Tampilkan postingan dengan label Penanaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penanaman. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 April 2011

Tanaman Gagal................

Layaknya petani, kegagalan tanaman yang telah ditanam dan dipelihara sudah sering terjadi. Sangat banyak penyebab kegagalan tanaman terjadi, misalnya karena cuaca yang kurang baik, banjir, serangan hama dan penyakit, kesalahan penanaman, kurangnya perawatan, dsb. Pada tanaman semusim seperti palawija, kegagalan sangat cepat berlangsung karena umur tanaman biasanya di bawah 6 bulan atau 12 bulan.

Berbeda dengan tanaman semusim, tanaman tahunan seperti tanaman perkebunan (sawit, karet, teh, coklat, kelapa, kopi, cengkeh, durian dan buah2an lainnya, dll) kegagalannya bisa berlangsung cukup panjang. Tentunya pernah kita dengar orang atau pekebun buah durian kesal, karena tanamannya ternyata menghasilkan buah yang kurang enak, padahal sudah dipelihara belasan tahun. Sama halnya dengan kelapa sawit atau salak, yang ternyata adalah pohon berbunga jantan yang hanya menghasilkan bunga tanpa jadi buah, padahal sudah ditunggu tahunan.

Kasus gagal tanaman di HTI juga sering terjadi. Gagal tanaman disini digambarkan dengan tidak tercapainya produksi kayu yang diharapkan sejak awal penanaman. Gagal bisa saja terjadi karena ;

1. Salah bibit

Bibit merupakan awal sebuah produktivitas HTI. Kesalahan pemilihan kualitas genetik bibit dan kualitas phenotype bibit akan menjadi faktor pertama mendapatkan tanaman yang produktivitasnya tinggi. Sembarangan menggunakan benih atau klon, akan menjadi penyebab kegagalan awal. Bahkan dapat disebut kegagalan sudah di depan mata. Mana mungkin mengharapkan kayu 200 ton/ha tetapi menggunakan benih yang kualitas genetiknya hanya 50 ton/ha. Itu sudah hukum biologi, alami yang sudah dibuktikan para pakar dan pengusaha HTI yang terdahulu. Oleh karena itu berkembanglah ilmu pemuliaan dan klassifikasi kualitas genetik . Tidak dapat dipungkiri, ilmu silvicultur yang berkembang setingkat apapun tidak akan pernah mengabaikan kualitas geneik benih/bibit. Walau demikian, sebagus apapun kualitas genetik benih yang disemaikan, maka kualitas fisik bibit tetap juga menjadi standar yang juga harus mengikuti. Tidak ada rumus menggunakan kualitas benih yang baik akan menjamin produktivitas tanaman di lapangan dengan mengabaikan kualitas fisik (phenotype) bibitnya. Bibit tanaman fast growing sudah diteliti banyak pihak diberbagai negara. Banyak literatur dan pengalaman praktis yang membuktikan bahwa kualitas fisik bibit menjadi awal penentuan produktivitas tanaman di lapangan. Syarat-syarat kualitas Fisik Bibit siap tanam juga sudah banyak ditulis dan diseminarkan. Dalam note yang lain, saya juga sudah mencoba menuliskannya. Tidak perlu aneh_aneh, cukup dengan membuat Bibit yang diamater pangkal batangnya memenuhi standar, batang berkayunya cukup, duannya cukup dan sehat, akarnya kokoh,umurnya tidak ketuaan, maka kualitas fisik bibit itu sudah menjamin keberhasilan penanaman. Ini bukan teori, tapi praktek yang sudah diuji dan dipraktekkan diberbagai belahan bumi ini. Intinya, pilih benih/klon kualitas tertinggi (kalau benih gunakan benih dari kualitas Seedling Seed Orchard- SSO atau Clonal Seed Orchard- CSO) , dan jadikan kualitas fisik bibit yang standar (rata-rata disebutkan untuk Fast growing seperti acacia, eucalyptus, gmelina, paraserianthes, harus memiliki diameter pangkal batang > 4 mm, % batang berkayu > 20% dari tinggi total, jumlah daun dewasa minimal 5 helai, umur bibit di container < 4 bulan - 90 hari setelah sapih akan sangat optimal).

2. Penanaman dan Perawatan

Tidak dipungkiri, bagaimanapun kualitas penanaman dan perawatan akan menjadi hal yang kedua yang akan menentukan gagal tidaknya tanaman setelah kualitas benih/bibit yang digunakan. Petani di belahan bumi manapun sudah menerapkan hal ini dengan praktis. Tanaman padi butuh air ketika ditanam, makanya petani selalu memperhatikan cuaca ketika akan menanam. Tanaman jagung juga harus dibersihkan dari gulma kalau tidak mau mendapatkan tanaman kerdil dan menghasilkan tongkol jagung yang ompong. Tanaman kopi perlu dipangkas tunas airnya, agar cabang-cabang utamanya berbunga dan berbuah lebat. Tanaman sawit selalu dipupuk agar tandannya menghasilkan buah yang bernas dan berat serta kadar minyaknnya tinggi. Tanaman teh harus diremajakan cabang2nya agar menghasilkan pucuk2 peko yang berkualitas A dan harganya mahal. Tanaman karet harus diatur penyadapannya agar produksi latex (getah)-nya maksimal. Semua tanaman butuh metode penanaman dan pemeliharaan yang special, tetapi syarat_syarat umum metode penanaman dan pemeliharaan bagi seluruh tanaman adalah sama. Penanaman butuh lobang tanam yang standar, butuh pupuk dasar, butuh top soil penutup lobang, butuh pemadatan tanah disekitar tanaman yang baru ditanam. Tanaman butuh struktur tanah yang gembur agar akarnya segera dapat mengambil air, hara dan bernafas lega. Tanaman tidak suka persaingan yang berat dengan gulma, juga tidak suka bersaing berat dengan tanaman disekitarnya. Tanaman butuh zona perakaran yang memadai, butuh ruang tumbuh yang cukup dan butuh cahaya matahari yang pas dengan tajuknya. Semua ini ada ilmunya. Tidak asal_asalan tanaman padi sawah ditanam dengan jarak 20x20 cm, atau tanaman jagung dengan jarak 70x50 cm, atau tanaman sawit dengan jarak tanaman segitiga 9x9 m, atau tanaman Eucalyptus di Brazil atau di Afsel sana ditanam dengan jarak 3x2 m atau 3x2.5 m atau 4x2 m, dsb. Tidak sembarangan juga tanaman Pinus di Australia dan di Amerika sana di jarangi pada umur 6 dan 10 tahun misalnya, atau tidak sembarangan juga tanaman Jati di Perhutani sana ditanami tanaman pertanian diantara jalurnya dengan tanaman semusim (palawija). Semua ada ilmunya dan itu berdasarkan penelitian/pengalaman lapangan yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Bahkan pengalaman itu juga pasti sudah mengakomodir adanya kegagalan tanaman. Sangat lucu rasanya kalau kita sebagai petani mencoba melupakan ilmu2 dasar dan pengalaman2 dasar dari pendahulu2 kita.

Lantas, apakah dengan menerapkan ilmu2 praktek dasar itu sudah menjamin tanaman akan berhasil berproduksi maksimal? Jawabannya ; BELUM TENTU !!!! Masih banyak hal_hal yang tidak dapat dikontrol oleh petani atau oleh pembudidaya tanaman. Perubahan cuaca, adanya ledakan hama penyakit, dan interaksi semuanya, menjadi hal yang menentukan berikutnya. Inilah faktor_faktor yang sulit dikendalikan dan dapat menjadi penyebab kegagalan tanaman. Sangat tidak mudah menentukan satu faktor utama penyebab kegagalan tanaman. Semua faktor berinteraksi dengan kuat dan sulit diuraikan jika kita tidak memiliki catatan yang lengkap tentang seluruh faktor2 tadi. Misalnya, ada 1 petak tanaman Acacia berumur 3 tahun , ternyata menghasilkan MAI 5 m3/ha/tahun, sementara disebelahnya ada petak tanaman Acacia yang sama menghasilkan MAI 35 m3/ha/tahun, kemudian ditanya, "mengapa berbeda?"... Sangat sulit menemukan jawabannya jika kita tidak bisa menelusuri seluruh "sejarah" kedua petak tersebut. Kita membutuhkan informasi kualitas genetik bibitnya, kualitas fisik bibitnya, kualitas tanahnya, kualitas penanaman dan pemeliharaannya, dan sejarah lainnya, misalnya apakah pernah ada perbedaan serangan hama penyakit, perbedaan kondisi gulma, perbedaan pemupukan, perbedaan singling, perbedaan weeding, dll. Jika kita hanya menebak-nebak, maka bisa saja tebakan kita melenceng. Misalnya kita sebutkan, " itu karena perbedaan tanah"... Lalu bisa saja kesimpulan untuk melakukan perbaikan dimasa yang akan datang akan salah total.

Dengan catatan masa lalu (historikal), kita dapat mencoba mengerucutkan perbedaan-perbedaan yang ada dan kemudian mencoba menelaah penyebab-penyebab dan akibat-akibatnya pada tanaman. Sangat memalukan sebenarnya seorang pembudidaya yang mencoba "mengklaim" satu faktor menjadi penyebab gagalnya tanaman tanpa memiliki data historikal yang akurat. Ini sama saja dengan mengarang bebas. Apalagi sampai menyebutkan bahwa satu faktor itu menjadi hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang.

Kegagalan tanaman tidak diinginkan siapapun sebagai pembudidaya/petani. Tetapi sangat disarankan untuk menemukan faktor penyebabnya dengan lebih ilmiah dan lebih profesional. Petani tradisional saja tau mengidentidikasi kegagalannya dengan baik, dengan melakukan renungan (flash back) ke masa_masa silam dan berdiskusi dengan sesama petani. Pernahkah petani menanam padi ladang (gogo) ketika musim kering? Atau pernahkah petani durian memangkas cabang2 duriannya? Atau pernahkan petani mengairi atau memupuk sawahnya ketika padi sudah menguning?

Kegagalan tanaman bukan hasil sesaat, tapi merupakan kumulatif dari berbagai faktor dan sangat kompleks...

Berhati_hatilah menyimpulkan sesuatu yang terjadi secara alamiah.......

Bravo Petani/Pembudidaya....

Sabtu, 13 November 2010

MENGAPA POHON MUDA MATI ?..... Bagian #1

Sering kali , kita melihat pohon yang sudah ditanam mengalami kematian. Berbagai gejala mengawali kematian itu , misalnya daun menguning, daun layu, daun rontok atau terlihatnya gejala kerdil.

Apabila pohon sudah mati dengan gejala yang terlihat dengan keringnya pohon, batang yang menghitam atau kering, atau luruhnya seluruh daun yang menunjukkan pohon gundul,  biasanya sangat sulit menduga atau mendiagnosa penyebab kematiannya. Yang jelas, kematian pohon biasanya berlangsung bertahap, tidak dalam sehari langsung kelihatan gejala kematiannya, pasti diawali dengan gejala-gejala.

Pohon yang cepat tumbuh (Fast growing species) biasanya mengalami masa kritis pasca penanaman sampai tanaman berumur 1 tahun. Titik kritis yang paling tinggi adalah masa sebelum berumur < 6  bulan setelah tanam . Dan masa ini dapat dibagi menjadi 2 periode kritis :

1.     Periode sebelum 0-2 bulan
a.   Periode kritis ini sangat memungkinkan pohon untuk mengalami mati. Kesalahan penanaman dan kualitas bibit menjadi hal yang paling sering menjadi penyebab kematian bibit di lapangan, walaupun ada kondisi lingkungan ekstrim, misalnya kemarau panjang, serangan penyakit atau hama, dan kejadian alam lain seperti kebakaran atau kerusakan fisik lainnya (mechanical damage) seperti kerusakan karena hewan dan manusia (terinjak, tercabut, dsb).
b.   Kesalahan penanaman menjadi hal yang terbesar dalam penyebab kematian bibit, juga kualitas bibit yang tidak standar.  Kesalahan-kesalahan penanaman yang sering terjadi yang menjadi penyebab kematian bibit adalah :
                                                              i.      Lobang tanam dangkal. Menyebabkan zona perakaran tidak baik untuk pohon yang baru ditanam, dan ini dapat menyebabkan gejala kekurangan hara, kekurangan air, dsb. Lobang tanam dangkal juga membuat perakaran tidak dapat tumbuh baik karena adanya wilayah yang berat (heavy) untuk ditembus disekitar zona perakaran. Peluang terbentuknya J root akibat akar tertekuk juga sangat besar dengan lobang tanam yang dangkal tersebut.
                                                            ii.      Tanah penutup lobang tanam tidak halus. Sering sekali tanah penutup lobang tanam pada saat penanaman berbentuk gumpalan-gumpalan besar. Ini mengakibatkan adanya rongga udara (air pocket) di zona perakaran dan mengakibatkan terjadinya kekeringan akar dan atau tersimpannya air dirongga tersebut yang menyebabkan busuknya akar. Selain gumpalan-gumpalan tanah, penutup lobang tanam dengan dedaunan/ranting kering juga akan mengakibatkan hal yang sama. Adanya rongga antara akar dengan partikel tanah disekitarnya juga akan menyebabkan kekurangan air dan unsur hara pada saat perkembangan tanaman.
                                                          iii.      Lobang penutup Lobang Tanam Berbentuk Cekungan atau tanah penutup lobang tidak padat. Karena proses penutupan lobang tanam tidak sempurna, biasanya akan terbentuk cekungan disekitar bibit. Hal ini berpotensi menjadi ”penampung” air pada saat hujan, dan mengabikatkan busuknya tanaman. Penutupan lobang tanam yang tidak padat akan mengakibatkan berpotensinya perakaran bibit tidak stabil dan dapat terangkat dari dalam tanah. Ujung-ujungnya akar tanaman akan terkena udara atau suhu panas yang mengakibatkan kematian.
                                                          iv.      Perakaran bersentuhan dengan Pupuk Dasar.  Sering tidak disadari, akar adalah jaringan yang sangat lembut, terutama ujung dan tudung akar. Sel-sel di daerah tudung dan ujung akar tersebut terbentuk oleh sel-sel muda (meristem) yang sangat halus dan gangguan fisik atau kimia disekitar itu akan langsung merusak akar. Gangguan kimia seperti adanya pupuk yang bersentuhan langsung dengan ujung akar dimana terjadi proses penyerapan air dan unsur hara, akan mengakibatkan terjadinya tekanan turgor dan menyebabkan plasmolisis , dimana konsentrasi pupuk yang tinggi akan mengisap konsentrasi cairan sel-sel akar dan akar menjadi rusak.
                                                            v.      Kondisi perakaran bibit yang diperlakukan tidak sehat. Tanpa disadari sering pada proses penanaman akar bibit tidak ditangani dengan baik. Misalnya membiarkan akar bibit terkena paparan sinar matahari, atau terendam di dalam air sampai berhari-hari, yang menyebabkan jaringan akar menjadi rusak. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah proses penanaman yang salah, misalnya menanam dengan miring, menanam dengan menekuk akar yang mengakibatkan terbentuknya J root , menanam terlalu dalam, menanam terlalu dangkal, dan ini kesemuanya menyebabkan kondisi tanaman rentan akan kerusakan atau kematian.
                                                          vi.      Melakukan penanaman tanpa memperhatikan kondisi cuaca ekstrim. Cuaca ekstrim yang paling besar menimbulkan kematin bibit di daerah tropis adalah kondisi kering (kemarau) atau rendahnya kandungan air tanah. Tetapi hal ini sangat jarang terjadi di wilayah yang beriklim Hujan Tropika Basah seperti Kalimantan. Justru dengan tingginya curah hujan sepanjang tahun, hal yang harus diperhatikan adalah kelebihan air di zona perakaran setelah penanaman dilaksanakan.

c.       Kualitas Bibit Tidak Standar

                                                              i.      Kualitas bibit yang tidak standar umumnya langsung terlihat dari kondisi daun dan perakarannya. Daun yang warnanya normal dan cerah menunjukkan bibit yang sehat secara visual, dan perakaran bibit yang kompak, didominasi warna putih dan atau ”cream”, menunjukkan kondisi akar yang baik. Daun yang masih melekat di batang bibit dengan sempurna dan jumlah daun sempurnanya sesuai dengan standar adalah ciri-ciri bibit yang sehat. Jumlah daun sempurna Gmelina, Akasia, Eucalyptus, Sengon, Trembesi, Jabon, dan bibit fast growing lainnya dipersyaratkan biasanya harus ≥ 6 helai. Sebenarnya dengan melihat diameter pangkal batang (root collar diameter) yang ≥ 4 mm kita akan melihat secara visual kesehatan bibit yang sangat mewakili kondisi perakaran bibit. Diameter pangkal batang akan berkorelasi positif dengan kondisi perakaran dan kandungan batang berkayu bibit (lignifikasi) .
                                                            ii.      Umur bibit yang tidak standar juga sering menjadi penyebab lemahnya adaptasi bibit terhadap lingkungan di lapangan setelah proses penanaman dilaksanakan. Masa penyiapan bibit yang seharusnya maksimal 90 hari di pembibitan dengan menggunakan kontainer polytube 70-80 ml  seharusnya menjadi dasar dalam manajemen produksi tanaman di Hutan Tanaman Industri.
                                                          iii.      Kesehatan Bibit menjadi hal yang sangat krusial. Seharusnya tidak ada toleransi terhadap adanya serangan penyakit pada bibit yang akan ditanam ke lapangan. Sangat banyak bukti, bahwa adanya gejala serangan penyakit di Nursery akan menjadi penyebab meledaknya (outbreak)  intensitas serangan patogen di lapangan  yang menjadi salah satu penyebab kegagalan pembangunan HTI. Sangat ingat motto sebuah perusahaan HTI dimasa lalu akan pentingnya bibit sehat yaitu BIBIT SEHAT, HUTAN SEHAT, PERUSAHAAN SEHAT.

d.      Penanganan Bibit Pasca Mutasi dari Nursery

                                                              i.      Penanganan bibit pasca mutasi dari pembibitan (nursery) menjadi titik kritis yang harus di tangani dengan baik untuk menghindari penurunan kualitas Bibit yang akan ditanam. Sangat diharuskan menanam bibit sesegera mungkin setelah terangkut dari pembibitan. Semakin lama bibit ditanam setelah keluar dari pembibitan, maka semakin tinggi kematian bibit pasca penanaman. Sebelum ditanam, bibit harus disiram dan perakarannya harus benar-benar lembab/basah oleh air .

e.       Penanganan Bibit Pasca Penanaman
                                                              i.      Setelah penanaman dilaksanakan biasanya bibit akan tumbuh sehat apabila seluruh kondisi titik kritis di atas dapat dikendalikan dengan baik. Hal yang paling mungkin menyebabkan kematian pasca penanaman yang baik adalah kondisi cuaca yang ekstrim (misalnya kemarau yang langsung drastis—walaupun jarang terjadi), adanya kejadian-kejadian yang ekstrim, misalnya kebakaran, gangguan hewan, dan atau gangguan manusia (mechanical damage) yang umumnya jarang terjadi.

Dari penjelasan di atas, jika digambarkan dengan grafik maka akan ada 4 faktor yang menjadi penyebab kematian bibit pada masa kritis sebelum tanaman berumur 2 bulan (khusus fast growing species)  seperti terlihat di bawah ini :



Dari grafik di atas terlihat dengan jelas, bahwa keempat  faktor itu (Kualitas bibit, Penanganan Bibit Pasca Mutasi dari Nursery, Proses Penanaman dan Penanganan Bibit Sebelum umur 2 bulan di lapangan) menyumbangkan persentase yang sama menjadi penyebab kematian tanaman pada periode kritis sebelum tanaman berumur 2 bulan. Tidak dapat ditentukan faktor mana yang paling dominan, karena satu faktor terabaikan, maka kematian bibit fast growing species sudah langsung di depan mata.

Semoga bermanfaat..................!!!

Sabtu, 30 Oktober 2010

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 6) - PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN

Setelah pembahasan tentang aspek kerapatan tanaman (jarak tanam) , maka saat ini saya coba sharing tentang aspek penanaman dan pemeliharaan tanaman di HTI.

Motto yang harusnya ditanamkan sejak awal adalah ‘Jangan Menanam Kalau Tidak Mau Memelihara” . Percuma kita menanam pohon di areal HTI apabila kita tidak melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan yang dimaksud sebenarnya hanya ada 3 kegiatan yaitu : Pengendalian Gulma, Pemupukan , Penunggalan Batang (Singling) dan Pengendalian Hama Penyakit.

Tetapi sebelum memasuki bahasan Pemeliharaan, akan saya coba memaparkan sedikit tentang penanaman. Kunci keberhasilan penanaman di areal HTI , terutama untuk jenis-jenis fast growing (seperti Acacia, Eucalyptus, Gmelina, Paraserianthes, dll)  ataupun slow growing (seperti Jati, Pinus, Mahoni, Meranti, Kapur, Jelutung, dll) adalah bibit yang sehat dan kondisi tanah saat penanaman. Bibit siap tanam sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya, diameter pangkal batang dan bebas hama penyakit merupakan syarat utama Bibit Siap Tanam (BST) . Diameter bibit berkorelasi positif dengan perakaran dan persen batang berkayu (mengandung lignin) pada bibit . Kondisi tanah saat penanaman sangat penting diperhatikan, terutama kelembaban (kandungan air tanah). Kondisi bibit yang ditumbuhkan di Pembibitan (nursery) mendapat asupan air dari penyiraman setiap hari, tetapi takkala bibit di tanam di lapangan, maka akar bibit yang harus segera menemukan air tanah agar bibit dapat tumbuh dengan baik. Pada masa inilah, bibit akan dihadapankan pada kondisi lapangan yang relatif sangat berbeda jauh dengan kondisi selama di pembibitan.

Kondisi air tanah, pada musim hujan mungkin tidak akan menjadi masalah pada saat penanaman. Tetapi hal itu juga tidak langsung menjamin bibit dapat tumbuh dengan baik apabila pelaksanaan penanaman tidak dilaksanakan dengan benar. Kesalahan yang sering terjadi pada saat penanaman adalah :
  • tidak melakukan penyiraman bibit sebelum di tanam
  • lubang tanam dangkal, yang menyebabkan tidak seluruh akar tertimbun baik oleh tanah, dapat juga mengakibatkan perakaran menjadi miring (tidak tegak lurus)
  • akar bibit tertekuk membentuk huruf J
  • lobang tanam ditutup dengan bongkahan-bongkahan tanah yang berukuran besar dan  menyebabkan adanya air pocket (kandung udara di dalam lobang tanam). Air pocket akan menyebabkan kondisi perakaran tidak bersentuhan langsung dengan partikel tanah dan menyebabkan kekeringan akar.
  • akar bibit bersentuhan langsung dengan pupuk dasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisis (terjadinya penyerapan air dari konsentrasi tinggi – pupuk – dari konsentrasi yang lebih rendah – air di dalam sel-sel akar).
  • Penimbunan bibit menggunakan partikel lain selain partikel tanah (misalnya seresah dedaunan/ranting-ranting, atau rerumputan). Hal ini akan mengakibatkan akar kesulitan mendapatkan pori-pori tanah yang mengandung air.
  • Terjadinya cekungan pada titik penanaman yang mengakibatkan tertampungnya air hujan dan menyebabkan kondisi perakaran dalam kondisi an-aerob ( kekurangan oksigen)

Banyak hal lain yang menyebabkan bibit tidak dapat tumbuh baik pasca penanaman.

Untuk penanaman dimusim kemarau (kering), seharusnya kita dapat melakukan pengecekan kondisi air tanah (kelembaban tanah). Atau agar lebih aman , keharusan menggunakan Water Retention Gel yang banyak diperdagangkan akan sangat membantu kesegaran bibit pasca penanaman di musim kering.

Pasca penanaman, hal yang harus kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan tingkat kemampuan hidup (Survival rate- SR) . Sebaiknya dilakukan 2-3 minggu pasca penanaman dan langsung melakukan penyulaman terhadap bibit-bibit yang mati. Tidak ada gunanya melakukan penyulaman setelah tanaman lebih dari 2 bulan sejak tanam , karena umumnya bibit sulaman itu tidak akan mempu mengejar ketertinggalannya, dan akhirnya akan tetap tumbuh tertekan.

Setelah bibit di tanam di lapangan, tindakan selanjutnya adalah melakukan pemeliharaan tanaman dengan tepat waktu dan tepat metode. Hal yang paling krusial dalam pemeliharaan tanaman umur < 12 bulan adalah Pengendalian Gulma dan Pemupukan Lanjutan.  Pengendalian Gulma seharusnya dilaksanakan sesegera mungkin takkala penutupan gulma di lapangan sudah > 30% . Hal ini akan mempermudah pengendalian gulma , menghemat biaya, menghemat tenaga kerja dan lebih memberikan kondisi lingkungan terbaik bagi pertumbuhan tanaman. Tidak ada patokan umur tanaman yang harus dikendalikan gulmanya , yang menjadi patokan adalah bagaimana menekan penutupan gulma serendah mungkin setiap saat sampai tajuk tanaman saling menutup. Sebenarnya, secara praktek di lapangan, tanaman fast growing seperti A.mangium, A.crassicarpa,  Eucalyptus spp. , Gmelina atau Sengon (Paraserianthes)  yang ditanam dengan jarak tanam 3x2 m (Kerapatan 1666 pohon/ha) atau 3x3 m (kerapatan 1111 pohon/.ha)  sudah akan mampu menutup tajuknya pada umur 6-8 bulan. Memang Eucalyptus lebih lama menutup tajuknya dibandingkan Acacia spp dan Gmelina , tetapi seharusnya jika penanaman dilaksanakan dengan benar, pemupukan lanjutan sesuai dosis dan waktu, maka rata-rata pada umur 8-10 bulan sudah menutup tajuknya. Penutupan tajuk ini adalah salah satu metode pengendalian gulma yang paling praktis, karena umumnya gulma akan tertekan pertumbuhannya karena kekurangan cahaya matahari.

Metode pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling sering dilakukan adalah buka piringan pada tanaman dibawah 3 bulan, tebas (slashing) menggunakan parang atau babat, atau dengan menggunakan herbisida. Inti dari pengendalian gulma adalah menekan pertumbuhan gulma sampai kondisi lingkungan terbaik untuk pertumbuhan tanaman. Semakin lama kita membiarkan gulma tumbuh maka kerugian yang ditimbulkan adalah :
  • gulma menjadi pesaing dalam penyerapan unsur hara dan air
  • gulma menjadi inang/tempat hidup berkembangnya  hama dan patogen
  • gulma mengeluarkan zat allelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanama pokok
  • gulma yang terlambat dikendalikan akan membentuk alat-alat perbanyakan yang semakin sulit untuk dikendalikan (misalnya gulma akan berbunga, membentuk akar rhizoma yang lebih banyak, dsb)
  • gulma menjalar (seperti mikania, liana, dll)  akan menutupi tajuk tanaman dan dapat mematikan tanaman
 Oleh karena itu, penekanan populasi gulma sampai tingkat terendah adalah konsep yang harus dilaksanakan di lapangan, agar tanaman dapat berkembang tumbuh sesuai yang diharapkan. Hasil penelitian menunjukkan keberadaan gulma di lapangan sampai penutupan 50% selama 3 bulan sudah akan mengurangi tingkat pertumbuhan tanaman pokok rata-rata sebesar 30% dari yang seharusnya. Apabila tanaman pokok selama 12 bulan tanpa pengendalian gulma maka akan berkurang produktivitasnya hampir 60-70 % dari tingkat pertumbuhan yang seharusnya.

Setelah tanaman berumur 12 bulan, biasanya gulma di lantai hutan tanaman HTI fast growing sudah berkurang secara otomatis akibat penutupan tajuk. Walaupun demikian, pada berbagai kondisi lapangan, masih diperlukan pengendalian gulma yang disesuakan dengan kondisi lapangan, terutama apabila kerapatan gulma > 50% dan ditemukan gulma-gulma berbahaya seperti alang-alang dan mikania/liana.

Pemeliharaan tanaman selain pengendalian gulma adalah pemupukan lanjutan. Tentunya dosis, waktu pemupukan dan jenis pupuk lanjutan setiap tanaman berbeda-beda sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan kondisi tapak penanamannya. Bagaimanapun, tanaman di bawah umur 12 bulan dipastikan membutuhkan pupuk susulan karena pada masa ini pertumbuhan vegetatif tanaman sangat cepat dan dipastikan membutuhkan unsur hara yang besar. Dosis , jenis dan waktu pemupukan seharusnya didasarkan kepada penelitian terpadu dan harus dipatuhi apabila sudah dituliskan di dalam Standar Operating Procedure (SOP). Waktu pemupukan yang paling tepat adalah ketika kondisi gulma pada level yang paling rendah.

Selain Pengendalian Gulma dan Pemupukan Lanjutan, pemeliharaan untuk tanaman HTI fast growing umumnya adalah kegiatan Singling (Penunggalan Batang) pada jenis Acacia spp. dan Monitoring Serangan Hama Penyakit.

Singling sangat penting dilaksanakan karena batang ganda (multistem) menimbulkan berbagai kerugian terutama multistem akan meningkatkan proporsi kayu juvenil yang tidak termanfaatkan dalam industri pulp . Selain itu multistem umumnya akan menyebabkan diameter batang lebih kecil yang secara langsung akan mempengaruhi besaran volume individu pohon.

Pengendalian Hama Penyakit umumnya dilaksanakan dengan Pengendalian Hama Penyakit Terpadu. Sebenarnya, dengan menyeleksi Bibit Siap Tanam dengan baik, melakukan penanaman dengan baik, melakukan pengendalian gulma dengan baik, melakukan singling dengan baik, melakukan pemupukan dengan baik.... sudah merupakan tindakan dalam Pengendalian Hama Penyakit Terpadu yang secara langsung memberikan kesehatan tanaman. Tanaman yang sehat secara otomatis akan mempunyai pertahanan diri terhadap serangan hama penyakit. Ada tulisan pakar hama penyakit yang saya ingat, katanya , ” tanaman yang kerdil mengeluarkan aroma yang disukai serangga dan patogen....., sementara tanaman yang sehat tidak akan disenangi serangga dan patogen....” . Walaupun demikian, pemantauan (monitoring) hama penyakit harus selalu dilaksanakan mulai saat di pembibitan  sampai pasca penanaman di lapangan. Monitoring ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi hama atau serangan patogen, sehingga pada saat berada pada level yang membahayakan dapat diambil tindakan dengan segera. (Mengenai Pengendalian Hama Penyakit akan disampaikan dalam tulisan lainnya)

Intinya , dari tulisan di atas....... menuju Tanaman HTI yang berproduktivitas tinggi membutuhkan persyaratan yang terpadu dan tidak boleh terputus-putus satu dengan yang lainnya............... MENAMAN dengan BAIK...... MEMELIHARA dengan BAIK..... dan hasilnya akan BAIK..........

Semoga Hutan Tanaman Industri di Indonesia akan berproduktivitas tinggi menuju Hutan Tanaman Lestari........... sesuai dengan harapan seluruh stakeholder-nya
Setelah pembahasan tentang aspek kerapatan tanaman (jarak tanam) , maka saat ini saya coba sharing tentang aspek penanaman dan pemeliharaan tanaman di HTI.

Motto yang harusnya ditanamkan sejak awal adalah ‘Jangan Menanam Kalau Tidak Mau Memelihara” . Percuma kita menanam pohon di areal HTI apabila kita tidak melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan yang dimaksud sebenarnya hanya ada 3 kegiatan yaitu : Pengendalian Gulma, Pemupukan , Penunggalan Batang (Singling) dan Pengendalian Hama Penyakit.

HUTAN TANAMAN INDUSTRI LESTARI.... (Bagian 5) - PENANAMAN

Setelah bibit dibahas dalam tulisan sebelumnya, sekarang saya mencoba menuliskan tentang Lahan dan Penanaman. Lahan adalah modal utama dalam pembangunan HTI lestari. Karena tanpa pengelolaan lahan yang baik, maka kesuburan dan keberadaan lahan akan semakin turun nilainya. Dalam aspek Silviculture sebelumnya sudah dijelaskan, bahwa pada Lahan, ada hal yang utama yaitu memelihara top soil dan bahan organik tanah.

Untuk selanjutnya, pengelolaan Tegakan di atas Lahan menjadi point penting agar HTI dapat lestari. Sebenarnya tidak ada yang rumit dalam pembangunan tegakan HTI. Dalam pengelolaan tegakan ,: Pengaturan jarak tanam, penanamanyang baik , pemeliharaan intensif adalah kunci utama mendapatkan produktivitas HTI yang optimal.

Jarak tanam untuk fast growing untuk HTI pulp biasanya diatur berdasarkan bentuk tajuk (kanopi) pohon dan pola pertumbuhannya. Pola pertumbuhan yang dimaksud adalah tingkat kecepatan pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan yang mendatar. Biasanya, untuk tanaman Acacia, Eucalyptus, Gmelina, dan jenis fast growing lainnya yang diperuntukkan untuk kayu serat , jarak tanam yang terbaik untuk umur tebang 6-8 tahun adalah dengan kerapatan 1100-1800 pohon per hektar. Kerapatan pohon ini diatur kedalam jarak antar baris dan jarak antar pohon di dalam barisan. Pengaturan ini berkaitan dengan pengaturan penutupan lahan oleh kanopi pohon, pengaturan persaingan unsur hara, cahaya, air dan tentunya aspek teknik untuk kemudahan pemeliharaan dan pemanenan. Kerapatan 1100 pohon biasanya menggunakan jarak tanam 3x3 m atau 4x1.5 m , sedangkan jarak tanam untuk kerapatan lain biasanya menggunakan 3x2 m, 3.5 x 2 m atau 4 x 2 m . Jarak tanam biasanya dibuat dengan angka bulat dengan 0.5 m sebagai angka terkecilnya, semata-mata hal ini untuk kemudahan pembuatan jarak tanam di lapangan. Pekerja di lapangan akan lebih mudah membuat jarak tanam 3x3 m dari pada 2.9 x 3.43 m atau 2.8 x 3.55 m untuk mendapatkan kerapatan yang sama sebanyak 1100 pohon/ha.

Kadang ada pertanyaan, apakah tidak lebih baik menanam pohon dalam jumlah yang lebih banyak sehingga nanti pada saat dipanen dihasilkan volume kayu yang lebih banyak pula?

Jawaban atas pertanyaan itu tentunya harus dilengkapi dengan data potensi lahan untuk menghasilkan volume kayu dalam 1 daur yang ditentukan. Misalnya tegakan A.mangium di lahan ultisol di Kalimantan Timur umumnya mampu menghasilkan MAI (Mean Annual Increment) 30-35 m3/ha/tahun, atau pada saat panen umur 6 tahun akan dihasilkan sekitar 180 - 210 m3/ha. Apakah itu potensi lahan yang paling tinggi untuk umur 6 tahun A.mangium? Untuk menjawabnya perlu penelitian yang seksama menyangkut pola pertumbuhan A.mangium dan tingkat kesuburan (site quality) tempat tegakan tersebut ditanam. Belum lagi tentunya akan dikaitkan dengan potensial genetik A.mangium yang ditanam. Potensi genetik ini berkaitan kualitas genetik benih yang digunakan. Hal inilah yang dilakukan dalam penelitian Genetik seperti Provenance Test, Uji Provenance Interaksi Site Class, Uji Interaksi Kualitas Sumber benih dengan Site Class - (misalnya apakah bersumber dari tegakan benih, Kebun benih atau dari tegakan yang tidak jelas). Hasil penelitian di Kalimantan Timur menunjukkan , pada tapak yang sama, kelas kebun benih Clonal Seed Orchard (CSO) dapat menghasilkan volume 100-150% lebih tinggi dibanding benih dari Tegakan Benih (Seed Production Area). Bahkan efek provenance , dapat memberikan perbedaan produktivitas 50-150% antara provenance yang paling jelek dengan provenance yang terbaik.

Jadi, apakah kita perlu menanam jumlah pohon yang lebih banyak dalam satu hektar untuk mendapatkan volume kayu yang lebih tinggi? Jawabannya tidak mudah..... karena tergantung kepada banyak hal, misalnya site class, kualitas material genetik, dan tentunya tingkat intensifnya silviculture praktis yang dijalankan. Tidak ada satu faktor yang menentukan potensi tegakan, atau dengan kata lain, pengaturan jarak tanam bukanlah hal yang berdiri sendiri menentukan produktivitas tegakan di HTI.

Tetapi apakah penting mengatur jumlah pohon per hektar (atau jarak tanam) dalam program penanaman di HTI ? Jawabannya SANGAT PENTING.

Konsep Produktivitas lahan yang berkaitan dengan Produktivitas Tegakan sering diistilahkan dengan KONSEP KOTAK KOREK API. Artinya secara sederhana adalah , Kotak korek api sudah mempunyai volume (kapasitas) yang terbatas (maksimal). Apabila 1 kotak korek api berisi 200 batang anak korek api sehingga kotak korek api itu penuh, maka dapat disebutkan kapasitas kotak korek api itu adalah 200 anak korek api. Bagaimana apabila ukuran anak korek api dinaikkan atau diperbesar, maka angka 200 akan berkurang otomatis. Misalnya anak korek api normal mempunyai ukuran panjang x lebar x tinggi = 2x2x50 mm, maka sebanyak 200 anak korek api akan memenuhi 1 kotak korek api. Apabila ukuran panjang dan lebarnya dinaikkan menjadi 4x4 mm dengan panjang sama yaitu 50 mm maka otomatis jumlah anak korek korek api yang dibutuhkan untuk memenuhi 1 kotak adalah berkurang menjadi 50 anak korek api saja.

Artinya, Lahan mempunyai nilai produktivitas maksimal, dan pengaturan jumlah pohon/hektar mempunyai batasan yang maksimal juga untuk menghasilkan produktivitas tegakan. Tidak akan ada peningkatan volume produktivitas kotak korek api walau kita naikkan jumlah anak korek apinya melebihi 200 batang anak korek api. Kecuali ukuran anak korek api diperkecil......

Apa hubungannya dengan produktivitas tegakan di HTI?

Lahan juga mempunyai batas maksimal produktivitas (kemampuan lahan), pohon juga mempunyai batas pertumbuhan optimal............ sehingga Interaksi Kapasitas Lahan dan Pengaturan Jumlah Pohon untuk memanfaatkan Kapasitas Lahan adalah kunci mendapatkan Produktivitas Tegakan HTI yang optimal.....

Kalau mau menanam jumlah pohon sampai 4000 pohon/ha atau 5000 pohon / ha atau lebih ekstrim 10.000 pohon/ha..... maka bersiaplah mendapatkan Volume yang hampir sama dengan tegakan yang ditanami dengan jumlah 1100-1800 pohon/ha...... Mengapa?
Karena Hutan mempunyai mekanisme mengatur Produktivitas Maksimalnya.......... dia bagaikan kotak korek api ..........
Marah......... karena Produktivitas Kayu kecil? Atau karena KOtak korek apinya tidak besar?