Tampilkan postingan dengan label Clonal Test. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Clonal Test. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 September 2013

Mengapa Clonal Forestry di Brazil sukses? (sebuah opini)

Clonal Forestry Brazil (photo from Dag Lindgren)
Tak dapat dipungkiri, revolusi kehutanan dengan sistem clonal telah dicapai Brazil dan beberapa negara di Amerika Latin seperti Argentina, Chile, Uruguay, Venezuela, dll termasuk Afrika Selatan, Australia dan Amerika Serikat. Bukan saja jenis Eucalyptus yang masuk ke dalam kelompok daun lebar (broad leaf), tapi juga sudah masuk ke jenis Conifer (Pinus) atau berdaun jarum.

Mengapa mereka bisa berevolusi?

Dari berbagai literatur, disebutkan, masuknya tanaman Eucalyptus ke Brazil diawali untuk kepentingan pembuatan arang (energi). Kemudian beralih ke produk kayu pertukangan (khusunya rel kereta api) dan papan. Dan sejak tahun 60-an, mulai merambah ke industri pulp and paper. Sejak tahun 60_an itu, dunia kehutanan di Brazil bagai melesat baik dari segi kuantitas (luas penanaman) , produksi kayu maupun kualitas kayu.

Lantas, mengapa sukses meningkat dari tahun ke tahun? Apa kunci suksesnya?

Pertanyaan itu selalu sulit untuk dijawab , bukan karena tak punya jawaban, tapi semakin dijawab semakin banyak pertanyaan selanjutnya, dan semakin sulit diikuti. Beberapa literatur yang pernah saya baca , kemudian beberapa komunikasi pribadi dengan pakar HTI di Brazil sana, juga beberapa kali kunjungan ke sana, menurut saya ada beberapa kunci sukses umum yaitu ;

1. Mereka punya cadangan Genetik Material (clone) yang unggul melalui proses tree improvement (pemuliaan) yang handal dan tak henti. 
Tidak heran melihat perusahaan-perusahaan Brazil punya cadangan clone di clonal testnya sampai ribuan clone, bahkan masih punya cadangan pohon plus sampai 5000 - 7000 pohon dalam satu perusahaan saja. Ini modal yang sangat besar yang memungkinkan mereka "mengotak-ngatik" genetik material untuk mendapatkan 10-30 the best clone setiap tahunnya. Mereka punya persilangan (hybrid) yang bukan saja antar species, tapi sudah masuk ke phase multispecies (misalnya antara E.grandis X E. urophylla x E.pellita), dll. Mereka biasanya punya cadangan clone di clone test multilokasi yang dibangun setiap tahun (sekali lagi : setiap tahun!) untuk mengantisipasi bagaimana perubahan lingkungan (cuaca) mempengaruhi klon termasuk upaya mengantisipasi korelasi Genetic versus Perubahan Iklim. Mereka sadar, perubahan iklim bukan untuk hanya dibahas, bukan hanya untuk diseminarkan tapi disikapi dan dilakukan usaha-usaha adaptasi menghadapi perubahan iklim itu. Sehingga tak heran, ketika tahun 2003 saya berkunjung ke salah satu perusahaan di Brazil, mereka punya 5 commersial Clone, dan pada tahun 2005, kelima clone itu sudah tergantikan dengan 10 new commercial clone yang lebih handal terhadap lingkungan dan lebih bagus kualitasnya. Saya berfikir, pantas mereka tetap "improve".

2. Mereka punya Cadangan Sumberdaya Manusia yang Handal. 
Setiap berbicara dengan pelaku-pelaku kehutanan dari Brazil, atau Amerika Latin umumnya, saya terus terang merasa minder. Minder karena ternyata mereka rata-rata berpendidikan S2 dan S3 untuk bidang HTI. Mereka sangat tertarik menimba ilmu sampai ke luar negeri hanya untuk mempelajari sub-sub bidang HTI seperti soil, silviculture, genetic, nursery, seed management, mekanisasi, dsb. Setiap bertemu kepala R&D di perusahaan Brazil yang besar-besar, selalu titelnya DR atau Phd......, paling tidak MSc bidang Hutan tanaman. Hebat. Dan kebetulan, perusahaan yang saya pernah kunjungi seperti Aracruz, veracel, Rigesa, International Paper, Klabin, punya staff-staff R&D yang rata-rata sudah mengeyam pendidikan S2. Bahkan ketika mengunjungi Aracruz tahun 1994, research centernya dikepalai seorang DR, membahawi 5 doktor untuk departemen Tree Improvement, Silviculture, Pest and Disease, Wood Technology dan Nursery. Kemudian masing-masing Doktor itu membawahi 3 orang MSc dan setiap master itu membawahi sekitar 5-10 orang Sarjana. Dalam hati saya berkata, "pantas mereka bisa fokus dan sukses". Melihat tanaman di Aracruz tahun 1994 , membuat saya terperangah, padahal waktu itu mereka akui MAI (mean annual increment) tegakan mereka hanya 35 m3/ha/tahun. Sekarang Aracruz mengakui tanaman Eucalyptus clone mereka punya MAI sekitar 45-50 m3/ha/tahun. Fantastis. Kalau dipanen umur 6 tahun, berarti mereka sudah menghasilkan 270 m3 - 300 m3 /ha. Kehandalan sumberdaya manusia bidang HTI di Brazil sangat didukung juga dengan berdirinya fakultas-fakultas jurusan Plantation di berbagai negara bagian Brazil. Lembaga-lembaga penelitian kehutanan di Brazil juga intens melakukan penelitian teknologi pemulian, silviculture, wood technology dan ekologi HTI. Banyak sekali kolaborasi penelitian antara lembaga-lembaga penelitian itu dengan perusahaan-perusahaan, dan ini didukung juga oleh dana dari pemerintah Brazil. Dengan semua itu, tak heran, jika banyak kalangan muda di Brazil tetap berminat menggeluti bidang HTI sebagai jalan karirnya.

3. Mereka didukung dengan penerapan Silviculture yang super Intensif.
Setiap membaca literatur hasil penelitian di Brazil dan negara-negara lainnya yang sukses pada Clonal forestry, selalu saja mengatakan "tanpa silviculture intensif material genetik unggul tidak akan menghasilkan apa-apa". Ya memang, secara teori juga demikian. Clone yang unggul secara genetik membutuhkan lingkungan dan budidaya yang sesuai untuk mampu mengeluarkan potensinya. Belum ada clone yang mampu tumbuh baik dilahan yang tidak sesuai kriterianya, atau di lahan yang tidak disiangi gulmanya, atau tidak dipupuk. Konsekuensi pemilihan clone adalah harus adanya syarat-syarat yang dipenuhi agar clone itu menghasilkan atau mengeluarkan potensinya. Clone bukan material "superman" yang dapat melawan gempuran kurang hara, persaingan gulma, atau kesalahan penanaman. Klon butuh spesifikasi lahan dan teknik budidaya yang khas, unik dan intensif . Dengan kondisi lingkungan yang cocok, barulah potensial genetiknya muncul dan keluar menjadi pohon yang pertumbuhannya luar biasa. Klon butuh penanganan yang intensif, bukan penanganan apa adanya dan atau kita berharap klon mampu melawan semua ketidaksesuaian itu. Tidak bisa. Kita harus menyiapkan kondisi yang baik agar potensinya keluar. Dengan itu, silviculture diperusahaan-perusahaan HTI di Brazil menerapkan tindakan yang super intensif. Lahannya dibajak, dipupuk, disiram, di weeding, dan bibitnya ditanam dengan teknik yang benar. Mereka mengkombinasikan seluruh teknik budidaya agar klon berada pada zona yang "nyaman" tumbuh dan menghasilkan kayu maksimal. Tak heran kita melihat mesin-mesin traktor bekerja di lahan HTI di Brazil, ada yang membajak tanah, menghancurkan seresah (mulcher), menebarkan pupuk, menyemprotkan herbisida, dsb. Teknologi permesinan dibidang HTI di Brazil sana sepertinya sudah sama dengan teknologi pertanian di Amerika , Australia atau Jepang. Mereka faham, silviculture-lah yang menjadi jalan (way) untuk menelurkan (menghasilkan) potensi emas (unggul) Klon yang di tanam. Dan tak sekedar wacana, mereka melakukannya seoptimal mungkin, sampai potensi genetik, potensi lahan, potensi iklim dan potensi manusia tersalurkan seluruhnya demi produktivitas kayu HTInya. Tak heran MAI 70-80 bisa tercapai dibeberapa petak di sana.

4.Mereka didukung dengan teknologi pembibitan yang modern dan hygine. 
Mereka disana sepertinya sadar benar, bahwa bibit itu adalah awal dari produktivitas HTI. Bibit itu menjadi garis start untuk meraih kemenangan dalam perlombaan. Posisi start yang baik akan menjadi modal pertama untuk mencapai garis finish yang terbaik. Seperti layaknya perenang dan pelari dilintasannya. Jika melihat nursery (pembibitan) tanaman HTI di perusahaan-perusahaan Brazil, rasanya sedih dan "galau", jika membandingkannya dengan nursery-nursery di Indonesia. Nursery disana tidak mewah, tapi sesuai fungsi dan tepat fungsi. Melihat kebun pangkas dengan lantai kering, bersih, dan tidak ada genangan, tidak ada gulma dan lumut, seakan_akan memasuki persemaian tanaman hias. Sistem pengairan dan pengabutan yang otomatis, air yang steril, sistem kerja yang ergonomis, sepertinya menjadi standar dalam Nursery HTI di Brazil. Sungguh nyaman dan efektif untuk menghasilkan bibit-bibit klon yang kuat, sehat dan sesuai jumlahnya. Sistem seleksi bibit yang ketat, pengangkutan yang aman dan melindungi bibit, dan kedisiplinan orang-orang menjadi hal-hal yang normal disana. Bagaimanapun tentunya sikap disiplin di Nursery sangat penting dan "kekakuan" untuk menentukan bibit lolos ke lapangan sepetinya jadi modal dan prasyarat utama dalam bisnis HTI di Brazil. Tidak ada toleransi terhadap kualitas bibit yang akan ditanam. Hanya ada kata "yes lolos" dan "no.. Riject". Tidak ada keraguan karena standar kualitas sudah dibakukan dan tidak ada tawar menawar. Teknologi pembitan klon eucalyptus dan pinus di Brazil menjadi "kiblat" berbagai negara.

Ke-empat hal di atas, menurut saya (opini saya) menjadi faktor kunci keberhasilan Brazil mengembangkan clone-clone unggulannya. Tentunya , apapun itu, mereka juga menghadapi problem, tetapi mereka berusaha tidak menolerir standar utama dalam membangun tegakan HTI. Jika bibit sudah bagus dan lolos seleksi, mereka tangani dengan baik, kemudian lahan harus super berkualitas, dan teknik penanaman juga tidak asal-asalan. Selanjutnya pemupukan dan pengendalian gulma yang tepat, tepat dosis, tepat cara, tepat waktu, menjadi modal pohon untuk tumbuh sempurna. Ujungnya, pohon itu tumbuh dengan "happy", tersenyum dan menuangkannya dengan pertumbuhan Tinggi, Diameter dan Wood properties. Tegakan HTI itu menjadi hijau, rata (homogen) dan alat-alat panen seperti harvesterpun bersuka cita menebang "kesuksesan" itu. Dan semua itu tentunya didasari keinginan (hasrat) semua stakeholder perusahaan-perusahaan HTI di sana, terutama pemodal/investornya dan pelaku_pelaku kehutanannya. Tidak akan mungkin semua itu terjadi jika pengusahanya misalnya berfikir setengah-setengah untuk membangun HTI yang produktivitasnya tinggi. Modal, usaha , kerja keras, skill, knowledge, hasrat, dan bukti nyata harus dipadukan agar menjadi sebuah kesuksesan.

Bagaimana kita menjadi seperti itu. Seorang konsultan dari Amerika pernah punya saran kepada saya , " Maurits, kalau mau seperti perusahaan Brazil, tirulah 100%, contoh dan ikuti 100% dulu, jangan berimprovisasi .... Dan lihat buktinya! Setelah kamu mencontohnya 100%, lihat hasilnya, baru saatnya kamu melakukan improvement... Jika hasilmu belum seperti mereka, berarti kamu belum melakukan improvement. Karena improvement itu adalah berhasil mengalahkan benchmark, dan benchmark HTI di dunia ini ya Brazil".

Kamis, 12 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #4 : PEMBANGUNAN CLONAL TEST DAN SELEKSI CLONE)

Setelah mendapatkan material genetik vegetatif dari pohon plus dengan berbagai metode yang dapat dikembangkan seperti dijelaskan sebelumnya yaitu dengan menumbuhkan trubusan (sprout) pohon plus kemudian memperbanyaknya melalui stek (rooted cutting)  dan salah satunya juga dengan bantuan Tissue culture. Program pengembangan trubusan pohon plus dengan teknik tissue culture  hampir sama dengan proses pembuatan bibit dengan rooted cutting (stek), hanya di dalam Laboratorium Tissue culture proses perkembangbiakannya dengan teknik micropropagation seperti terlihat pada foto di bawah ini


Apapun cara yang ditempuh dalam mengembangbiakkan pohon plus secara vegetatif, intinya material vegetatif itu harus menghasilkan bibit yang seragan umur dan ukurannya sehingga layak digunakan sebagai material pembangun clonal test.

Pembangunan clonal test dapat dijalankan dengan sempurna jika jumlah bibit (ramet) masing-masing plus tree mencukupi untuk kebutuhan penelitian sesuai dengan desain penelitian. Seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, diperlukan sekitar 72 bibit (ramet) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal test dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD)  dengan jumlah replikasi 9 ulangan dan tree plot per replikasi adalah 12 pohon dalam bentuk square plot (persegi)  3 x 4 tanaman.  Sketsa RCBD untuk 50 klon dengan tree plot 12 pohon per replikasi dapat dilihat di bawah ini

Desain ini dilakukan jika jumlah bibit mencukupi, dan dapat dirubah sesuai dengan ketersediaan jumlah bibit, lahan dan  sumber daya lainnya yang mempengaruhi desain penelitian. Tetapi paling tidak untuk memenuhi kaidah statistika masing-masing klon memiliki minimal 36 bibit yang ditanam dalam 6 replikasi dengan tree plot 6 pohon/replikasi (dalam bentuk baris - row).   

Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) merupakan rancangan penelitian yang paling umum dilaksanakan untuk membangun Clonal Test. Permasalahan yang sering terjadi adalah keterbatasan material bibit uji dari pohon plus. Diperlukan ajusmen-ajusmen rancangan agar clonal test tetap terbangun terutama mengatur tree plot per klon per replikasi.  Jika jumlah bibit per klon terbatas, bisa juga dipilih rancangan acak lengkap berblok dengan single tree plot ( 1 bibit per replikasi) dengan jumlah replikasi minimal 30.

Jika jumlah bibit seluruh klon cukup tersedia banyak, maka rancangan penelitian dengan tree plot berbentuk square (misalnya 3 x 4 tree per replikasi) menjadi pilihan yang paling ideal untuk membangun clonal test.   Bentuk plotnya dibuat square (persegi)  agar diperoleh kondisi plot yang mirip dengan kondisi di lapangan nantinya jika klon tersebut dikembangkan sebagai klon komersil.

Clonal test yang dibangun juga harus multilokasi atau multisite seperti halnya progeny test multilokasi / multisite. Penentuan jumlah lokasi uji juga sama dengan klassifikasi pada uji progeny test (lihat tantangan #2 ) dan tidak akan dibahas lagi dalam bab ini.  Pada intinya clonal test juga akan menentukan GXE atau interaksi Genotype dan Environment  dan dalam analisa datanya akan menggunakan persamaan-persamaan statistik yang mirip dengan progeny test.

Pemeliharaan clonal test harus dilaksanakan secara intensif agar benar-benar faktor lingkungan termanupulasi dengan baik untuk memberikan potensi Gen klon dapat ditampilkan dengan sempurna. Pengendalian gulma dan pemupukan menjadi hal yang krusial dan uji clonal ini. Keseragaman kondisi lingkungan di dalam satu replikasi uji diharuskan semaksimal mungkin terjaga agar semua klon yang diuji mendapat perlakuan silviculture yang sama . Kita menginginkan semua klon dapat menunjukkan potensinya dan akhirnya kita bisa memilih atau menyeleksi klon terbaik dengan sangat fair (adil).

Sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan clonal test ini hampir sama dengan pembangunan progeny test. Untuk membangun 100 clon dalam clonal test dengan 3 lokasi akan diperlukan dana seperti terlihat pada Tabel di bawah ini:


Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun Clonal test 100 klon dengan 3 lokasi dan dengan Rancangan penelitian menggunakan RCBD , 6 replikasi dan 12 tree plot / replikasi, maka dibutuhkan dana sekitar  1 milyar rupiah atau USD 113.000,- sampai clone diseleksi/dipilih.

Seleksi clon yang dilakukan tentunya berdasarkan karakter phenotype yang diharapkan oleh breeder dan tentunya disesuaikan dengan tujuan pembangunan clonal test. Untuk masing-masing industri perkayuan , syarat-syarat karakteristik yang dibutuhkan juga berbeda misalnya untuk industri pulp and paper biasanya dicari klon-klon yang memiliki syarat :
-          cepat tumbuh
-          produktivitas volume kayu  tinggi
-          pulp yield tinggi (mencakup basic density dan pulp yield)
-          zat esktraktif kayu yang rendah
-          kelurusan batang bagus
-          Percabangan sedikit dan kecil
-          Ketahanan terhadap hama penyakit utama baik

Sementara untuk kayu pertukangan selain cepat tumbuh, produktivitas volume tinggi , kelurusan batang , percabangan sedikit dan kecil, serta ketahanan hama penyakit , biasanya juga melihat aspek silindrisnya batang , pola serat kayu dan sifat-sifat fisika kayu lainnya.

Pemilihan klon terbaik di atas juga harus mempertimbangkan kemudahan clon yang diseleksi untuk dikembangbiakan secara vegetatif dalam skala massal (misalnya dengan stek -  rooted cutting – atau kultur jaringan/ tissue culture) . Syarat-syarat vegetatif propagation yang sangat penting dipertimbangkan adalah rooting ability (persentasi kemampuan berakar) dan kemampuan menumbuhkan trubusan (shoot) dari klon tersebut di Nursery.  Sangatlah penting untuk memilih klon yang sesuai dengan kebutuhan operasional secara massal karena pembangunan clonal forestry tujuannya ada pada skala operasional , bukan pada skala penelitian.

Setelah pemilihan the best clones (klon-klon terbaik) maka langkah selanjutnya adalah bagaimana dengan sesegera mungkin mengembangkan klon-klon itu pada skala operasional (produksi massa). Hal ini membutuhkan strategi yang hampir sama ketika kita menemukan pohon plus pada progeny test dan harus sesegera mungkin menghasilkan material vegetatifnya untuk membangun progeny test.  Untuk ini ada beberapa strategi yang harus dilaksanakan yaitu :

  1. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material stek (rooted cutting) untuk membangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil) . Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.
  2. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material  eksplant di tissue culture (kultur jaringan) . Hasil eksplant tersebut kemudian dapat dijadikan bahan pembangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil). Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.


Kedua strategi tersebut dapat digambarkan pada skema di bawah ini :

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test dan membuatnya menjadi kebun pangkas (hedge orchard)

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test untuk dikembangkan di dalam Lab . Tissue culture dan plantlet dari Lab Tissue culture dipergunakan membangun kebun pangkas (hedge orchard) dan hasil kebun pangkas dijadikan material rooted cutting. Bisa juga hasil dari Lab . Tissue culture dimanfaatkan langsung sebagai material bibit membangun tanaman operasional

Kedua strategy di atas mempunyai kelemahan dan keuntungan masing-masing dan keputusan untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan dalam pembangunan clonal forestry sangat tergantung kepada kondisi lembaga/instansi yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut.

Perbedaan  untuk menjalankan Strategi 1 dan 2 di atas dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :

Keberadaan Lab. Tissue culture untuk bidang kehutanan saat ini sudah berkembang sangat pesat terutama untuk mendukung program clonal forestry Eucalyptus . Sudah sangat umum perusahaan-perusahaan atau lembaga penelitian kehutanan yang menjalankan clonal forestry memiliki laboratorium Tissue culture sebagai infrastruktur standar yang harus dimiliki karena dengan teknologi kultur jaringan program clonal frestry dapat dijalankan lebih cepat dan secara kuantitatif hasil bibit yang dihasilkan dapat berjumlah lebih besar.  Walaupun tentunya diperlukan dana dan sumber daya yang lebih besar untuk pengadaan bangunan Laboratorium serta pekerja yang menjalankan Laboratorium tersebut.

Pembangunan clonal test, pemilihan clone dan pengembangbiakan clone yang terpilih dan terseleksi menjadi sebuah tahapan penting dalam mencapai pembangunan Clonal forestry Eucalyptus. Tahapan demi tahapan harus dijalankan dengan serius dan konsisten karena proses yang berhenti pada suatu phase dapat mengakibatkan program clonal forestry kembali ke titik nol.

Minggu, 08 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #3 : SELEKSI POHON PLUS DAN PROPAGASINYA)

Tujuan pembangunan progeny test multilokasi dalam program clonal forestry adalah menemukan the best tree (Pohon plus) dari the best family (family terbaik). Pohon plus kemudian dikembangbangbiakan secara vegetative untuk membangun clonal test dan dari clonal test inilah ditemukan clone yang menjadi bahan material untuk pembangun Clonal forestry secara operasional seperti terlihat pada skema berikut ini .


Seperti dijelaskan sebelumnya untuk menentukan pohon plus dari progeny test multilokasi memerlukan keterampilan untuk analisa data yang berhubungan dengan genetik kuantitatif.  Pemahaman tentang P = G+E ( Phenotype = Genotype + Environment) dan interaksi antara G dan E (GxE) sangat perlu dalam hal ini dan ini biasanya membutuhkan pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus di bidang analisa data genetik test. Dalam analisa data akan ditentukan nilai genotype dan nilai environment yang menentukan nilai phenotype tanaman dan jika progeny test di bangun dalam beberapa lokasi maka sering sekali terjadi interaksi yang rumit. Untuk menghadapi ini seorang breeder (pemulia) akan menentukan pohon-pohon yang menunjukkan nilai P terbaik dan menentukan nilai heritabilitas individu dan family (Individual Heritability dan Family Heritability)  (nilai pewarisan sifat dari suatu induk kepada keturunannya baik secara family maupun individu) dan ini berkaitan dengan nilai variance masing-masing objek. Kemampuan Breeder untuk menghitung nilai-nilai variance component dari genotype dan environment  akan sangat terbantu dengan kemampuan untuk mengoperasikan software komputer statistika yang banyak digunakan dalam Genetic Data Analysis seperti SAS.

Tantangan breeder dalam hal ini akan semakin kompleks jika lokasi – lokasi pengujian Progeny Test menunjukkan interaksi yang tidak berpola atau ternyata berbeda nyata (significant) pada uji statistika. Bisa saja satu family bagus pertumbuhannya pada site (lokasi 1), dan tidak bagus pada lokasi lainnya, atau kondisi dimana satu family bagus pada 2 lokasi uji, sementara uji lainnya kurang baik.  Bisa juga ternyata heritabilitas family di suatu lokasi bernilai  rendah , sementara di lokasi lainnya bernilai tinggi. Diperlukan keterampilan dan pengalaman untuk menyeleksi pohon plus dari masing-masing progeny test.   Penentuan apakah pohon plus yang diseleksi adalah berlaku umum untuk semua lokasi (tapak)  atau specifik lokasinya juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang kompleks.  Nilai-nilai Genetic Gain (GG) dapat dilaksanakan dengan menggunakan rumus-rumus yang banyak disampaikan dalam beberapa literatur dan jurnal.

Parameter  pohon plus juga harus disesuaikan dengan kebutuhan breeding dan tujuan lembaga tersebut mengadakan pemuliaan pohon. Secara umum pohon plus yang dipilih untuk tujuan Industri Pulp adalah :
-          Tumbuh cepat dan tingkat pertumbuhan tinggi
-          Bercabang kecil dan sedikit
-          Berbatang lurus dan silindris
-          Kulit kayu tipis
-          Sehat
-          Memiliki Wood density yang sesuai untuk pulp (biasanya > 450 kg/m3 dan < 800 kg/m3)

Setelah diputuskan pohon-pohon plus dari masing-masing lokasi progeny test dan sudah diputuskan apakah pohon plus itu bersifat general untuk seluruh lokasi, atau hanya spesifik untuk satu lokasi (tapak), maka  langkah selanjutnya adalah memperbanyak pohon plus tersebut untuk mendapatkan material vegetative dalam rangka membangun Clonal test.

Tahapan pengembangbiakan pohon plus menjadi Clonal test  membutuhkan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang. Problem dalam tahapan ini adalah  bagaimana memperbanyak satu pohon plus berumur tua menjadi ratusan bibit vegetatif yang seumur dan seragam .

Teknik Perbanyakan Vegetatif Pohon Plus

Perbanyakan pohon plus menjadi material-material tanaman sebagai bahan pembangun Clonal test merupakan proses pemuliaan yang paling sering menjadi masalah.  Untuk membangun clonal test diperlukan material tanaman yang seragam dari semua pohon plus. Seragam artinya sama dalam ukuran, umur bibit, dan jumlah yang tersedia . Untuk membangun clonal test diperlukan jumlah bibit yang mencukupi sesuai dengan desain percobaan clonal test yang diharapkan. Umumnya desain percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD) dengan jumlah replikasi 6 ulangan dan tree plot (tanaman uji) per replikasi paling tidak 12 pohon (dalam bentuk plot persegi 3 x 4 tanaman).  Untuk itu paling tidak diperlukan 12 tanaman x 6 replikasi = 72 ramet (bibit) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal Test.  Untuk mendapatkan 72 bibit yang seragam umur dan ukurannya dari satu pohon plus adalah kegiatan yang membutuhkan teknik perkembangbiakan vegetatif yang khusus dan spesifik padahal kita akan membangun clonal test multilokasi sesuai dengan klassifikasi lahan (site) yang ada seperti halnya membangun Progeny Test Multilokasi. Metode yang paling umum dilaksanakan adalah dengan cara mengambil sprout (trubusan) dari pohon plus dan mengembangkannya dengan teknik stek (rooted cutting). Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan sprout (trubusan) dari pohon plus?  Ada 2 langkah yang ditempuh  yaitu penebangan pohon plus dengan resiko kita kehilangan pohon plus (destructive) dan teknik lain adalah dengan melukai batang pohon plus (girdling) untuk menumbuhkan sprout (turbusan) dari batang.


Foto 1 : Sprout Eucalyptus setelah penebangan pohon (sumber : http://komaza.org/blog/?p=945)

 
Foto 2: Sprout (trubusan) Eucalyptus tumbuh setelah penebangan pohon (sumber foto: http://www.millstreamgardens.co.nz/blog



Foto 3: Sprout (trubusan) Eucalyptus dapat dipanen dan dijadikan material stek (rooted cutting)  seperti di Afrika Selatan ( sumber foto : http://www.forestry.co.za)

Foto 4: Pembuatan material stek (rooted cutting) memerlukan infrastruktur seperti  green house yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (misting) , suhu dan cahaya agar stek dapat tumbuh (sumber foto: http://www.forestryimages.org)

Foto 5: Girdling pohon untuk mendapatkan trubusan biasanya dilakukan dengan mengupas kulit kayu dan menunggu trubusan muncul dari bagian bawah kupasan (Sumber foto : http://www.wikipedia.org/)

Foto 6: Harus hati-hati melakukan girdling pohon plus, karena kemungkinan jika pengupasan kulit terlalu besar dan melingkari batang maka pohon plus akan mati (sumber foto : http://www.ca.uky.edu)

Foto 7: Bagaimanapun sulitnya trubusan (sprout) harus tetap diusahakan tumbuh dari pohon plus karena tanpa trubusan ini maka program clonal forestry tidak akan berlangsung (sumber foto : www.git-forestry.com)

Pekerjaan penebangan pohon plus dan atau peng-girdling-an pohon plus untuk mendapatkan sprout (trubusan) akan memerlukan sumber daya dan dana yang besar , padahal hanya untuk mendapatkan bibit untuk pembangun Clonal test. Beberapa sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan ini adalah :

  1. Sarana Transportasi Khusus

Jika lokasi Progeny Test dimana plus tree (pohon plus) berada cukup jauh dari Nursery dan terpencar maka sarana tranportasi khusus untuk pemeliharaan pohon plus sangat penting disediakan.  Pohon plus yang sudah ditebang dan digirdling perlu diperiksa dan diamati secara rutin apakah menumbuhkan trubusan atau tidak. Perlu juga dilakukan pengendalian gulma disekitar pohon dan juga pemupukan . Pada musim kemarau, perlu dilakukan penyiraman pohon agar trubusan yang tumbuh tidak kering dan mati. Pengendalian Hama Penyakit juga perlu dilaksanakan, terutama untuk batang pohon plus yang ditebang, karena terjadi pelukaan yang cukup besar maka kemungkinan terserang patogen akan semakin berpotensi besar.  Satu per satu pohon plus yang ditebang harus diperiksa secara rutin oleh pekerja/staff yang memahami tujuan penebangan /girdling pohon plus tersebut. Kehilangan material sprout (trubusan) menjadi kehilangan potensi mendapatkan material vegetatif pohon plus yang berarti juga kehilangan kesempatan memperbanyak pohon plus menjadi clon.  Hal inilah yang sering menjadi penyebab pohon plus tidak ditebang untuk mendapatkan trubusan tetapi cukup dengan girdling.  Walaupun dengan resiko jumlah trubusan yang diperoleh dengan metode girdling  akan lebih sedikit dibanding dengan penebangan.

  1. Sumber daya manusia
Untuk mengerjakan penebangan pohon atau peng-girdling-an pohon plus yang terpencar , pemeliharaannya, pengamatannya, pemanenan sprout-nya dan pembuatan material vegetatif di Nursery memerlukan sumber daya manusia yang memadai.  Harus ada staff yang khusus memahami manfaat dan fungsi sprout (trubusan) dan bagaimana menanganinya agar mampu menjadi material vegetatif di Nursery.  Paling tidak harus ada staff khusus di lapangan yang bertugas mengelola pohon plus dan sprout-nya, serta 1 orang staff (supervisor) untuk menangani perbanyakan sprout menjadi rooted cutting di Nursery. Tentunya mereka berdua harus dibantu tenaga kerja teknis yang mencukupi.

  1. Infrastruktur Perbanyakan Vegetatif

Seperti dijelaskan di atas, trubusan pohon plus harus ditangani untuk menjadi bibit vegetatif sebagai material pembangun Clonal Test.  Untuk ini diperlukan infrastruktur green house atau rooting house  yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (sprinkler- misting) , pengatur temperatur, dan pengatur intensitas cahaya.  Tanpa infrastruktur ini maka peluang untuk membuat bibit vegetatif dari trubusan pohon plus akan sulit dilaksanakan.  Selain infrastruktur yang memadai harus juga dikuasai teknik pembuatan rooted cutting dan menajemennya di Nursery.

Pembuatan bibit vegetatif dari trubusan pohon plus kemungkinan akan dilaksanakan berulang kali dengan cara mengumpulkan sprout (trubusan) di lapangan karena untuk mendapat bibit vegetatif yang seragam dari pohon tua juga terkadang sangat sulit .  Problem yang sering muncul adalah :

  • Pohon plus yang ditebang / di girdling tidak menumbuhkan trubusan atau trubusannya sangat sedikit atau terserang hama penyakit
  • Pohon plus yang ditebang / di girdling menumbuhkan trubusan tetapi trubusan sulit untuk diakarkan di nursery
  • Pohon plus yang ditebang/ di girdling mampu menumbuhkan trubusan dan diakarkan, tetapi jaringannya tetap tua (mature) atau sering diistilahkan dengan ”aging effect”, dimana bibit yang tumbuh tampak seperti pohon tua (tidak juvenil).

Beberapa pengalaman dalam mengelola Pohon Plus E. pellita dan E. urophylla berumur 4-5 tahun agar dapat menghasilkan trubusan untuk menghasilkan bibit vegetatif pembangun clonal test dapat dijelaskan sebagai beirkut :

  1.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, diperoleh hanya 80-90% yang mampu menumbuhkan trubusan . Dari 80-90% pohon plus yang menumbuhkan trubusan itu hanya 60-70% yang mampu menumbuhkan akar. Harus banyak penelitian bagaimana menumbuhkan akar trubusan tanaman tua.
  2.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, rata-rata jumlah trubusan yang tumbuh pada bulan pertama setelah penebangan adalah 15-20 trubusan. Setelah dipanen , trubusan yang tumbuh semakin sedikit.  Apabila dilakukan pemeliharaan rutin trubusan tetap tumbuh dengan baik.
  3.         Hama penyakit yang paling sering menyerang sprout pohon plus yang ditebang dan di-girdling adalah hama ulat pemakan daun dan penggulung serta pengisap pucuk . Perlu usaha pengendalian hama ini dengan intensif agar sprout (trubusan) yang dihasilkan dapat berkualitas. Untuk menghindari serangan penyakit bercak daun, dapat dilakukan dengan memberi mulsa di permukaan tanah sehingga percikan air hujan pada tanah tidak mengenai daun-daun trubusan. 
  4.         Pemupukan N dapat meningkatkan produktivitas trubusan tetapi pemupukan N yang berlebihan membuat kualitas trubusan kurang baik .

Begitu banyaknya hal yang mempengaruhi perbanyakan vegetatif pohon plus yang sudah terpilih dalam progeny test. Sangat banyak hal yang belum diketahui dan perlu diteliti agar program clonal forestry dapat dijalankan. Berdasarkan pengalaman untuk mengembangkan bibit dari pohon plus sebanyak 100 pohon saja diperlukan sumber dana mencapai mendekati Rp. 500.000.000.000 ,- agar dapat menghasilkan bibit +/- 250 bibit per pohon plus seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.


Bagaimanapun biaya pada tabel di atas harus dikeluarkan jika program clonal forestry Eucalyptus akan dijalankan. Tanpa pengembangan vegetatif pohon plus maka Clonal test hanya sekedar harapan di atas kertas dan bayangan keuntungan produktivitas tegakan HTI dari clonal forestry tidak akan tercapai

Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS ( TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK )


Tegakan Clonal Euclyptus hybrid di Colombia
Tak dapat dipungkiri, clonal forestry Eucalyptus spp. sudah menjadi benchmark pembangunan Hutan Tanaman di berbagai negara terutama negara-negara di Amerika Latin , Asia , Australia , Afrika bahkan beberapa negara di Eropa.  Ini karena sudah jelas, clonal forestry Eucalyptus telah menunjukkan produktivitasnya yang sangat tinggi . Di berbagai negara  bahkan clonal forestry Eucalyptus spp.  mampu mencapai MAI 50-60 m3/ha/tahun atau dapat menghasilkan MAI ADT (Air Dry Ton)  Pulp > 10 ton/ha.  Brazil sebagai negara yang dinyatakan sebagai “kiblat” clonal forestry bahkan menyebutkan bahwa di beberapa plot penelitian ada clone yang menghasilkan MAI > 70 m3/ha/tahun atau MAI ADT > 12 ton/ha.

Walaupun demikian, tentunya pencapaian produktivitas kayu yang dihasilkan dari clonal forestry tersebut tidak begitu saja diperoleh. Sangat banyak usaha yang dilakukan, dan tentunya membutuhkan modal yang besar dan waktu yang tidak singkat. Selain itu tentunya konsistensi melakukan pemuliaan pohon (Tree improvement)  tetap menjadi modal utama penemuan klon-klon unggulan yang memiliki sifat-sifat genetik yang diharapkan.

Berbagai tantangan dalam pengembangan clonal forestry akan coba dijelaskan dalam beberapa seri tulisan di bawah ini.

TANTANGAN #1 : MATERIAL GENETIK

Tidak ada clone unggulan tanpa tersedianya material genetik yang cukup untuk diseleksi . Material genetik yang dimaksud adalah beragamnya material genetik yang diuji dalam uji keturunan (Progeny Test) sebagai lokasi pemilihan plus tree (Pohon plus) yang menjadi bakal clone.  Tersedianya genetic base yang luas akan memberikan kesempatan kepada pemulia pohon (tree breeder) untuk mendapatkan material-material yang lebih atau plus.

Brazil mengembangkan clonal Eucalyptus-nya dengan mendatangkan material genetik E. urophylla (yang tumbuh alami di Indonesia) dan E. grandis yang tumbuh alami di Australia. Program pemuliaan yang dimulai sejak tahun 1960-an terhadap kedua jenis Eucalyptus itu telah memberikan hasil yang fantastis sampai sekarang dengan kegiatan hybridisasi (perkawinan silang) antara E.urophylla x E.grandis dan menghasilkan E.urograndis yang menjadi andalan Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Mexico, Uruguay, Colombia, Venezuela, Argentina, Chile, dsb. Ratusan benih individu pohon E.urophylla dan E.grandis dikembangkan untuk mendapatkan family-family (seedlot) yang tumbuh cepat dan memiliki sifat kayu yang sesuai dengan industri yang dikembangkan.  Dalam beberapa literatur disebutkan untuk melaksanakan breeding suatu species, paling tidak dibutuhkan 300 individu pohon dari hutan alam (berupa benih) dan tentunya dari berbagai provenance. Benih dari 300 pohon (individu) tersebut dapat ditanam dalam berbagai lokasi atau multisite dan dapat dijalankan dalam beberapa tahun sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Program pembangunan Genetic base (populasi dasar) sebanyak 300 individu dari hutan alam tersebut dapat disusun dalam strategy sebagai berikut : 

Skema singkat pembangunan Base Population Eucalyptus untuk mengembangkan Clonal forestry
 Dari skema di atas dapat diketahui bahwa pembangunan Genetic Base (Populasi Dasar) untuk kegiatan pemuliaan membutuhkan sumber daya yang terus menerus sejak tahun pertama sampai tahun ke 6 dan tahun-tahun selanjutnya. 

Perkiraan sumber daya untuk mengerjakan pekerjaan di dalam skema di atas untuk 1 set penelitian Progeny Test (50 family) dapat digambarkan dalam Tabel di bawah ini :

Tabel Perkiraan Biaya Pembangunan Base Population 50 family

Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun genetic base (populasi dasar) sebanyak 50 family dibutuhkan dana sekitar Rp.630 .500.000,- atau jika di kurskan dengan 1 USD = Rp. 9500, maka akan dibutuhkan dana kurang lebih USD 66.000 .  Atau jika akan membangun genetic base sebanyak 300 family akan dibutuhkan sekitar Rp. 3.7 milyar atau sekitar USD 379.000,- . Tentunya ini dana yang cukup besar bagi lembaga yang akan melakukan clonal forestry Eucalyptus.

Hal di atas merupakan tantangan dalam membangun genetic base jika kita akan melaksanakan Clonal forestry. Ketersediaan genetic base tidak dapat diabaikan, karena dari genetic base inilah peluang – peluang untuk mendapatkan clone unggulan dapat diperoleh.  Masalah lainnya adalah walaupun dana dan sumber daya manusia tersedia , belum tentu plus tree yang dihasilkan sesuai dengan keinginan lembaga yang menjalankannya.  Plus tree bisa saja tidak diperoleh dalam satu rangkaian progeny test yang dijalankan karena plus tree sangat dipengaruhi oleh interaksi Genetik benih yang ditanam dengan lingkungan dimana benih itu di tanam dan hal ini sangat bersifat alami dan sulit dikendalikan manusia .
. 
Tantangan lainnya adalah belum tentu kita mendapatkan material genetik di hutan alam yang direncanakan sebelumnya karena keberadaan material genetik di hutan alam sangat tergantung kepada tingkat konservasi populasi pohon yang kita rencanakan untuk diclonalkan.  Populasi pohon E. urophylla, E.pellita dan E.deglupta di berbagai provenance sudah dinyatakan dalam kondisi sangat berbahaya karena berbagai tekanan yang terjadi seperti penebangan liar (illegal loging), perubahan fungsi hutan menjadi berbagai keperluan seperti perladangan, perumahan, perkebunan, infrastruktur, dsb. Selain itu kondisi tekanan alam seperti letusan gunung berapi juga menjadi salah satu resiko yang dapat menghilangkan genetik material di hutan alam seperti halnya di Gunung Egon dan  Gunung Lewotobi di Pulau Flores yang sering sekali meletus , padahal kedua gunung itu merupakan tempat tumbuh alami E.urophylla .  Tentunya letusan gunung ini akan mempengaruhi keberadaan populasi E.urophylla di wilayah tersebut.

Bagaimanapun tantangan untuk mendapatkan material genetik untuk pembangunan Genetic base sebagai langkah awal mengembangkan clonal forestry semakin kompleks misalnya dengan kompetensi sumberdaya manusia pelaksana kegiatan Breeding. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan menjalankan program breeding yang baik, hasrat/keinginan meneliti dalam jangka lama , keterampilan membangun plot-plot genetik test (seperti Progeny Test) serta analisa datanya  dan tentunya  keterampilan silviculture teknis. Sekarang ini semakin sulit untuk mendapatkan sarjana kehutanan atau pertanian yang menyukai pekerjaan – pekerjaan lapangan dan siap bekerja lama meneliti tanaman kehutanan yang berumur panjang, selain itu walaupun siap bekerja dibidang pemuliaan maka diperlukan semangat dan kerja keras untuk belajar tentang berbagai ilmu secara terus menerus karena bidang pemuliaan pohon terus berkembang.  

Selain tantangan yang sudah disebutkan di atas tantangan lain adalah komitmen lembaga/perusahaan untuk menjalankan clonal forestry dengan sebaik-baiknya. Banyak pemilik modal yang kurang memahami bahwa menjalankan clonal forestry itu dibutuhkan keterampilan – keterampilan khusus, bukan sekedar memilih pohon , mengembangkan secara vegetatif dan panen clonal . Pemahaman tentang flow proses pemilihan clonal , pembangunan clonal forestry serta  konsekuensi-konsekuensinya harus dipelajari dan dipahami pemilik modal dan tenaga administratif yang terkait agar diperoleh dukungan yang cukup , karena dengan dukungan yang tidak maksimal program clonal forestry bisa saja sekedar wacana atau menemukan kegagalan ketika dijalankan.

Sabtu, 16 Juni 2012

Clonal Forestry


Sumber: http://thesecondgreenrevolution.blogspot.com

Clonal Forestry atau sering diterjemahkan menjadi Perhutanan Klonal adalah sistem pembangunan suatu hutan tanaman dengan menggunakan klon. Seperti diketahui klon adalah material genetik yang terseleksi dan dikembangbiakan secara vegetatif (asexsual). Metode vegetatif yang paling umum dilaksanakan dalam pembangunan Clonal Forestry adalah dengan teknik Rooted cutting ( stek) baik itu mini cutting atau macro cuttingMini cutting adalah material vegetatif tanaman yang terdiri dari pucuk tanaman dan beberapa lembar daun di bawah pucuk tanaman yang diperoleh clonal hedges (kebun pangkas clonal), sementara macro cutting umumnya tanpa menggunakan pucuk tetapi hanya menggunakan beberapa lembar daun yang dipotong sebagian.

Dalam merencanakan pembangunan tanaman kehutanan dengan sistem clonal forestry, ada beberapa syarat yang menjadi kunci suksesnya yaitu :

1. Material Clonal

Material clonal yang digunakan harus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan peruntukan kayu hutan tanaman tersebut. Misalnya untuk industri pulp and paper, maka syarat wood properties (sifat kayu) nya harus memenuhi density, panjang serat, jumlah serat, warna, kandungan lignin, kandungan selulosa, dan syarat lain yang disesuaiakan dengan proses pembuatan pulpnya.  Klon yang dikembangkan tentunya juga harus mudah diperbanyak secara vegetatif, karena percuma saja mendapatkan Klon yang bagus tetapi sulit untuk dikembangbiakan secara massal. Syarat Klon yang umum adalah :
-  Pertumbuhan cepat dan tinggi
-  Mudah dikembangbiakkan secara massal
-  Respon terhadap pemupukan
-  Optimal dalam ketahanan terhadap hama penyakit penting
-  Mempunyai wood properties yang sesuai dengan industri yang membutuhkannya

2. Interaksi  Clon x Site ( Klon x Tapak)

Klon biasanya sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan tempat tumbuhnya, karena bagaimanapun klon diseleksi berdasarkan interkasinya dengan lingkungan, atau sering disebut dengan P = G + E , dimana interaksi Genotype (klon) dengan Environment (Lingkungan) akan menghasilkan Phenotype (Performance, Production, Phenotype). Sangat jarang ditemukan klon yang mampu berinteraksi dengan baik dengan semua kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Misalnya klon-klon di daerah sub tropis sangat sulit tumbuh baik di daerah tropis, atau klon-klon yang unggul di daerah dengan elevasi > 1500 m d.p.l akan sulit beradaptasi dengan daerah dengan elevasi 100-200 m d.p.l misalnya. Atau klon-klon yang terseleksi di daerah dengan kandungan hara tinggi, kemungkinan tidak dapat optimal pada wilayah dengan kandungan hara yang rendah. Perencanaan Clonal forestry harus melibatkan perencanaan tapak (site) dan lingkungan pertanaman yang ada dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan rangkaian perencanaan operasional lainnya seperti sumber daya manusia, sarana prasarana, budget, alat dan bahan, dsb.  Tanpa interkasi yang cocok (sesuai) antara Klon x Tapak-nya , maka performance (produksi) klon yang dihasilkan bisa meleset jauh dari perkiraan.

3. Perbanyakan Klon (Clonal Propagation atau Clonal Deployment)

Bagaimanapun untuk mengembangan Clonal Forestry akan berhubungan dengan bagaimana menghasilkan bibit-bibit vegetative dari Klon yang terseleksi. Percuma saja kita memiliki klon-klon yang terseleksi dengan baik, sudah memenuhi syarat industri dan memenuhi syarat - syarat klon , tetapi ternyata sangat sulit dikembangbiakkan (propagasi). Tugas utama Tree Improvement pada saat setelah selesai melakukan seleksi material genetik yang unggul adalah bagaimana memperbanyak (deployment) material genetik itu. Tanpa perbanyakan, maka material genetik yang diseleksi dan unggul itu hanyalah berupa catatan atau pajangan di lapangan. Harus ada standar kesuksesan clonal deployment ketika suatu material genetik layak dikatakan sebagai klon untuk skala produksi. Perbanyakan klon  ini akan menyangkut rooting ability (kemampuan menghasilkan akar) dan shoot ability (kemampuan menghasilkan trubusan). Pohon unggulan (pohon plus) atau klon yang telah diseleksi dalam Clonal test harus segera diuji kemampuan untuk menghasilkan shoot dan root (tunas dan akar), baik itu dengan metode micro propagation (perbanyakan mikro seperti tissue culture - kultur jaringan) atau macro propagation ( cutting atau stek). Percuma saja merencanaan Clonal forestry jika kemampuan menghasilkan shoot dan root clonal yang dipilih ternyata tidak layak secara operasional massal.  Hal ini akan berkaitan dengan kemampuan operasional menghasilkan bibit untuk kebutuhan penanaman di lapangan. 

Tentunya sangat banyak sarana prasarana yang dibutuhkan dalam menjalankan Clonal Forestry. Selain ketersediaan material genetik (klon) unggul, tentunya tidak akan lepas dari sarana prasarana penunjang untuk mengembangkan klon itu misalnya Laboratorium Tissue culture;  Pembibitan Vegetatif yang mengharuskan berbagai syarat terutama syarat pengaturan kelembaban dan suhu udara serta tersedianya sarana sterilisasi alat dan bahan ;  Kebun Pangkas (hedges orchard)  yang kemungkinan akan membutuhkan sarana Green House (rumah kaca), sarana penyiraman, pemupukan, perawatan tanaman, dsb. Selain itu untuk menghasilkan interaksi yang baik dengan lingkungan (Tapak) nya, maka sarana prasarana penunjang seperti peta tanah, data kandungan dan perubahan unsur hara tanah, data perkembangan hama penyakit, data perubahan cuaca misalnya curah hujan, angin, suhu udara dan kelembaban udara akan sangat dibutuhkan dalam perencanaan Clonal Forestry. 



Nursery Clonal Eucalyptus di salah satu perusahaan di Brazil (Sumber: http://www.actforclimatejustice.org/)


4. Aspek Ekonomi Clonal Forestry

Hasil clonal forestry tentunya adalah produktivitas tanaman kehutanan yang optimal. Dengan keseragaman produk yang tinggi, maka salah satu nilai yang dapat dicapai dengan clonal forestry adalah nilai ekonomis yang tinggi. Sudah sangat umum diketahui bahwa tegakan Eucalyptus clon di negara Brazil rata-rata dapat mencapai 45 m3/ha/tahun atau dengan masa panen 5-6 tahun akan menghasilkan rata-rata 225-270 m3/ha, dan jika kita bandingkan dengan tegakan yang bukan berasal dari klon yang rata-ratanya bisa mencapai 25m3/ha/tahun atau 125-150 m3/ha pada panen 5-6 tahun, maka produk clonal forestry berbeda sekitar 100% dibandingkan dengan yang non clonal .  Tetapi hendaknya kita jangan terpana dengan angka-angka produksi pada saat panen tersebut. Hasil clonal forestry dapat lebih tinggi karena investasi atau modal yang ditanamkan juga lebih tinggi dibanding yang non-clonal. Bagaimana perbandingan cost (biaya) produksinya harus benar-benar dihitung dan dianalisa dengan baik sebelum memutuskan operasional clonal forestry. Clonal forestry membutuhkan sarana prasarana yang lebih kompleks, sumber daya manusia yang lebih disiplin dan kompetensinya lebih tinggi, serta tentunya manajemen silviculture yang lebih detil dan ketat. Kita tidak akan menghasilkan produksi klon Eucalyptus setinggi  MAI 45m3/ha/tahun jika tingkat disiplin teknik silviculture kita masih sama dengan pembuatan tegakan dengan non klonal (benih) dan pengetahuan tentang sifat-sifat klon yang kita tangani akan sangat spesifik untuk masing-masing klon sehingga membutuhkan kompetensi Sumber daya manusia yang lebih optimal.

Clonal forestry memang menunjukkan hasil yang fantastis di berbagai negara yang telah mengembangkannya seperti Eucalyptus clonal forestry di Brazil, Chile, Argentina, Uruguay, Afrika Selatan, Australia, atau clonal Pinus spp di Brazil, Amerika Serikat, Chile, Argentina, Afrika Selatan, Australia, New Zealand, dsb. Tetapi keberhasilan clonal forestry di negara-negara itu tentunya sangat didukung oleh sarana parasana yang lengkap dan tentunya keseriusan sumberdaya dan manajemennya menjalankan clonal forestry dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan silvicultur dan lainnya.


Harvesting Eucalyptus clonal (Sumber:thesecondgreenrevolution.blogspot.com)



Seperti kata seorang professor bidang pemuliaan ,  
"Clonal forestry memang bisa menghasilkan produksi yang fantastis, tetapi untuk hasil yang fantastis itu juga dibutuhkan energi yang fantastis"