Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #2 : PROGENY TEST MULTISITE / MULTILOKASI)

Salah satu Progeny Test E.urophylla di Smurfit Colombia
Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa tulisan, progeny test adalah serangkaian uji genetik untuk menyeleksi family dan individu terbaik berdasarkan sifat-sifat keturunan induknya dan interaksinya dengan berbagai tipe lingkungan (tapak, site, lokasi).  Penentuan family dan individu terbaik (pohon plus) dari progeny test bagaimanapun tidak mungkin mengabaikan interaksi GxE (Genotype x Environment) yang dihitung atau dikuantifikasi berdasarkan nilai-nilai genetik antar family dan individu di dalam Progeny Test.

Tipe lingkungan yang bervariasi akan memberi konsekuensi harus bertambahnya lokasi progeny test.  Variasi lingkungan dapat berupa tipe tanah, ketinggian tempat, iklim , dan tipe silviculture yang diterapkan.  Pengklassifikasian karakteristik tipe site/lokasi ini membutuhkan pengalaman dan investigasi yang berlanjut untuk mendapatkan hal-hal yang specifik mempengaruhi phenotype tanaman Eucalyptus.

Beberapa karakteristik lingkungan yang kemungkinan akan menjadi faktor penentuan lokasi uji progeny adalah sebagai berikut :

1.            Tipe Tanah

Sudah banyak literatur yang mengemukakan pengaruh tipe tanah terhadap pertumbuhan Eucalyptus. Umumnya menyimpulkan bahwa sifat fisik tanah seperti tekstur dan struktur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Tekstur liat berpasir, lempung dan lempung berpasir dengan solum yang dalam diketahui memberikan pengaruh paling positif terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus walaupun faktor lingkungan seperti iklim dan elevasi harus sesuai.

Untuk membangun progeny test  perlu dideskripsikan seluruh lokasi penanaman yang akan dijadikan menjadi penentu karaketeristik tanah yang akan menjadi pembatas suatu lokasi progeny test. Untuk itu kegiatan survey tanah perlu dilaksanakan, baik untuk mengetahui sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah.

Beberapa sifat fisik tanah yang perlu didiskripsikan adalah struktur, tekstur, drainase dan  solum.  Setelah itu perlu dikuantifikasi atau dikelompokkan lokasi-lokasi berdasarkan persentasi luasan arealnya untuk menentukan karakteristik lahan yang paling dominan dan yang paling layak ditanami Eucalyptus pada skala operasional, misalnya terlihat pada skema di bawah ini .

Contoh Skema Pengklassifikasian Lahan Untuk Progeny Test Multilokasi

Penentuan lokasi progeny test seperti pada skema di atas tentunya harus juga didasarkan kepada hipotesis-hipotesis misalnya akan ada interaksi atau tidak terhadap pertumbuhan Eucalyptus yang akan dikembangkan. Hipotesis-hipotesis ini dapat didasarkan kepada literatur-literatur yang ada dan atau dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.  Selain itu juga diusahakan membangun progeny test pada lahan yang ekstrim terutama jika cakupan presentasi luasan lahannya cukup besar untuk dikelola sebagai areal operasional penanaman Eucalyptus.

Penentuan lokasi  Progeny Test akan semakin kompleks jika memasukkan faktor-faktor lain seperti tingkat kesuburan tanah, topografi , elevasi, iklim, dsb. Untuk itu perlu dibuatkan matrik faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dan kuantifikasi persentasi masing-masing matriks untuk memilih matriks yang paling dominan.

Tentunya untuk penentuan ini diperlukan survey dan analisa tanah dari seluruh areal. Semakin lengkap analisa tanah yang dilakukan semakin baik untuk menentukan spesifik lahan dalam menentukan type tanah. Type tanah bukan menentukan jenis tanah berdasarkan taksonomi tanah saja, tetapi lebih detil kepada sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.  Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga yang akan mengembangkan clonal forestry karena survey tanah secara detil akan menggunakan biaya dan sumber daya yang besar. Untuk survey dan analisa tanah dengan detil diperkirakan akan menghabiskan sekitar Rp. 50.000-100.000 /Ha atau sekitar US $ 5.0-10.0 / Ha.

2.            Tingkat Kesuburan Tanah dan atau Kesesuaian Lahan

Tingkat kesuburan tanah juga dapat dijadikan patokan untuk menentukan spesifik lokasi untuk pembangunan progeny test. Tentunya hal ini menyangkut sifat-sifat fisik dan sifat kimia tanah secara umum misalnya kelas tekstur, kelas drainase, kelas struktur, pH, kandungan hara, kandungan bahan organik, solum, dan faktor-faktor pembatas tanah yang menjadi penting.

Dalam ilmu tanah hutan pengelompokkan tanah dapat dijadikan acuan untuk menentukan lokasi progreny test. Kesesuaian lahan adalah keadaan tingkat kecocokan dari sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu.  Kelas kesesuaian suatu bidang lahan ini dapat berbeda-beda tergantung pada tataguna lahan yang diinginkan. Metode FAO ini dapat dipakai untuk klassifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia.  Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini terdiri dari empat kategori, yaitu:
-          Order: keadaan kesesuaian secara global
-        Kelas: keadaan tingkatan kesesuaian dalam order
-        Sub-Kelas: keadaan tingkatan dalam kelas didasarkan pada   jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan.
-       Unit: keadaan tingkatan dalam sub kelas didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya.

Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari suatu order.  Simbol Kelas ini berupa nomor urut yang ditulis di belakang simbol order, dimana nomor urut ini menunjukkan tingkatan kelas yang menurun dalam satu order. Banyaknya kelas dalam setiap order sebe­narnya tidak terbatas, tetapi dianjurkan hanya memakai tiga kelas dalam order S dan dua kelas dalam order N.  Jumlah kelas tersebut harus berdasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan- tujuan penafsiran.

Jika tiga kelas yang dipakai  dalam order S dan dua kelas dalam order N, maka uraiannya adalah sbb:

(1).         Kelas S1: Sangat sesuai (Highly suitable). 
      Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti secara nyata berpengaruh  terhadap produk­sinya dan tidak akan menaikkan masukan di atas yang telah biasa diberikan.

(2).         Kelas S2.  Cukup Sesuai (Moderately suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas tersebut akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

(3).         Kelas S3  :   Hampir Sesuai (Marginally suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mem­pertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

(4).         Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (Currently not suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas yang lebih serius, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki pada tingkat pengelolaan dengan modal normal.  Keadaan pembatas sedemikian seriusnya sehingga mencegah penggunaan secara berkelangsungan dari lahan.

(5).         Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (Permanently not suitable).  Lahan mempunyai pembatas permanen untuk mence­gah segala kemungkinan penggunaan berkelangsungan pada lahan  tersebut.

Untuk lokasi progeny test dapat dipilih yang masuk ke dalam kelas S1, S2 dan S3, dengan mempertimbangkan segala faktor pembatas yang terdapat pada masing-masing kelas itu.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lainnya.

3.                  Ketinggian Tempat ( Elevasi) dan Posisi Geografis

Seperti diketahui beberapa jenis Eucalyptus tumbuh pada elevasi di atas 500 m d.p.l , tetapi banyak species yang juga tumbuh pada elevasi < 500 m d.p.l .  Bahkan E.urophylla diketahui mempunyai range pertumbuhan pada elevasi yang cukup lebar mulai dari 300 m d.p.l – 2.200 m d.p.l, sementara E.pellita tumbuh secara alami pada ketinggian 0-800 m d.p.l untuk provenance-provenance di Australia , tetapi di Papua hanya tumbuh pada range elevasi 30-90 m d.p.l.  Penyebaran E.camaldulensis secara alami adalah 20-700 m d.p.l,  sementara E.grandis menyebar dari ketinggi 50-500 m d.p.l. , sedangkan E.deglupta mampu tumbuh pada elevasi 0-1800 m d.p.l.

Dengan bervariasinya elevasi tempat tumbuh alami Eucalyptus spp itu maka perlu dideskripsikan dengan jelas elevasi lokasi penanaman yang akan dikembangkan dalam clonal forestry. Pemilihan jenis Eucalyptus juga menjadi sangat penting sebelum memulai program uji genetik (Progeny Test).

Beberapa negara seperti Colombia dan Venezuela mengelompokkan tapaknya berdasarkan elevasi ( dataran rendah dan pegunungan) , sementara Argentina dan Chile mengelompokkan tapaknya berdasarkan lintang dan ketinggian tempat karena memang wilayah konsesi kehutanan di negara itu bervariasi berdasarkan garis lintang dan elevasi.

Penentuan kelas tapak (lokasi) untuk membangun progeny Test akan sangat tergantung kepada kondisi masing-masing areal yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut. Perlu pendiskripsian lahan (tapak) dengan tegas agar rencana pembangunan Progeny test atau rangkaian Breeding Strateginya dapat direncanakan lebih baik lagi.

4.                  Kondisi Cuaca / Iklim

Kondisi cuaca pada lokasi penanaman clonal forestry juga harus dideskripsikan jika ada perbedaan cuaca atau iklim yang ekstrim. Misalnya perbedaan rata-rata  curah hujan tahunan yang melebihi 500 mm per tahun dianggap sebagai lokasi yang dapat dibedakan .  Contoh pengelompokkan misalnya Lokasi 1 dengan curah hujan < 500 mm / tahun,  lokasi 2 antara 500-1000 mm/tahun, lokasi 3 curah hujan rata-rata > 1000 mm /tahun.  Hal ini dapat dikombinasikan juga dengan tingkat kesuburan tanah, topografi, atau tipe tanah lainnya.

Jumlah bulan basah dan bulan kering yang berbeda secara ekstrim juga dapat dijadikan patokan pengelompokkan site (tapak) dengan mengombinasikannya dengan kesuburan tanah atau tipe tanah. Misalnya suatu lokasi mempunyai bulan kering ( curah hujan < 100 mm/bulan) selama 5 bulan / tahun , sedangkan lokasi lainnya mempunyai bulan kering 3 – 4 bulan saja  atau hanya 2 bulan saja.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lahan lainnya misalnya kesuburan tanah, topografi, atau tipe lahan lainnya.   

Bagaimanapun seluruh pengelompokkan karakteristik lokasi sebagai lokasi uji progeny diharapkan benar-benar spesifik dan diduga memberikan respon yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Dengan demikian maka interaksi GxE akan lebih mewakili dan menjadi dasar penentuan clone-clone untuk masing-masing karakteristik lahan.  Perancangan lokasi uji ini akan sangat berpengaruh di kemudian hari ketika program clonal forestry akan dimulai dimana penetapan clone untuk masing-masing lokasi akan menjadi awal kesuksesan program clonal forestry. Seperti diketahui, clone sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan dimana clone itu diseleksi, sangat jarang ditemukan satu clone mampu tumbuh disemua kondisi lingkungan.

Tidak ada komentar: