Kamis, 12 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #4 : PEMBANGUNAN CLONAL TEST DAN SELEKSI CLONE)

Setelah mendapatkan material genetik vegetatif dari pohon plus dengan berbagai metode yang dapat dikembangkan seperti dijelaskan sebelumnya yaitu dengan menumbuhkan trubusan (sprout) pohon plus kemudian memperbanyaknya melalui stek (rooted cutting)  dan salah satunya juga dengan bantuan Tissue culture. Program pengembangan trubusan pohon plus dengan teknik tissue culture  hampir sama dengan proses pembuatan bibit dengan rooted cutting (stek), hanya di dalam Laboratorium Tissue culture proses perkembangbiakannya dengan teknik micropropagation seperti terlihat pada foto di bawah ini


Apapun cara yang ditempuh dalam mengembangbiakkan pohon plus secara vegetatif, intinya material vegetatif itu harus menghasilkan bibit yang seragan umur dan ukurannya sehingga layak digunakan sebagai material pembangun clonal test.

Pembangunan clonal test dapat dijalankan dengan sempurna jika jumlah bibit (ramet) masing-masing plus tree mencukupi untuk kebutuhan penelitian sesuai dengan desain penelitian. Seperti disebutkan pada tulisan sebelumnya, diperlukan sekitar 72 bibit (ramet) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal test dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD)  dengan jumlah replikasi 9 ulangan dan tree plot per replikasi adalah 12 pohon dalam bentuk square plot (persegi)  3 x 4 tanaman.  Sketsa RCBD untuk 50 klon dengan tree plot 12 pohon per replikasi dapat dilihat di bawah ini

Desain ini dilakukan jika jumlah bibit mencukupi, dan dapat dirubah sesuai dengan ketersediaan jumlah bibit, lahan dan  sumber daya lainnya yang mempengaruhi desain penelitian. Tetapi paling tidak untuk memenuhi kaidah statistika masing-masing klon memiliki minimal 36 bibit yang ditanam dalam 6 replikasi dengan tree plot 6 pohon/replikasi (dalam bentuk baris - row).   

Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD) merupakan rancangan penelitian yang paling umum dilaksanakan untuk membangun Clonal Test. Permasalahan yang sering terjadi adalah keterbatasan material bibit uji dari pohon plus. Diperlukan ajusmen-ajusmen rancangan agar clonal test tetap terbangun terutama mengatur tree plot per klon per replikasi.  Jika jumlah bibit per klon terbatas, bisa juga dipilih rancangan acak lengkap berblok dengan single tree plot ( 1 bibit per replikasi) dengan jumlah replikasi minimal 30.

Jika jumlah bibit seluruh klon cukup tersedia banyak, maka rancangan penelitian dengan tree plot berbentuk square (misalnya 3 x 4 tree per replikasi) menjadi pilihan yang paling ideal untuk membangun clonal test.   Bentuk plotnya dibuat square (persegi)  agar diperoleh kondisi plot yang mirip dengan kondisi di lapangan nantinya jika klon tersebut dikembangkan sebagai klon komersil.

Clonal test yang dibangun juga harus multilokasi atau multisite seperti halnya progeny test multilokasi / multisite. Penentuan jumlah lokasi uji juga sama dengan klassifikasi pada uji progeny test (lihat tantangan #2 ) dan tidak akan dibahas lagi dalam bab ini.  Pada intinya clonal test juga akan menentukan GXE atau interaksi Genotype dan Environment  dan dalam analisa datanya akan menggunakan persamaan-persamaan statistik yang mirip dengan progeny test.

Pemeliharaan clonal test harus dilaksanakan secara intensif agar benar-benar faktor lingkungan termanupulasi dengan baik untuk memberikan potensi Gen klon dapat ditampilkan dengan sempurna. Pengendalian gulma dan pemupukan menjadi hal yang krusial dan uji clonal ini. Keseragaman kondisi lingkungan di dalam satu replikasi uji diharuskan semaksimal mungkin terjaga agar semua klon yang diuji mendapat perlakuan silviculture yang sama . Kita menginginkan semua klon dapat menunjukkan potensinya dan akhirnya kita bisa memilih atau menyeleksi klon terbaik dengan sangat fair (adil).

Sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan clonal test ini hampir sama dengan pembangunan progeny test. Untuk membangun 100 clon dalam clonal test dengan 3 lokasi akan diperlukan dana seperti terlihat pada Tabel di bawah ini:


Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk membangun Clonal test 100 klon dengan 3 lokasi dan dengan Rancangan penelitian menggunakan RCBD , 6 replikasi dan 12 tree plot / replikasi, maka dibutuhkan dana sekitar  1 milyar rupiah atau USD 113.000,- sampai clone diseleksi/dipilih.

Seleksi clon yang dilakukan tentunya berdasarkan karakter phenotype yang diharapkan oleh breeder dan tentunya disesuaikan dengan tujuan pembangunan clonal test. Untuk masing-masing industri perkayuan , syarat-syarat karakteristik yang dibutuhkan juga berbeda misalnya untuk industri pulp and paper biasanya dicari klon-klon yang memiliki syarat :
-          cepat tumbuh
-          produktivitas volume kayu  tinggi
-          pulp yield tinggi (mencakup basic density dan pulp yield)
-          zat esktraktif kayu yang rendah
-          kelurusan batang bagus
-          Percabangan sedikit dan kecil
-          Ketahanan terhadap hama penyakit utama baik

Sementara untuk kayu pertukangan selain cepat tumbuh, produktivitas volume tinggi , kelurusan batang , percabangan sedikit dan kecil, serta ketahanan hama penyakit , biasanya juga melihat aspek silindrisnya batang , pola serat kayu dan sifat-sifat fisika kayu lainnya.

Pemilihan klon terbaik di atas juga harus mempertimbangkan kemudahan clon yang diseleksi untuk dikembangbiakan secara vegetatif dalam skala massal (misalnya dengan stek -  rooted cutting – atau kultur jaringan/ tissue culture) . Syarat-syarat vegetatif propagation yang sangat penting dipertimbangkan adalah rooting ability (persentasi kemampuan berakar) dan kemampuan menumbuhkan trubusan (shoot) dari klon tersebut di Nursery.  Sangatlah penting untuk memilih klon yang sesuai dengan kebutuhan operasional secara massal karena pembangunan clonal forestry tujuannya ada pada skala operasional , bukan pada skala penelitian.

Setelah pemilihan the best clones (klon-klon terbaik) maka langkah selanjutnya adalah bagaimana dengan sesegera mungkin mengembangkan klon-klon itu pada skala operasional (produksi massa). Hal ini membutuhkan strategi yang hampir sama ketika kita menemukan pohon plus pada progeny test dan harus sesegera mungkin menghasilkan material vegetatifnya untuk membangun progeny test.  Untuk ini ada beberapa strategi yang harus dilaksanakan yaitu :

  1. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material stek (rooted cutting) untuk membangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil) . Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.
  2. Melakukan penebangan pohon – pohon yang termasuk dalam the best clones di Clonal test kemudian menumbuhkan sprout (trubusannya) , kemudian membuat material  eksplant di tissue culture (kultur jaringan) . Hasil eksplant tersebut kemudian dapat dijadikan bahan pembangun kebun pangkas (hedges orchard) . Hedges orchard yang dibangun dapat menggunakan sistem penanaman di lahan kemudian  melakukan pemangkasan untuk mendapatkan material stek baik macrocutting (stek cabang)  maupun microcutting (stek pucuk yang berukuran kecil). Atau sistem kebun pangkas di dalam pot dengan sistem pemeliharaan yang lebih intensif.


Kedua strategi tersebut dapat digambarkan pada skema di bawah ini :

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test dan membuatnya menjadi kebun pangkas (hedge orchard)

Flow Process pembuatan clonal forestry dengan rooted cutting (stek) yang memanfaatkan trubusan (sprout) dari pohon-pohon di dalam clonal test untuk dikembangkan di dalam Lab . Tissue culture dan plantlet dari Lab Tissue culture dipergunakan membangun kebun pangkas (hedge orchard) dan hasil kebun pangkas dijadikan material rooted cutting. Bisa juga hasil dari Lab . Tissue culture dimanfaatkan langsung sebagai material bibit membangun tanaman operasional

Kedua strategy di atas mempunyai kelemahan dan keuntungan masing-masing dan keputusan untuk menentukan strategi apa yang akan digunakan dalam pembangunan clonal forestry sangat tergantung kepada kondisi lembaga/instansi yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut.

Perbedaan  untuk menjalankan Strategi 1 dan 2 di atas dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :

Keberadaan Lab. Tissue culture untuk bidang kehutanan saat ini sudah berkembang sangat pesat terutama untuk mendukung program clonal forestry Eucalyptus . Sudah sangat umum perusahaan-perusahaan atau lembaga penelitian kehutanan yang menjalankan clonal forestry memiliki laboratorium Tissue culture sebagai infrastruktur standar yang harus dimiliki karena dengan teknologi kultur jaringan program clonal frestry dapat dijalankan lebih cepat dan secara kuantitatif hasil bibit yang dihasilkan dapat berjumlah lebih besar.  Walaupun tentunya diperlukan dana dan sumber daya yang lebih besar untuk pengadaan bangunan Laboratorium serta pekerja yang menjalankan Laboratorium tersebut.

Pembangunan clonal test, pemilihan clone dan pengembangbiakan clone yang terpilih dan terseleksi menjadi sebuah tahapan penting dalam mencapai pembangunan Clonal forestry Eucalyptus. Tahapan demi tahapan harus dijalankan dengan serius dan konsisten karena proses yang berhenti pada suatu phase dapat mengakibatkan program clonal forestry kembali ke titik nol.

Minggu, 08 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #3 : SELEKSI POHON PLUS DAN PROPAGASINYA)

Tujuan pembangunan progeny test multilokasi dalam program clonal forestry adalah menemukan the best tree (Pohon plus) dari the best family (family terbaik). Pohon plus kemudian dikembangbangbiakan secara vegetative untuk membangun clonal test dan dari clonal test inilah ditemukan clone yang menjadi bahan material untuk pembangun Clonal forestry secara operasional seperti terlihat pada skema berikut ini .


Seperti dijelaskan sebelumnya untuk menentukan pohon plus dari progeny test multilokasi memerlukan keterampilan untuk analisa data yang berhubungan dengan genetik kuantitatif.  Pemahaman tentang P = G+E ( Phenotype = Genotype + Environment) dan interaksi antara G dan E (GxE) sangat perlu dalam hal ini dan ini biasanya membutuhkan pelatihan-pelatihan dan pendidikan khusus di bidang analisa data genetik test. Dalam analisa data akan ditentukan nilai genotype dan nilai environment yang menentukan nilai phenotype tanaman dan jika progeny test di bangun dalam beberapa lokasi maka sering sekali terjadi interaksi yang rumit. Untuk menghadapi ini seorang breeder (pemulia) akan menentukan pohon-pohon yang menunjukkan nilai P terbaik dan menentukan nilai heritabilitas individu dan family (Individual Heritability dan Family Heritability)  (nilai pewarisan sifat dari suatu induk kepada keturunannya baik secara family maupun individu) dan ini berkaitan dengan nilai variance masing-masing objek. Kemampuan Breeder untuk menghitung nilai-nilai variance component dari genotype dan environment  akan sangat terbantu dengan kemampuan untuk mengoperasikan software komputer statistika yang banyak digunakan dalam Genetic Data Analysis seperti SAS.

Tantangan breeder dalam hal ini akan semakin kompleks jika lokasi – lokasi pengujian Progeny Test menunjukkan interaksi yang tidak berpola atau ternyata berbeda nyata (significant) pada uji statistika. Bisa saja satu family bagus pertumbuhannya pada site (lokasi 1), dan tidak bagus pada lokasi lainnya, atau kondisi dimana satu family bagus pada 2 lokasi uji, sementara uji lainnya kurang baik.  Bisa juga ternyata heritabilitas family di suatu lokasi bernilai  rendah , sementara di lokasi lainnya bernilai tinggi. Diperlukan keterampilan dan pengalaman untuk menyeleksi pohon plus dari masing-masing progeny test.   Penentuan apakah pohon plus yang diseleksi adalah berlaku umum untuk semua lokasi (tapak)  atau specifik lokasinya juga membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang kompleks.  Nilai-nilai Genetic Gain (GG) dapat dilaksanakan dengan menggunakan rumus-rumus yang banyak disampaikan dalam beberapa literatur dan jurnal.

Parameter  pohon plus juga harus disesuaikan dengan kebutuhan breeding dan tujuan lembaga tersebut mengadakan pemuliaan pohon. Secara umum pohon plus yang dipilih untuk tujuan Industri Pulp adalah :
-          Tumbuh cepat dan tingkat pertumbuhan tinggi
-          Bercabang kecil dan sedikit
-          Berbatang lurus dan silindris
-          Kulit kayu tipis
-          Sehat
-          Memiliki Wood density yang sesuai untuk pulp (biasanya > 450 kg/m3 dan < 800 kg/m3)

Setelah diputuskan pohon-pohon plus dari masing-masing lokasi progeny test dan sudah diputuskan apakah pohon plus itu bersifat general untuk seluruh lokasi, atau hanya spesifik untuk satu lokasi (tapak), maka  langkah selanjutnya adalah memperbanyak pohon plus tersebut untuk mendapatkan material vegetative dalam rangka membangun Clonal test.

Tahapan pengembangbiakan pohon plus menjadi Clonal test  membutuhkan sumberdaya yang banyak dan waktu yang panjang. Problem dalam tahapan ini adalah  bagaimana memperbanyak satu pohon plus berumur tua menjadi ratusan bibit vegetatif yang seumur dan seragam .

Teknik Perbanyakan Vegetatif Pohon Plus

Perbanyakan pohon plus menjadi material-material tanaman sebagai bahan pembangun Clonal test merupakan proses pemuliaan yang paling sering menjadi masalah.  Untuk membangun clonal test diperlukan material tanaman yang seragam dari semua pohon plus. Seragam artinya sama dalam ukuran, umur bibit, dan jumlah yang tersedia . Untuk membangun clonal test diperlukan jumlah bibit yang mencukupi sesuai dengan desain percobaan clonal test yang diharapkan. Umumnya desain percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Completely Block Design-RCBD) dengan jumlah replikasi 6 ulangan dan tree plot (tanaman uji) per replikasi paling tidak 12 pohon (dalam bentuk plot persegi 3 x 4 tanaman).  Untuk itu paling tidak diperlukan 12 tanaman x 6 replikasi = 72 ramet (bibit) dari masing-masing pohon plus untuk membangun 1 lokasi Clonal Test.  Untuk mendapatkan 72 bibit yang seragam umur dan ukurannya dari satu pohon plus adalah kegiatan yang membutuhkan teknik perkembangbiakan vegetatif yang khusus dan spesifik padahal kita akan membangun clonal test multilokasi sesuai dengan klassifikasi lahan (site) yang ada seperti halnya membangun Progeny Test Multilokasi. Metode yang paling umum dilaksanakan adalah dengan cara mengambil sprout (trubusan) dari pohon plus dan mengembangkannya dengan teknik stek (rooted cutting). Permasalahannya adalah bagaimana mendapatkan sprout (trubusan) dari pohon plus?  Ada 2 langkah yang ditempuh  yaitu penebangan pohon plus dengan resiko kita kehilangan pohon plus (destructive) dan teknik lain adalah dengan melukai batang pohon plus (girdling) untuk menumbuhkan sprout (turbusan) dari batang.


Foto 1 : Sprout Eucalyptus setelah penebangan pohon (sumber : http://komaza.org/blog/?p=945)

 
Foto 2: Sprout (trubusan) Eucalyptus tumbuh setelah penebangan pohon (sumber foto: http://www.millstreamgardens.co.nz/blog



Foto 3: Sprout (trubusan) Eucalyptus dapat dipanen dan dijadikan material stek (rooted cutting)  seperti di Afrika Selatan ( sumber foto : http://www.forestry.co.za)

Foto 4: Pembuatan material stek (rooted cutting) memerlukan infrastruktur seperti  green house yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (misting) , suhu dan cahaya agar stek dapat tumbuh (sumber foto: http://www.forestryimages.org)

Foto 5: Girdling pohon untuk mendapatkan trubusan biasanya dilakukan dengan mengupas kulit kayu dan menunggu trubusan muncul dari bagian bawah kupasan (Sumber foto : http://www.wikipedia.org/)

Foto 6: Harus hati-hati melakukan girdling pohon plus, karena kemungkinan jika pengupasan kulit terlalu besar dan melingkari batang maka pohon plus akan mati (sumber foto : http://www.ca.uky.edu)

Foto 7: Bagaimanapun sulitnya trubusan (sprout) harus tetap diusahakan tumbuh dari pohon plus karena tanpa trubusan ini maka program clonal forestry tidak akan berlangsung (sumber foto : www.git-forestry.com)

Pekerjaan penebangan pohon plus dan atau peng-girdling-an pohon plus untuk mendapatkan sprout (trubusan) akan memerlukan sumber daya dan dana yang besar , padahal hanya untuk mendapatkan bibit untuk pembangun Clonal test. Beberapa sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan ini adalah :

  1. Sarana Transportasi Khusus

Jika lokasi Progeny Test dimana plus tree (pohon plus) berada cukup jauh dari Nursery dan terpencar maka sarana tranportasi khusus untuk pemeliharaan pohon plus sangat penting disediakan.  Pohon plus yang sudah ditebang dan digirdling perlu diperiksa dan diamati secara rutin apakah menumbuhkan trubusan atau tidak. Perlu juga dilakukan pengendalian gulma disekitar pohon dan juga pemupukan . Pada musim kemarau, perlu dilakukan penyiraman pohon agar trubusan yang tumbuh tidak kering dan mati. Pengendalian Hama Penyakit juga perlu dilaksanakan, terutama untuk batang pohon plus yang ditebang, karena terjadi pelukaan yang cukup besar maka kemungkinan terserang patogen akan semakin berpotensi besar.  Satu per satu pohon plus yang ditebang harus diperiksa secara rutin oleh pekerja/staff yang memahami tujuan penebangan /girdling pohon plus tersebut. Kehilangan material sprout (trubusan) menjadi kehilangan potensi mendapatkan material vegetatif pohon plus yang berarti juga kehilangan kesempatan memperbanyak pohon plus menjadi clon.  Hal inilah yang sering menjadi penyebab pohon plus tidak ditebang untuk mendapatkan trubusan tetapi cukup dengan girdling.  Walaupun dengan resiko jumlah trubusan yang diperoleh dengan metode girdling  akan lebih sedikit dibanding dengan penebangan.

  1. Sumber daya manusia
Untuk mengerjakan penebangan pohon atau peng-girdling-an pohon plus yang terpencar , pemeliharaannya, pengamatannya, pemanenan sprout-nya dan pembuatan material vegetatif di Nursery memerlukan sumber daya manusia yang memadai.  Harus ada staff yang khusus memahami manfaat dan fungsi sprout (trubusan) dan bagaimana menanganinya agar mampu menjadi material vegetatif di Nursery.  Paling tidak harus ada staff khusus di lapangan yang bertugas mengelola pohon plus dan sprout-nya, serta 1 orang staff (supervisor) untuk menangani perbanyakan sprout menjadi rooted cutting di Nursery. Tentunya mereka berdua harus dibantu tenaga kerja teknis yang mencukupi.

  1. Infrastruktur Perbanyakan Vegetatif

Seperti dijelaskan di atas, trubusan pohon plus harus ditangani untuk menjadi bibit vegetatif sebagai material pembangun Clonal Test.  Untuk ini diperlukan infrastruktur green house atau rooting house  yang dilengkapi dengan pengatur kelembaban (sprinkler- misting) , pengatur temperatur, dan pengatur intensitas cahaya.  Tanpa infrastruktur ini maka peluang untuk membuat bibit vegetatif dari trubusan pohon plus akan sulit dilaksanakan.  Selain infrastruktur yang memadai harus juga dikuasai teknik pembuatan rooted cutting dan menajemennya di Nursery.

Pembuatan bibit vegetatif dari trubusan pohon plus kemungkinan akan dilaksanakan berulang kali dengan cara mengumpulkan sprout (trubusan) di lapangan karena untuk mendapat bibit vegetatif yang seragam dari pohon tua juga terkadang sangat sulit .  Problem yang sering muncul adalah :

  • Pohon plus yang ditebang / di girdling tidak menumbuhkan trubusan atau trubusannya sangat sedikit atau terserang hama penyakit
  • Pohon plus yang ditebang / di girdling menumbuhkan trubusan tetapi trubusan sulit untuk diakarkan di nursery
  • Pohon plus yang ditebang/ di girdling mampu menumbuhkan trubusan dan diakarkan, tetapi jaringannya tetap tua (mature) atau sering diistilahkan dengan ”aging effect”, dimana bibit yang tumbuh tampak seperti pohon tua (tidak juvenil).

Beberapa pengalaman dalam mengelola Pohon Plus E. pellita dan E. urophylla berumur 4-5 tahun agar dapat menghasilkan trubusan untuk menghasilkan bibit vegetatif pembangun clonal test dapat dijelaskan sebagai beirkut :

  1.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, diperoleh hanya 80-90% yang mampu menumbuhkan trubusan . Dari 80-90% pohon plus yang menumbuhkan trubusan itu hanya 60-70% yang mampu menumbuhkan akar. Harus banyak penelitian bagaimana menumbuhkan akar trubusan tanaman tua.
  2.         Dari seluruh pohon plus yang ditebang, rata-rata jumlah trubusan yang tumbuh pada bulan pertama setelah penebangan adalah 15-20 trubusan. Setelah dipanen , trubusan yang tumbuh semakin sedikit.  Apabila dilakukan pemeliharaan rutin trubusan tetap tumbuh dengan baik.
  3.         Hama penyakit yang paling sering menyerang sprout pohon plus yang ditebang dan di-girdling adalah hama ulat pemakan daun dan penggulung serta pengisap pucuk . Perlu usaha pengendalian hama ini dengan intensif agar sprout (trubusan) yang dihasilkan dapat berkualitas. Untuk menghindari serangan penyakit bercak daun, dapat dilakukan dengan memberi mulsa di permukaan tanah sehingga percikan air hujan pada tanah tidak mengenai daun-daun trubusan. 
  4.         Pemupukan N dapat meningkatkan produktivitas trubusan tetapi pemupukan N yang berlebihan membuat kualitas trubusan kurang baik .

Begitu banyaknya hal yang mempengaruhi perbanyakan vegetatif pohon plus yang sudah terpilih dalam progeny test. Sangat banyak hal yang belum diketahui dan perlu diteliti agar program clonal forestry dapat dijalankan. Berdasarkan pengalaman untuk mengembangkan bibit dari pohon plus sebanyak 100 pohon saja diperlukan sumber dana mencapai mendekati Rp. 500.000.000.000 ,- agar dapat menghasilkan bibit +/- 250 bibit per pohon plus seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.


Bagaimanapun biaya pada tabel di atas harus dikeluarkan jika program clonal forestry Eucalyptus akan dijalankan. Tanpa pengembangan vegetatif pohon plus maka Clonal test hanya sekedar harapan di atas kertas dan bayangan keuntungan produktivitas tegakan HTI dari clonal forestry tidak akan tercapai

Minggu, 01 Juli 2012

TANTANGAN MENGEMBANGKAN CLONAL FORESTRY EUCALYPTUS (TANTANGAN #2 : PROGENY TEST MULTISITE / MULTILOKASI)

Salah satu Progeny Test E.urophylla di Smurfit Colombia
Seperti yang telah dijelaskan pada beberapa tulisan, progeny test adalah serangkaian uji genetik untuk menyeleksi family dan individu terbaik berdasarkan sifat-sifat keturunan induknya dan interaksinya dengan berbagai tipe lingkungan (tapak, site, lokasi).  Penentuan family dan individu terbaik (pohon plus) dari progeny test bagaimanapun tidak mungkin mengabaikan interaksi GxE (Genotype x Environment) yang dihitung atau dikuantifikasi berdasarkan nilai-nilai genetik antar family dan individu di dalam Progeny Test.

Tipe lingkungan yang bervariasi akan memberi konsekuensi harus bertambahnya lokasi progeny test.  Variasi lingkungan dapat berupa tipe tanah, ketinggian tempat, iklim , dan tipe silviculture yang diterapkan.  Pengklassifikasian karakteristik tipe site/lokasi ini membutuhkan pengalaman dan investigasi yang berlanjut untuk mendapatkan hal-hal yang specifik mempengaruhi phenotype tanaman Eucalyptus.

Beberapa karakteristik lingkungan yang kemungkinan akan menjadi faktor penentuan lokasi uji progeny adalah sebagai berikut :

1.            Tipe Tanah

Sudah banyak literatur yang mengemukakan pengaruh tipe tanah terhadap pertumbuhan Eucalyptus. Umumnya menyimpulkan bahwa sifat fisik tanah seperti tekstur dan struktur sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Tekstur liat berpasir, lempung dan lempung berpasir dengan solum yang dalam diketahui memberikan pengaruh paling positif terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus walaupun faktor lingkungan seperti iklim dan elevasi harus sesuai.

Untuk membangun progeny test  perlu dideskripsikan seluruh lokasi penanaman yang akan dijadikan menjadi penentu karaketeristik tanah yang akan menjadi pembatas suatu lokasi progeny test. Untuk itu kegiatan survey tanah perlu dilaksanakan, baik untuk mengetahui sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah.

Beberapa sifat fisik tanah yang perlu didiskripsikan adalah struktur, tekstur, drainase dan  solum.  Setelah itu perlu dikuantifikasi atau dikelompokkan lokasi-lokasi berdasarkan persentasi luasan arealnya untuk menentukan karakteristik lahan yang paling dominan dan yang paling layak ditanami Eucalyptus pada skala operasional, misalnya terlihat pada skema di bawah ini .

Contoh Skema Pengklassifikasian Lahan Untuk Progeny Test Multilokasi

Penentuan lokasi progeny test seperti pada skema di atas tentunya harus juga didasarkan kepada hipotesis-hipotesis misalnya akan ada interaksi atau tidak terhadap pertumbuhan Eucalyptus yang akan dikembangkan. Hipotesis-hipotesis ini dapat didasarkan kepada literatur-literatur yang ada dan atau dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.  Selain itu juga diusahakan membangun progeny test pada lahan yang ekstrim terutama jika cakupan presentasi luasan lahannya cukup besar untuk dikelola sebagai areal operasional penanaman Eucalyptus.

Penentuan lokasi  Progeny Test akan semakin kompleks jika memasukkan faktor-faktor lain seperti tingkat kesuburan tanah, topografi , elevasi, iklim, dsb. Untuk itu perlu dibuatkan matrik faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh dan kuantifikasi persentasi masing-masing matriks untuk memilih matriks yang paling dominan.

Tentunya untuk penentuan ini diperlukan survey dan analisa tanah dari seluruh areal. Semakin lengkap analisa tanah yang dilakukan semakin baik untuk menentukan spesifik lahan dalam menentukan type tanah. Type tanah bukan menentukan jenis tanah berdasarkan taksonomi tanah saja, tetapi lebih detil kepada sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman.  Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi lembaga yang akan mengembangkan clonal forestry karena survey tanah secara detil akan menggunakan biaya dan sumber daya yang besar. Untuk survey dan analisa tanah dengan detil diperkirakan akan menghabiskan sekitar Rp. 50.000-100.000 /Ha atau sekitar US $ 5.0-10.0 / Ha.

2.            Tingkat Kesuburan Tanah dan atau Kesesuaian Lahan

Tingkat kesuburan tanah juga dapat dijadikan patokan untuk menentukan spesifik lokasi untuk pembangunan progeny test. Tentunya hal ini menyangkut sifat-sifat fisik dan sifat kimia tanah secara umum misalnya kelas tekstur, kelas drainase, kelas struktur, pH, kandungan hara, kandungan bahan organik, solum, dan faktor-faktor pembatas tanah yang menjadi penting.

Dalam ilmu tanah hutan pengelompokkan tanah dapat dijadikan acuan untuk menentukan lokasi progreny test. Kesesuaian lahan adalah keadaan tingkat kecocokan dari sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu.  Kelas kesesuaian suatu bidang lahan ini dapat berbeda-beda tergantung pada tataguna lahan yang diinginkan. Metode FAO ini dapat dipakai untuk klassifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia.  Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini terdiri dari empat kategori, yaitu:
-          Order: keadaan kesesuaian secara global
-        Kelas: keadaan tingkatan kesesuaian dalam order
-        Sub-Kelas: keadaan tingkatan dalam kelas didasarkan pada   jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan.
-       Unit: keadaan tingkatan dalam sub kelas didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya.

Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari order dan menggambarkan tingkat-tingkat kesesuaian dari suatu order.  Simbol Kelas ini berupa nomor urut yang ditulis di belakang simbol order, dimana nomor urut ini menunjukkan tingkatan kelas yang menurun dalam satu order. Banyaknya kelas dalam setiap order sebe­narnya tidak terbatas, tetapi dianjurkan hanya memakai tiga kelas dalam order S dan dua kelas dalam order N.  Jumlah kelas tersebut harus berdasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan- tujuan penafsiran.

Jika tiga kelas yang dipakai  dalam order S dan dua kelas dalam order N, maka uraiannya adalah sbb:

(1).         Kelas S1: Sangat sesuai (Highly suitable). 
      Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan pengelolaan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti secara nyata berpengaruh  terhadap produk­sinya dan tidak akan menaikkan masukan di atas yang telah biasa diberikan.

(2).         Kelas S2.  Cukup Sesuai (Moderately suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas tersebut akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

(3).         Kelas S3  :   Hampir Sesuai (Marginally suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mem­pertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.  Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

(4).         Kelas N1 : Tidak sesuai pada saat ini (Currently not suitable). 
      Lahan mempunyai pembatas yang lebih serius, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki pada tingkat pengelolaan dengan modal normal.  Keadaan pembatas sedemikian seriusnya sehingga mencegah penggunaan secara berkelangsungan dari lahan.

(5).         Kelas N2 : Tidak sesuai untuk selamanya (Permanently not suitable).  Lahan mempunyai pembatas permanen untuk mence­gah segala kemungkinan penggunaan berkelangsungan pada lahan  tersebut.

Untuk lokasi progeny test dapat dipilih yang masuk ke dalam kelas S1, S2 dan S3, dengan mempertimbangkan segala faktor pembatas yang terdapat pada masing-masing kelas itu.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lainnya.

3.                  Ketinggian Tempat ( Elevasi) dan Posisi Geografis

Seperti diketahui beberapa jenis Eucalyptus tumbuh pada elevasi di atas 500 m d.p.l , tetapi banyak species yang juga tumbuh pada elevasi < 500 m d.p.l .  Bahkan E.urophylla diketahui mempunyai range pertumbuhan pada elevasi yang cukup lebar mulai dari 300 m d.p.l – 2.200 m d.p.l, sementara E.pellita tumbuh secara alami pada ketinggian 0-800 m d.p.l untuk provenance-provenance di Australia , tetapi di Papua hanya tumbuh pada range elevasi 30-90 m d.p.l.  Penyebaran E.camaldulensis secara alami adalah 20-700 m d.p.l,  sementara E.grandis menyebar dari ketinggi 50-500 m d.p.l. , sedangkan E.deglupta mampu tumbuh pada elevasi 0-1800 m d.p.l.

Dengan bervariasinya elevasi tempat tumbuh alami Eucalyptus spp itu maka perlu dideskripsikan dengan jelas elevasi lokasi penanaman yang akan dikembangkan dalam clonal forestry. Pemilihan jenis Eucalyptus juga menjadi sangat penting sebelum memulai program uji genetik (Progeny Test).

Beberapa negara seperti Colombia dan Venezuela mengelompokkan tapaknya berdasarkan elevasi ( dataran rendah dan pegunungan) , sementara Argentina dan Chile mengelompokkan tapaknya berdasarkan lintang dan ketinggian tempat karena memang wilayah konsesi kehutanan di negara itu bervariasi berdasarkan garis lintang dan elevasi.

Penentuan kelas tapak (lokasi) untuk membangun progeny Test akan sangat tergantung kepada kondisi masing-masing areal yang akan mengembangkan clonal forestry tersebut. Perlu pendiskripsian lahan (tapak) dengan tegas agar rencana pembangunan Progeny test atau rangkaian Breeding Strateginya dapat direncanakan lebih baik lagi.

4.                  Kondisi Cuaca / Iklim

Kondisi cuaca pada lokasi penanaman clonal forestry juga harus dideskripsikan jika ada perbedaan cuaca atau iklim yang ekstrim. Misalnya perbedaan rata-rata  curah hujan tahunan yang melebihi 500 mm per tahun dianggap sebagai lokasi yang dapat dibedakan .  Contoh pengelompokkan misalnya Lokasi 1 dengan curah hujan < 500 mm / tahun,  lokasi 2 antara 500-1000 mm/tahun, lokasi 3 curah hujan rata-rata > 1000 mm /tahun.  Hal ini dapat dikombinasikan juga dengan tingkat kesuburan tanah, topografi, atau tipe tanah lainnya.

Jumlah bulan basah dan bulan kering yang berbeda secara ekstrim juga dapat dijadikan patokan pengelompokkan site (tapak) dengan mengombinasikannya dengan kesuburan tanah atau tipe tanah. Misalnya suatu lokasi mempunyai bulan kering ( curah hujan < 100 mm/bulan) selama 5 bulan / tahun , sedangkan lokasi lainnya mempunyai bulan kering 3 – 4 bulan saja  atau hanya 2 bulan saja.  Hal ini juga dapat dikombinasikan dengan karakteristik lahan lainnya misalnya kesuburan tanah, topografi, atau tipe lahan lainnya.   

Bagaimanapun seluruh pengelompokkan karakteristik lokasi sebagai lokasi uji progeny diharapkan benar-benar spesifik dan diduga memberikan respon yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan tanaman Eucalyptus. Dengan demikian maka interaksi GxE akan lebih mewakili dan menjadi dasar penentuan clone-clone untuk masing-masing karakteristik lahan.  Perancangan lokasi uji ini akan sangat berpengaruh di kemudian hari ketika program clonal forestry akan dimulai dimana penetapan clone untuk masing-masing lokasi akan menjadi awal kesuksesan program clonal forestry. Seperti diketahui, clone sangat kuat berinteraksi dengan lingkungan dimana clone itu diseleksi, sangat jarang ditemukan satu clone mampu tumbuh disemua kondisi lingkungan.