kelemahan dengan sistem clone adalah :
  1. Keragaman genetik sama sehingga apabila ada problem (misalnya serangan penyakit) maka sangat mudah menular ke individu lainnya
  2. Karena dikembangkan secara vegetative (misalnya) stek, maka struktur perakaran biasanya berbeda dengan sistem generatif (biji), dan beresiko dikembangkan pada daerah-daerah yang banyak angin kencang (biasanya lebih mudah roboh)
  3. Clone sangat berinteraksi kuat dengan kondisi lingkungannya, sehingga apabila kita tidak dapat memilih lokasi yang sesuai dengan kebutuhannya maka hasil pertumbuhan clone sangat mengecewakan
  4. Untuk menghasilkan pertumbuhan yang maksimal dibutuhkan penanganan budidaya yang lebih intensif misalnya sarana pembibitan vegetative, pemupukan yang lebih intensif, dan pengendalian gulma serta hama penyakit yang intensif. 

Bagaimana mendapatkan Clone Unggulan di HTI?

Tentunya semua pihak yang bekerja di perusahaan HTI mengharapkan tanamannya tumbuh dengan cepat, produksi tinggi, seragam, kayunya sangat cocok dengan industri yang membutuhkan dan tahan terhadap gangguan hama penyakit.  Di perusahaan yang menaman HTI untuk memenuhi kebutuhan industri  pulp and paper umumnya syarat-syarat clone yang dibutuhkan adalah :
  •      Mudah dikembangbiakan pada skala operasional dengan teknik vegetatif (perakaran bagus, tunas bagus)
  •      Pertumbuhan sangat cepat dan tinggi (misalnya dapat dipanen umur 5 tahun dengan MAI > 50            m3/ha/thn)
  •        Berbatang lurus ( ini sangat mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Bercabang sedikit dan berukuran kecil ( juga mempermudah pemeliharaan dan pemanenan)
  •        Berkulit tipis ( berhubungan dengan tonase kayu berbanding volume)
  •        Batangnya sangat cilindris ( berhubungan dengan aspek pemanenan dan volume kayu)
  •       Memiliki kayu dengan kadar cellulosa yang tinggi (ini hubungannya dengan produksi serat atau fiber untuk pulp and paper) atau tingkat pulp yieldnya tinggi.
  •       Memiliki kadar lignin dan zat ekstraktif kayu yang rendah (ini hubungannya dengan rendemen kayu dan jumlah bahan kimia yang digunakan di pabrik)
  •       Tahan terhadap hama penyakit utama ( tentunya berhubungan dengan MAI)
  •       Dapat tumbuh baik diberbagai kondisi lahan/tapak ( berhubungan dengan keragamanan tapak/tanah yang dimiliki)
  •       Dapat tumbuh baik dalam kondisi iklim yang ekstrim ( berhubungan dengan kondisi iklim misalnya curah hujan, temperatur, ketinggian tempat dari permukaan laut, kelembaban, dsb)
  •        Respon terhadap berbagai  tindakan silvikulture (ini sangat berhubungan dengan MAI)

Tetapi apakah kita dapat menemukan clone yang memenuhi seluruh sifat-sifat di atas?
Jawabannya adalah memungkinkan , apabila kita menjalankan program PEMULIAAN POHON (TREE IMPROVEMENT) dengan baik dan berkesinambungan.

Menemukan clone dengan segudang sifat-sifat unggul bukanlah pekerjaan sederhana. Sangat jarang ditemukan clone  yang memiliki sifat-sifat sempurna seperti yang disebutkan di atas. Untuk memenuhi seluruh sifat tersebut kita harus melakukan pekerjaan breeding berulang-ulang dan membutuhkan waktu lama , sumber daya manusia yang handal, dan biaya yang sangat besar. Breeding adalah bidang tree improvement yang berhubungan dengan ilmu genetik dan teknik perkawinan tumbuhan untuk menghasilkan individu-individu  baru yang lebih unggul sesuai kehendak breeder (pelaksana breeding). Sungguh suatu karunia yang sangat besar (best lucky) apabila dalam satu putaran seleksi pohon kita langsung menemukan seluruh sifat-sifat tadi.

Siklus Breeding  untuk mendapatkan Clone di HTI

Untuk mendapatkan clone unggulan di HTI paling tidak dibutuhkan waktu untuk melakukan penelitian /kegiatan sebagai berikut :
  • Pengujian genetik induk pohon (disebut dengan Progeny Test)
  • Pemilihan pohon yang bergenetik unggul dari Progeny test (pohon plus)
  • Pengembangan pohon plus menjadi material clone dengan vegetatif
  • Pengujian clone diberbagai kondisi tapak (disebut dengan Clonal x site interaction test)
  • Pemilihan clone terbaik berdasarkan clonal test
  • Perbanyakan clone terbaik dengan vegetative
  • Penanaman clone terbaik di lapangan (skala semi komersial dan atau komersial)

Seluruh kegiatan itu bagaikan siklus yang berputar, karena salah satu saja tidak dapat dijalankan dengan baik, maka proses selanjutnya tidak dapat dilaksanakan.  Proses di atas sering digambarkan dengan lingkaran seperti di bawah ini :




Dari gambar di atas dapat kita lihat, bahwa untuk mendapatkan clone unggulan sampai ke tahap dibangunnya tanaman HTI dengan sistem clonal membutuhkan waktu paling tidak 10 tahun dari mulai dibangunnya sebuah plot uji genetik (progeny test ).  Progeny test adalah suatu test untuk menguji berbagai hasil perkembangbiakan generatif (biji) dari berbagai induk . Sekumpulan biji yang dihasilkan oleh suatu induk tumbuhan disebut dengan famili atau seedlot.  Banyak famili akan diuji dalam progeny test untuk menentukan nilai genetik dan pertumbuhannya (performance-nya ) atau menetukan nilai genetik dengan menggunakan phenotype sebagai parameternya. Dari uji inilah kita akan temukan plus tree -plus tree unggulan yang menjadi calon Clone.

Sangat banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan siklus clone tersebut seperti : Ilmu genetik, Ilmu statistik dan Desain Penelitian (termasuk genetic quantitative) , Ilmu Tanah dan Nutrisi, Ilmu Silviculture , Tanaman dan  Perbanyakan Tanaman (termasuk Bioteknologi , Tissue Culture dan Nursery/Pembibitan ), Ilmu kayu termasuk ilmu tentang Pulp and Paper, Biometrika, Ilmu Ekonomi dan Analisa Ekonomi, Ilmu Lingkungan (ekologi), Ilmu Gulma,  Hama dan Penyakit dan ilmu– ilmu lain yang berkaitan dalam pembangunan HTI misalnya ilmu tentang perpetaan (GIS), Administrasi, Data Management, Human Resources, Hukum/Legal, Logistik/Purchasing, dan sebagainya.

Bagaimanapun, Breeder yang bekerja untuk mendapatkan clone unggulan tidak dapat bekerja sendiri, dibutuhkan kerjasama dan dukungan dari seluruh pihak terkait agar siklus itu dapat berjalan dengan normal, terutama agar breeder dapat memenuhi target waktu yang ditentukan, karena gain (peningkatan) produktivitas yang dihasilkan clone merupakan fungsi dari Waktu (Time).


Konsekuensi Pertanaman HTI dengan sistem Clonal Forestry vs Benih

Telah dijelaskan di atas, bahwa keuntungan clonal dapat meningkatkan produktivitas tanaman HTI sehingga secara ekonomis akan lebih menguntungkan. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kalau kita membangun HTI bukan dengan clone tetapi dengan menggunakan biji (benih) hasil perkembangbiakan generatif?

Tidak ada yang salah dengan benih, apabila benih yang kita gunakan juga telah masuk kriteria benih unggul. Masih sangat banyak perusahaan HTI di dunia yang menggunakan benih sebagai bahan pertanamannya dengan dengan berbagai pertimbangan seperti :
  • Pembuatan bibit dari benih relatif lebih murah daripada vegetative (cutting)/klon
  • Telah tersedia benih unggul dari Kebun Benih sendiri
  • Jenis tanaman yang dikembangkan sangat sulit untuk dikembangkan secara vegetatif
  • Belum ditemukan clone yang unggul atau clone masih dalam tahap pengujian
  • Terbatasnya skill dan knowledge staff  dalam mengembangkan clone
  • Terbatasnya dana untuk pengembangan clone
  • Menjaga keragaman genetik, karena keragaman genetik clone sangat sempit.
  • Dan lain-lain

Pertanaman dengan benih tentunya mempunyai konsekuensi bahwa keseragaman tanaman tidak akan sehomogen clone. Tanaman HTI yang dikembangbiakan dengan benih umumnya akan memiliki keragaman yang lebih besar dibanding HTI yang dikembangkan dengan sistem clone. Hal ini wajar dan jelas karena benih merupakan hasil perkawinan sel kelamin jantan dan sel kelamin betina, sehingga sifat-sifatnya merupakan gabungan dari 2 induknya ( ½ bagian jantan dan ½ bagian betina), sedangkan clone 100% genetiknya adalah sama dengan sumbernya (Ortet).

Pertanaman HTI dengan clone memang memiliki konsekuensi sebagai berikut :
  1. Membutuhkan infrastruktur Nursery yang lebih lengkap dan lebih mahal dibanding dengan Nursery generatif/benih (misalnya harus ada Green house untuk  pohon pangkas -stool plants, harus ada rooting house yang dilengkapi sprinkler yang mengendalikan kelembaban, membutuhkan instalasi irigasi yang lebih kompleks )
  2. Membutuhkan penanganan intensif di Nursery misalnya sterilisasi single tube (container), sterilisasi media , sterilisasi pekerja, dan sterilisasi lokasi Nursery.
  3. Pertanaman dengan clone membutuhkan perencanaan yang lebih matang terutama untuk memadukan clone dengan lahan yang ada ( Site x Clone Interaction) . Clone sangat berinteraksi dengan kondisi lahan, sehingga salah penemapatan clone akan membuat hasil yang tidak sesuai dengan rencana. Hasil penelitian menunjukkan dengan jenis tanah yang berbeda maka clone   juga menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. 
  4. Clone membutuhkan tindakan silviculture yang lebih intensif, misalnya membutuhkan pemupukan yang lebih tinggi dan weeding yang lebih intensif . Kealpaan atau keterlambatan terhadap kegiatan pemiliharaan dapat berakibat sangat negatif terhadap pertumbuhan clone. 
  5. Clone membutuhkan monitoring serangan hama dan penyakit yang lebih intensif karena penularan suatu penyakit akan sangat cepat karena genetik clone seragam, termasuk penanganan di Nursery. 
  6. Membutuhkan tingkat pemahaman tentang clone  dan disiplin staff/ pekerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman dengan benih.  Disiplin maksudnya adalah ketaatan dalam mengikuti Standar Operating Procedure (SOP). 
  7. Membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar bagian yang lebih baik karena penanaman clone membutuhkan ketepatan dalam berbagai hal misalnya ketepatan lokasi, ketepatan waktu, ketepatan ukuran dan standar bahan seperti pupuk, herbisida, dsb

Bagaimanapun konsekuensi itu, apabila kita mau bekerja keras melaksanakan,  rasanya tidak akan menemukan kesulitan yang berarti dan hasil yang diperoleh dengan clonal forestry juga akan seimbang. Perusahaan-perusahaan HTI yang besar di dunia yang  mengembangkan clone Eucalyptus juga menghadapi konsenkuensi yang sama, dan mereka bisa berhasil. Perusahaan-perusahaan di Amerika Latin (seperti di Brazil, Argentina, Venezuela, Colombia, Chile, Uruguay, dsb) , Afrika Selatan , Austalia, Portugal, New Zealand , India, dan China sudah lama mengembangkan clonal forestry Eucalyptus dan Pinus menjadi andalannya.